BAGHASTARIWISNUCHANTIQA
Rabu, 30 Januari 2019
Jumat, 22 Agustus 2014
Bahan kuliah Proposal Penelitian angkatan 2011
BAHAN KULIAH PROPOSAL PENELITIAN
BACA DAN PELAJARI SECARA SAKSAMA:
SISTEMATIKA PROPOSAL
1.
JUDUL
2.
LATAR BELAKANG MASALAH
3.
RUMUSAN MASALAH
4.
TUJUAN PENELITIAN
5.
MANFAAT PENELITIAN
6.
TINJAUAN PUSTAKA
7.
LANDASAN TEORI DAN PENDEKATAN
8.
METODE PENELITIAN
a. Studi Pustaka
b.Pengamatan
c.Wawancara
9. ANALISIS
DATA
10. SISTEMATIKA PENULISAN
n METODOLOGI: yaitu filsafat atau ilmu mengenai metode. Dengan
demikian metodologi edalah membahas prosedur intlektual dlm totalitas komunitas
ilmiah. Metodologi mengimplikasikan
metode tetapi bukan kumpulan metode, dan bukan deskripsi metode.
n METODE : adalah cara cara strategi utk memahami realitas, langkah
langkah sistematis utk memecahkan rangkaian sebab akibat berikutnya.
n PARADIGMA : Perangkat keyakinan mendasar pandangan dunia yg
berfungsi utk menuntun tindakan tindakan manusia yg disepakati bersama baik dlm
kehidupan sehari hari maupun dlm penelitian ilmiah.
n PENDEKATAN : adalah cara menyeleksi serta menyususn data dan fakta
berdasarkan konsep atau teori tertentu, antara lain dari ilmu sosiologi,
antropologe, psikologi dsb.
n Dalam penulisan perlu dibedakan anatara metode dan pendekatan. Pada
dasarnya pendekatan memiliki tingkat abstraksi yg lebih tinggi baik dng metode
maupun dng teori.Dlm sebuah pendekatan dimungkinkan mengoperasikan teori dan
metode. Maka pendekatan disejajarkan dng bdng ilmu tertentu spt ; pendekatan
sosiologi sastra,antropologi dsb.
n TEORI : adalah suatu pernyataan tt hakikat suatu kenyataan atau
suatu fakta, atau tt hubungan antara kenyataan atau fakta tsb dng kenyataan
atau fakta yg lain, dan kebenaran pernyataan tsb telah diuji melalui metode dan
prosedur tertentu.
n KERANGKA TEORI : (Ahimsa) seperangkat pernyataan tt hakekat, cara
memandang, merumuskan, dan menjawab suatu persoalan dng menggunakan cara dan
tata urut tertentu, yg akan dpt menghasilkan pernyataan tertentu tt persoalan
tersebut.
n KONSEP : adalah istilah-istilah atau kata kata yg diberi makna
tertentu sehingga membuatnya dpt digunakan utk mamahami, menafsirkan,
menganalisis dan menjelaskan peristiwa atau gejala sosial budaya yg dipelajari. Istilah –istilah seperti : masyarakat,
sosialisasi, enkulturasi, integrasi sosial, konflik dsb adalah merupakan
konsep-konsep.
Ada tiga cara utk membedakan ; teori,
metode dan teknik yakni sbb.
1. Dengan cara membedakan tingkat
abstraksinya.
2. Dengan cara memperhtikan faktor mana yg
lebih luas ruang lingkup pemakainnya.
3. Dengan caramemperhatikan hubungan dng
obyek.
Secara hierarkis tingkat abstraksi yg
tertinggi dimiliki oleh ; Teori, Metode , dan Teknik.
Teknik berhubungan dng data primer. Misal teknik
wawancara, teknik rekaman, teknik kartu data dsb.
Metode sebagai alat sama dng teori.
Klasifikasi, deskripsi,komparasi, sampling, induksi, deduksi, eksplanasi dan
interpretasi, kuantitatif dan kualitatif adalah sejumlah metode dlm ilmu
humaniora..
Pergeseran akibat perkembangan keilmuan dng
cara pandangan metode metode yg lain dapat menjadi teori misalnya : metode
hermeneutika, dialektika dsb.
Aspek
|
Penelitian Formal
|
Penelitian Tindakan Kelas (PTK)
|
Pelaksana Penelitian
|
Dilakukan oleh orang luar
|
Dilakukan oleh guru, guru berkolaborasi
dengan guru lain atau dosen
|
Masalah
|
Dapat berasal dari peneliti sendiri, dari
luar kelas
|
Masalah yang terjadi di kelas (hasil
observasi dan refleksi guru)
|
Sampel penelitian
|
Sampel harus representatif (terwakili),
dipilih dengan teknik tertentu (misal acak)
|
Kerepresentatifan sampel tidak menjadi
persyaratan penting. Subyek penelitian adalah kelas yang mempunyai masalah
|
Validitas (kesahihan)
|
Mengutamakan validitas internal dan eksternal
|
Lebih mengutamakan validitas internal
|
Analisis
|
Menuntut penggunaan analisis statistik
yang rumit
|
Tidak menuntut penggunaan analisis
statistik yang rumit
|
Hipotesis
|
Mempersyaratkan hipotesis yang
menunjukkan hubungan antara variabel bebas dan terikat
|
Tidak selalu menggunakan hipotesis.
Hipotesis menggambarkan dampak tindakan yang akan dilakukan
|
Tujuan
|
Mengembangkan teori atau mencari temuan
baru
|
Memperbaiki praktik pembelajaran secara
langsung
|
Hasil penelitian
|
Hasil penelitian merupakan produk ilmu
atau penerapan ilmu
|
Hasil penelitian merupakan metode praktis
peningkatan mutu pembelajaran
|
Prosedur
|
Berlangsung linear (bergerak maju).
Menggunakan rancangan dan kontrol yang ketat
|
Berlangsung siklis dan fleksibel terhadap
perubahan rancangan
|
Minggu, 02 Maret 2014
MATERI KULIAH DDMM 2
Bagan panggung berbantuk trapezium terbuka ke bawah, dengan arah hadap aktor/penari/pemain
adalah ke bawah mengarah ke penonton. Sedangkan penonton dari bawah mengarah ke
atas.
Dalam penerapannya, Garis lurus dapat dibuat desain lurus
ke depatn ke belakang, ke samping kiri ke samping kanan atau menyorong. Di samping
itu, garis lurus juga dapat dibuat desain Z, desain V atau kebalikannya, desain
Y atau kebalikannya, desain bersudut (segi tiga, segi empat, zik-zak, bintang
dan sebagainya).
Dari kedua garis tersebut, masing-masing mempunyai kesan
yang berbeda. Garis lurus mempunyai kesan sederhana tetapi kokoh dan kuat.
Sedangkan garis lengkung mempunyai kesan lembut tetapi lemah. Desain garis
lurus ini banyak digunakan oleh pola lantai tari-tarian klasik Jawa, tari Remo
(Jawa Timur) dan tari-tarian Hula-hula kuno dari Hawai. Sedangkan pola lantai
dengan garis lengkung banyak digunakan oleh tari-tarian primitif, dan
tari-tarian komunal yang bercirikan magis atau kegembiraan.
Didalam tari-tarian modern, pola lantainya sering menggunakan
kedua-duanya, yaitu kombinasi antara garis lurus dan garis lengkung.
Untuk menentukan/menandai level aktor/penari
pada gambaran desain lantai, maka perlu diberi keterangan yang jelas pada
gambar. Di dalam penjelasan ini dapat dicontohkan sebagai berikut; posisi aktor/penari
setidaknya dapat dibagi menjadi 4 bagian, yaitu level tinggi, level sedang,
level setengah rendah dan level rendah. Dalam posisi level tinggi, aktor/penari
berjungkit (jinjit Jawa) atau
naik berdiri di atas trap (alat bantu level). Pada posisi level sedang, peneri
berdiri biasa (normal), sedangkan posisi level setengah rendah, kedudukan aktor/penari
diantara berdiri normal dengan duduk, seperi berjongkok, membungkuk sambil
merendah seperti posisi harimau mau menerkam dan lain-sebagainya. Adapun posisi
level rendah, kedudukan aktor/penari mulai dari duduk (pantat menempel lantai)
sampai tidur. Level-level tersebut dalam gambaran pola lantai dapat disimbulkan
sebagai berikut:
3. Desain Kelompok
Garapan gerak yang dilakkan lebih dari satu
orang, maka masing-masing aktor/penari dituntut adanya hubungan timbal balik
yang saling membantu, saling merasakan, baik dalam hubungan keruangan, tempo,
maupun pengaturan dinamika. Untuk tarian tunggal, mungkinj komposisinya dapat
disusun dan dikembangkan yang cukup rumit. Akan tetapi, jika dilakukan lebih
dari satu orang, maka komposisinya harus ditata lebih sederhana. Dengan kata
lain, bahwa koreografer hendaknya berpedoman kasar, jika semakin besar jumlah
kelompoknya, maka semakin sederhana desain gerak yang harus dibuat. Suatu
misal, jika di atas panggung terdapat delapan sampai sepuluh aktor/penari, dan
masing-masing melakukan gerak yang berbeda, maka kesannya adalah ribut bagaikan
sebuah orkes yang masing-masing instrumen dibunyikan dengan keras-keras oleh
pemusiknya. Namun demikian hal tersebut bukan berarti bahwa tarian tunggal
harus lebih rumit dan tarian kelompok harus selalu lebih sederhana dan
serempak. Yang perlu diingat, bahwa di dalam desain kelompok, di samping harus
merupakan kesatuan yang utuh, juga harus memiliki variasi dan cukup sederhana.
Setiap pola gerak maupun pola lantai didalam sebuah komposisi kelompok dapat dilaksanakan
dengan rencana atau desain “serempak”, desain “berimbang”, desain
“selang-seling”, desain “bergantian”, desain “kontras/berlawanan” dan desai
“terpecah”. Desain-desain tersebut juga dapat dilakukan diam di tempat maupun
bergerak berpindah tempat atau melintas ruang.
Di samping itu,
didalam usaha mencapai dinamika pada tarian kelompok, dapat dilakukan dengan
memecah-mecah kelompok besar menjadi beberapa kelompok kecil yang berbeda
jumlah kelompoknya. Contoh jika ada tarian kelompok dengan jumlah aktor/penarinya
5 (lima ) orang,
dapat dibuat enam kemungkinan kelompok, yaitu: 5, 4-1, 3-2, 3-1-1, 2-2-1, dan
1-1-1-2. Namun demikian perlu dipertimbangkan dan diperhatikan, jika satu
kelompok besar yang dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil terlalu banyak, hasilnya
sering kurang “baik”. Lebih-lebih jika koreografer kurang teliti didalam
memikirkan pusat perhatian atau fokusnya. Adapun kelima desain kelompok
tersebut di atas, dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.
Desain Unison
atau Serempak
Pola-pola gerak yang didalam tarian tunggal dilakukan oleh seorang aktor/penari, maka
didalam tarian kelompok dapat dilakukan oleh sejumlah aktor/penari dalam waktu
dan tempo yang bersamaan. Pelaksanaan inilah yang dinamakan serempak atau
unison.
Pelaksanaan gerak
dengan desain serempak ini akan sekaligus terjadi pengulangan desain keruangan,
wujud waktu, dan dinamika. Desain serempak ini akan memberikan kesan
mempertegas dan memperkuat pola gerak yang dilakukan. Desain serempak ini dapat
dilakukan dengan diam di tempat umum berpindah tempat serta dapat diterapkan
pada berbagai macam desain lantai, sesuai dengan kebutuhan dan bentuk gerak
yang direncanakan.
b. Desain Balance atau Berimbang
Seperti telah
dijelaskan di atas, bahwa didalam tarian kelompok dapat dilakukan dengan
memecah-mecah kelompok utama menjadi kelompok-kelompok kecil. Dari
kelompok-kelompok kecil tersebut, dapat diatur pola lantainya sedemikian rupa,
sehingga tempat para kelompok kecil tersebut berada di daerah pentas yang
seimbang. Dari kedudukan para aktor/penari didalam pola lantai yang sedemikian
rupa, gerak dapat dilakukan dengan diam di tempat, atau berpindah tempat, gerak
dapat dilakukan oleh seluruh aktor/penari, secara serempak atau seluruh aktor/penari
namun berbeda antara kelompok satu dengan kelompok lainnya, atau hanya dilakukan
oleh beberapa aktor/penari saja.
Yang menjadi tuntutan
didalam desain berimbang ini adalah keseimbangan pola penataan ruang didalam
pentas. Peranan keseimbangan ini sangat penting didalam tarian kelompok, sebab
ketidak seimbangan di dalam tarian kelompok ini sangat mudah dapat dirasakan
maupun diamati oleh penonton daripada tarian tunggal.
c. Desain Alternate atau Selang-seling
Desain selang-seling
ini dapat diamati pada tarian kelompok dengan berbagai macam desain lantai.
Akan tetapi haru tepat dan jeli menentukan letak aktor/penari kelompok satu
dengan aktor/penari kelompok lain yang diselang-seling tersebut. Misal sejumlah
aktor/penari kelompok dengan pola lantai diagonal, aktor/penari bernomor ganjil
bergerak ke kiri dan aktor/penari bernomor genap bergerak ke kanan. Atau dengan
pola lantai yang sama, aktor/penari bernomor genap menggerakkan lengan menjulur
lurus ke atas, sedangkan aktor/penari lain menggerakkan lengan ke samping.
Contoh lain, sejumlah aktor/penari
kelompok dengan poola lantai berbanjar, dengan aktor/penari bernomor ganjil
berada di depan dengan gerak sambil duduk, sedang aktor/penari lain berada di
bagian belakang dengan bergerak sambil berdiri.
d. Desain Canon atau Susul-Menyusul
Jika sederetan aktor/penari
kelompok, misalnya 5 orang, aktor/penari pertama bergerak maju sambil melakukan
gerakan, kemudian disusul oleh aktor/penari kedua untuk melakukan serangkaian
gerakan yang sama, lalu disusul lagi aktor/penari ke tiga kemudian aktor/penari
keempat dan selanjutnya aktor/penari ke lima
yang masing-masing melakukan serangkaian gerak yang sama. Akan tetapi didalam
desain susul-menyusul atau canon ini, tidak harus satu
persatu, namun dapat dilakukan, misalnya ada lima aktor/penari, yang pertama satu,
kemudian dua dan terakhir dua atau dengan kemungkinan yang lain. Demikian pula
ketukannya atau hitungannya tidak harus konstan (tetap/sama) namun bebas sesuai
dengan ekspresi koreografernya.
e. Desain Kontras/Berlawanan
Di
dalam tarian kelompok, untuk menghindari kejenuhan karena kurang variasi
lebih-lebih jika durasi tarian tersebut relative panjang, dapat dilakukan
dengan memberikan bentuk desain kontras atau berlawanan. Yang dimaksud desain
ini adalah, menampilkan gerakan atau level yang disengaja diberi kontradiksi,
baik dari gerak, seperti gerak cepat dengan lambat, gerak statis dengan
dinamis, gerak di atas dan di bawah dan lain sebagainya. Lavel adalah tempat
kedudukan tinggi rendahnya aktor/penari,dan lain sebagainya.
f. Desain Broken atau Saling Berbeda
Didalam kelompok besar dapat dibagi
menjadi dua atau lebih kelompok-kelompok keci. Dari masing-masing kelompok
tersebut, ada kalanya memang sama pentingnya atau memang dibuat sedemikian rupa
yang memerlukan kekuatan yang sama. Dengan demikian kelompok-kelompok tersebut
melakukan desian yang saling berbeda, dengan harapan kelompok-kelompok tersebut
saling menopang atau saling menguatkan kelompok yang lain. Didalam tari
kelompok yang hendak menggunakan desain terpecah atau saling berbeda ini, yang
pertama harus dikuasai “waktu” (timing)
komposisinya dengan cermat dan desain-desain geraknya harus dibuat jelas dan
sederhana, demikian pula desain laintanya. Jika hal tersebut tidak dilakukan
maupun tidak dikuasai, maka akan mudah sekali timbul kesan kacau (semrawut)
atau kurang kebersamaan serta timbul kesan seakan-akan tiap-tiap aktor/penari
bergerak sendiri-sendiri yang tidak
harmonis atau mungkin ada dugaan bahwa aktor/penarinya belum hafal sehingga
melakukan improvisasi semaunya sendiri.
Materi Kuliah PROPOSAL
RUANG LINGKUP PENELITIAN
Variabel
|
Sub Variabel
|
Indikator
|
Diskriptor
|
Instrumen
|
Sumber data
|
Pedoman
wawancara
|
Faktor-faktor
yang mempengaruhi terjadinya keberlanjutan pertunjukan Wayang
Topeng Malang
|
·
Wilayah Geografi
Budaya Malang dan riwayat sejarahnya.
·
Daerah Persebaran
Perkumpulan Wayang Topeng Malang
|
·
Karakter
budaya masy,
·
Sejarah Malang
·
Data kantor
Bud dan tokoh seniman WTM
·
Wilayah dan
kondisi desa dan masy.
·
|
Wilayah, Perilaku, bahasa, karajkter masyarakat
Sejarah Malang
Desa yg pernah ada WTM
Wilayah dan karakter masyarakat serta perilaku
|
Pedoman observasi
Pedoman wawancara
Kepustakaan
|
Masyarakat
Tokoh masya, Seniman, Budayawan
Buku data kabupaten/kota Malang
Buku sejarah Monografi desa
|
|
DISKUSIKAN SESAMA KELOMPOK MENGENAI RUANG LINGKUP PROPOSAL SAUDARA, SEBELUMNYA PASTIKAN RUMUSAN MASALAH SAUDARA BENAR. HASIL DISKUSI SAUDARA BERUPA TABEL RUANG LINGKUP SEPERTI CONTOH DI ATAS. SELAMAT BERDISKUSI
Selasa, 28 Januari 2014
TAHLIL SEBUAH SENI RITUAL KEMATIAN
TAHLIL
SEBUAH SENI RITUAL KEMATIAN PADA
KEPERCAYAAN “ISLAM JAWA”
Tinjauan Teks Dalam Konteks
Oleh: Soerjo Wido Minarto
Abstrak: Tahlil merupakan sebuah perhelatan doa secara bersama-sama oleh orang yang beragama Islam kelompok Nahdlatul Ulama berpaham Ahlussunnah wal jamaah. Tujuannya adalah untuk ritual kematian yang biasanya dilakukan pada waktu-waktu tertentu setelah hari kematian seseorang, seperti 3, 7, 40, 100, 1000 harinya dan seterusnya. Ditinjau dari wujudnya dan medianya, tahlil merupakan seni ritual yang memiliki simbul dan makna sebagai teks dalam konteks.
Kata Kunci: Tahlil, seni ritual Islam, ritual kematian.
Tahlil is a ceremonial pray done in groups by muslim’s Nahdlatul Ulama sensible Ahlussunnah wal Jamaah. Aims to death rituals done at certain times, like 3, 7, 40, 100, 1000 days dan so forth. Seen from the shape and media, tahlil is the ritual arts that has the symbol and meaning as the text in the context.
Key words: Tahlil, Islamic ritual art, deat ritual.
Banyak cara untuk menyampaikan suatu ajaran tentang nilai-nilai luhur
dalam kehidupan di alam fana ini oleh nenek moyang kita. Ajaran tersebut
ditularkan melalui wejangan pitutur/petuah wujudnya antara lain berupa gerakan,
lukisan, lambang/simbul, tulisan, tembang/syair dan pitutur yang bercerita atau
dongeng. Upaya tersebut telah dapat dilihat dengan adanya kemajuan dalam
berbagai bidang pembangunan yang kian pesat khususnya di bidang ilmu pengetahuan, teknologi
dan seni.
Negara
kita adalah negara kesatuan yang berazaskan Pancasila dan UUD 1945, yang
menjunjung tinggi pola gotong royong (patembayan). Dengan demikian salah satu
komponen penting yang menunjang pembangunan adalah kualitas sosial
kemasyarakatan yang meliputi: hubungan kekeluargaan, gotong royong/kerja sama,
saling menghormati, nyaman hidup bertetangga di kampung “at home” dan rasa kebersamaan (familier)
diantara sesama warga. Visualisasinya dapat diungkapkan melalui berbagai macam
cara, diantaranya melalui perhelatan kegiatan tahlil[1]
di dalam rangkaian ritual kematian.
Tahlil adalah upacara ritual keagamaan (Islam) dengan pembacaan
ayat-ayat suci Al Quran, sholawat nabi dan do’a-do’a yang dilagukan disertai
dengan gerakan-gerakan terencana dan spontanitas seirama dengan lagunya,
sehingga menimbulkan rasa “nikmat” yang menghantarkan kekhusu’an di
dalam ritual tersebut. Rasa khusu’ dan nikmat ini sebenarnya merupakan
keindahan yang haqiqi didalam berkomunikasi antara makhluk dan khaliqnya. Jika
dicermati, tahlil ini sebenarnya sebuah bentuk kegiatan kesenian yang
bernuansa ritual, karena di dalamnya terdapat unsur musikal dari lagu-lagu yang
dilantunkan, gerakan-gerakan “indah” yang structural dan sastra dari
syair-sayairnya.
Di dalam pembicaraan ini kesenian tahlil dikaji melalui dua aspek kajian,
yaitu kajian tekstual dan kontekstual. Kesenian tahlil sebagai tekstual yang
relatif berdiri sendiri harus dibaca kemudian ditafsirkan, yang akan didekati
dengan herminiotik (paradigma interpretative dan structural ala Levi-Strauss).
Aspek yang ke dua memandang kesenian tahlil sebagai kontekstual yang lebih
besar dan pendekatannya bersifat holistic atau menyeluruh. Maksudnya
adalah, melihat keterkaitan kesenian tahlil dengan fenomena-fenomena lain dalam
kebudayaan yang bersangkutan yang meliputi politik, ekonomi, sosial kemasyarakatan,
teknologi, pariwisata bahkan perubahan-perubahan kondisi sosial.
PENGERTIAN
DAN KONSEP TAHLIL
Tahlil adalah istilah yang digunakan untuk menamai sebuah kalimat
toyyibah (indah/baik) wahyu dari tuhan Allah, yaitu kalimat “laailaaha
illallah” artinya tiada tuhan selain Allah. Dengan demikian di dalam ritual
tahlil, intinya adalah pada bacaan “laailaaha illallah”, yang dibaca sebanyak
100 kali atau lebih. Tentu saja disamping bacaan tersebut dalam ritual tahlil
dilengkapi dengan bacaan cuplikan surat
dari ayat-ayat suci Al Quran, solawat nabi dan do’a. struktur urutan bacaan di
dalam ritual tahlil tidak ada tuntunan yang baku, karena ritual tahlil ini merupakan
amalan yang diciptakan di Jawa, konon penciptanya adalah para wali yang
popular dengan sebutan Wali Sanga.
Konsep tahlil
ini intinya adalah berdzikir (mengingat) kepada Allah. Menurut Gus Qodir[2],
sesungguhnya orang diperintahkan berdzikir atau selalu ingat kepada Allah,
adalah untuk mengingat akan datangnya ‘kematian’. Jika
orang selalu ingat kepada Allah dan kematian, maka perilakunya akan terkendali
dan berusaha berbuat ‘kebenaran’ dan ‘kebaikan’. Sebab kepercayaan Islam dan hampir semua agama meyakini adanya
kehidupan setelah mati (dalam alam kubur dan alam akhir), adanya ‘hari
pembalasan’, dan
adanya akhir kebahagiaan (jannah,
surga, nirwana) atau akhir kesengsaraan (naar,
neraka). Tujuan akhir manusia (muslim) hidup adalah mati dalam
kebahagiaan/kebaikan yang disebut husnul khotimah, sekaligus menghindari
mati dalam kesengsaraan/keburukan yaitu suul khotimah.
Konon asal mula
tahlil diadakan, bahwa ketika ada orang meninggal, yang melayat (ta’ziyah) datang ke rumah duka,
di sana mereka ngobrol, atau nembang (macapat) atau bergurau ada yang
main kartu bahkan berjudi dan mabuk-mabukan untuk mengusir rasa kantuk. Hal ini
dilakukan tujuh malam berturut-turut, yang tidak jarang sering terjadi
keributan bahkan perkelaian. Melihat sisi negatif ini, para wali bersepakat
untuk berdakwah dan mengajak manusia untuk ikut membantu membahagiakan (ta’ziyah) yang tertimpa musibah
dengan mendoakan yang meninggal dan yang ditinggalkan. Di samping itu ketika ada orang meninggal,
sebanarnya merupakan peringatan bagi yang hidup agar senantiasa ingat (dzikir)
kepada Sang Pencipta, dan ingat bahwa setiap manusia akan mengalami kematian.
Untuk itu, dari pada main judi, minum-minuman keras, bergurau yang berlebihan lebih baik membantu membacakan do’a
sambil berdzikir (ingat) pada Allah.
Sebaik-baik berdzikir adalah membaca
kalimat tahlil: “laailaaha
illallah”. Dalam kebudayaan Jawa banyak mengungkapkan segala sesuatu
melalui tembang (lagu), contohnya:
semua karya sastra Jawa (semenjak Jawa kuno hingga Jawa baru) selalu
diungkapkan melalui syair-syair tembang/kidung (umumnya tembang macapat).
Mengapa dengan tembang? Sebab dengan tembang ini orang lebih mudah meresapi
sehingga lebih memahami makna “sesuatu” dan lebih ‘nikmat’ di dalam berkomunikasi, baik
vertikal maupun horisontal. Tembang adalah bentuk media untuk mengungkapkan
sesuatu melewati suara yang indah.
Demikian pula pembacaan tahlil, agar mudah memahami dan mudah
berkomunikasi dengan ‘yang
dituju’, maka diungkapkan
melalui suara yang indah. Lama-kelamaan dakwah para wali ini menancap pada
sanubari masyarakat dan dirasakan dalam hati menimbulkan kesejukan, kenikmatan
dan ‘intrans’ pada
Sang Pencipta, maka ritual tahlil ini mentradisi hingga sekarang dengan
penambahan fariasi di sana-sini.
(penjelasan Imam Syafi’i dan
Moch. Yusuf ta’mir masjid Asy Syuhada’ Malang).
TAHLIL SEBAGAI RITUAL KEMATIAN
Ritual merupakan suatu bentuk upacara yang berhubungan dengan beberapa
kepercayaan atau agama dengan ditandai oleh sifat khusus yang menimbulkan rasa
hormat yang luhur dalam arti merupakan pengalaman suci. (O’Dea, 1995:5-36 dalam
Hadi, 2006: 31). Pengalaman tersebut mencakup segala sesuatu yang dibuat dan
dipergunakan oleh manusia untuk menyatakan hubungan dengan ‘Yang Maha Esa’ dalam alam transendendal. Hubungan atau perjumpaan tersebut bukan merupakan
sesuatu yang umum atau biasa, tetapi sesuatu yang bersifat khusus dan istimewa,
sehingga manusia membuat sesuatu cara yang pantas guna melaksanakan hubungan
atau pertemuan tersebut, maka muncul berbagai bentuk ritual keagamaan, di antaranya adalah tahlil dalam ritual kematian muslim. Inti dari ritual
kepercayaan/keyakianan/agama merupakan ungkapan permohonan atau rasa syukur
kepada yang dihormati atau yang ‘berkuasa’. Oleh karenanya, upacara ritual
diselenggarakan pada waktu yang khusus, perbuatan yang luar biasa dengan
dilengkapi berbagai peralatan ritus yang bersifat sakral (ubarampen
sesaji).
Di dalam kebudayaan Jawa dikenal berbagai macam ritual, baik yang
bersifat individu maupun kelompok. Adapun
yang bersifat individu antara lain samadi yaitu berdiam diri
berkomunikasi dengan sang Pencipta, sandingan weton yaitu ritual meletakkan
sarana (benda ritual) bisaanya berupa bunga tiga macam yang lazim disebut kembang
telon yang dimasukkan kedalam mangkok kecil atau gelas dan diberi air
kemudian diletakkan di tempat khusus/di kamarnya pada saat hari dan pekan (pasaran) kelahirannya, misalnya Rabu
Kliwon selama semalam suntuk. Sedangkan yang bersifat kelompok seperti bersih
desa/nyadran yaitu ritual membersihkan ‘kotoran’ yang
mengganggu desa baik yang bersifat fisik seperti pencurian, perampokan dan
lain-lain, maupun yang bersifat imajiner seperti gangguan roh jahat yang
mengacau desa, visualnya bisa berupa wabah penyakit, bencana alam, banyak
pertengkaran, perceraian, banyak orang mati dan lain-lain. Juga ritual kematian
yang dilakukan secara bertahap sampai 1000 hari.
Semua aktifitas budaya orang Jawa selalu diyakini dan menggunakan
perhitungan-perhitungan ‘matematis’ yang berupa
statistik/angka-angka. Masing-masing fenomena seperti hari, pasaran,
suasana (masa), bulan, tahun dan lain-lain selalu diberi bobot angka.
Pembobotan angka-angka ini bagi orang Jawa dinamakan neptu. Contoh hari
Rabu bobot/neptu 8, Sabtu bobot/neptu 9, pasaran Kliwon, neptu/bobot
7, sedangkan pasaran Pahing, neptu/bobot 9. Masa (mangsa) di dalam keyakinan Jawa ada 12
sesuai dengan tahun, seperti mongsa ka-siji (kesatu), mongsa karo [loro
(ke dua)], mongsa kasada dan
seterusnya.
Dalam ritual
kematian juga dikenal perhitungan-perhitungan yang menyertai saat manusia mati
(tiba gěblakke) dihitung hari pertama, kemudia hari ke tiga (tělung
dinane), tujuh hari (pitung dinane), 40 hari (patang puluh dinane),
seratus hari (satus dinane), satu taun (pěndhak sěpisan), dua
tahun (pěndhak kapindho) dan seribu hari (sewu dinane). Bagi yang
beragama Islam dan berfaham Nahdlatul Ulama, ahli sunnah wal jamaah
(kelompok pengikut perilaku nabi), melaksanakan upacara kematian dengan
perilaku ritual, yaitu selamatan (memberikan sedekah berupa makanan) kepada
tetangga kanan kiri, dan pada malam harinya, semenjak hari ke satu sampai hari
ke tujuh dilaksanakan ritual tahlil. Setelah hari ke
tujuh tahlillan selesai, namun pada hari-hari tertentu yang sesuai
dengan perhitungan, seperti 40 hari, 100 hari, tepat 1 tahun, tepat 2 tahun dan
1000 harinya selalu dilakukan selamatan dan pada malam harinya dilaksanakan
ritual tahlil.
KESENIAN TAHLIL SEBAGAI TEKS
Ketika
seorang peneliti sudah berada di lapangan, maka akan dihadapkan beberapa
permasalahan yang terkadang sulit untuk mengambil keputusan secara tegas,
lebih-lebih yang berkaitan dengan kategori-kategori yang yang bersifat,
berkarakter, berbentuk, bermakna yang hampir sama. Ahimsa (1997:2) menjelaskan
behwa para ahli antropologi merasa kesuliatan ketika berada di lapangan
membedakan mana yang seni dan yang bukan seni, sebab kategori ‘seni’ atau kesenian adalah kategori-kategori dari peneliti.
Kategori-kategiri ini tidak selalu ada dalam bahasa atau kosa kata masyarakat
yang diteliti. Di berbagai masyarakat non-Barat, seperti India, Tailan Cina,
Afrika, Indonesia dan lain-lain, yang dikatakan ‘seni atau kesenian’
hampir selalu terkait dengan ritual kepercayaan atau upacara keagamaan. Oleh
karena itu, walaupun para antropolog menggunakan istilah ‘seni atau kesenian’ untuk menunjuk fenomena tertentu, namun sebenarnya
mereka tidak terlalu yakin
akan kebenaran konsep tersebut. Pemakaian konsep itu sekedar untuk mempermudah
berlangsungnya diskusi tentang fenomena tersebut. (Turner dalam Ahimsa 1997:3).
Merujuk
pada konsep tersebut di atas, maka saya mengajak untuk bersepakat, bahwa kajian
tahlil ini dipandang sebagai fenomena ‘seni-budaya’ pada
masyarakat muslim di Jawa. Mengapa seni? Karena saya berkesimpulan bahwa
seni merupakan sebuah alat komunikasi (Abdullah 1981; 8-12) yang paling
universal, unik dan selalu hidup. Menurut pendapat saya, setidaknya mengandung
5 unsur utama, yaitu ‘karya manusia’, ada unsur ‘ekspresi, atau ungkapan jiwa, ada ‘media’ ungkapnya
(gerak, rupa, bunyi, akting,
vokal, kata-kata), ada unsur aturan atau ‘irama’ dan
menimbulkan kenikmatan, kesenangan, kesyahduan, kepuasan dan lain-lain yang
istilah-istilah tersebut jika dirangkum dalam satu kata adalah ‘indah’. Dengan bahasa difinitifnya, ‘seni adalah hasil karya ekspresi manusia yang diungkapkan melalui media
(gerak, rupa, bunyi, acting, vokal, kata-kata) yang berirama (aturan) dan indah’ (Wido. 2005: 2). Kesenian Tahlil nampaknya dapat memenuhi
kreteria tersebut. Sebab jelas, bahwa tahlil hasil karya ekspresi orang muslim Jawa, diungkapkan melalui suara
(semakin merdu semakin nikmat), syair-syair pujian dan permohonan yang
menyejukkan, gerakan yang seirama dengan lantunan suara sesuai dengan
dinamikanya dan kesemuanya menimbulkan kenikmatan, kekhusyukan yang sebenarnya
adalah keindahan yang haqiqi.
Banyak hadits-hadits shoheh yang menjelaskan
tentang kesenian di jaman Rosulullah Muhammad saw, bahkan beliau sendiri
menganjurkan kepada shahabatnya untuk ‘melegakan hati’ (refreshing), diantaranya melalui
kesnian. Pernyataan ini diungkapkan dalam hadits
yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Ibnu Syihak Az Zuhri, Nabi bersabda: “legakanlah hatimu sekali-kali”
maksudnya, Nabi menganjurkan untuk melakukan segala perbuatan yang menyenangkan
atau memuaskan (mubah) asalkan tidak
bertentangan dengan larangan Allah. Pada hadits
lain, riwayat Imam Ahmad, Bukhori dan Muslim dari Aisyah ra. (isteri Nabi), kata Aisyah: “aku pernah mengawinkan
seorang wanita dengan seorang laki-laki dari kalangan Anshar. Lalu Nabi
bersabda: “Hai Aisyah, tidak adakah padamu hiburan (nyanyian) karena
sesungguhnya orang-orang Anshar
senang dengan hiburan”. Hadits ini
secara tegas memberitakan bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad saw. memiliki
toleransi yang besar terhadap tradisi suatu ummat/bangsa, bahkan beliau
menganjurkan membahagiakan hati orang lain dengan memberikan kesenangannya
selagi tidak melanggar hukum syara’
sehingga menimbulkan hal-hal yang negatif. Dalam kitab suci Al Quran surat Al
Lukman ayat 19, Allah berfirman: ”...dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya
seburuk-buruk suara adalah bunyi keledai”. Imam Al Ghozali mengambil pengertian ayat ini dari mafhum muklalafah, bahwa Allah memuji
suara yang baik/merdu/indah (Baghdadi, 1991: 33). Dengan demikian jelaslah
bahwa ayat tersebut, Allah menyukai keindahan (seni). Kemungkinan inilah
sebabnya bahwa segala ritual keagamaan baik wajib maupun sunnah, selalu disertai dengan perilaku dan bentuk-bentuk berupa simbol-simbol (suara/bunyi, gerak,
rupa dan syair atau kata-kata) yang ‘indah’, seperti adzan, sholat, diba’, manakib, istighotsah dan
sebagainya termasuk tahlil pada ritual kematian.
Perilaku ritual melalui keindahan (seni) ini dilakukan agar lebih nikmat dan khusu’, sehingga perasaan untuk
berkomunikasi dengan Sang Khaliq lebih mudah tersampai.
Memandang kesenian tahlil sebagai tekstual dalam ilmu
Antropologi biasa disebut herminiotik, secara garis besar dapat dibedakan
menjadi 2, yaitu; (a) telaah simbolik dan (b) telaah struktural. (Ahimsa 1997:3). Sekalipun demikian
penggolongan ini tidak terlalu ketat, karena sebenarnya cara ini digunakan
untuk memudahkan analisis, sehingga dapat membedakan dengan baik asumsi-asumsi
dasar yang melandasinya. Di dalam analisis tekstual tahlil ini, keduanya akan
melebur manjadi satu kesatuan yang saling mengisi. Di dalam menganalisis
tekstual kesenian tahlil ini saya menggunakan teori struktural ‘Levi
Strauss’, yang intinya bahwa struktur adalah model yang dibuat untuk
memahami atau menjelaskan gejala kebudayaan yang dianalisisnya, yang tidak ada
kaitannya dengan fenomena empiris kebudayaan itu sendiri, dan merupakan
relasi-relasi yang berhubungan satu sama lain yang saling mempengaruhi, atau
struktur adalah relations of relations atau
sistem of relations (Strauss, 1963
dalam Ahimsa, 2001: 61-63) dalam analisis struktural, struktur ini dibagi
menjadi dua macam, yaitu: pertama; struktur lahir atau struktur ‘luar’ (surface structure), dan
struktur batin atau struktur ‘dalam’ (deep structure). Mengingat amat luasnya teks dalam tahlil, maka
dalam paparan ini akan dibatasi hanya pada makna bilangan hari, makna sebagian
kecil mantra, makna keindahan lagu, gerak dan perilaku penyertanya.
Adapun struktur luar tahlil (surface structure) yang biasa dilakukan
dalam ritual kematian adalah sebagai berikut.
1. Pra Tahlil.
Para jamaah (peserta) datang dengan uluk salam: assalamualaikum
(semoga kalian semua selamat) yang disambut oleh tuan rumah: waalaikum salam
(dan semoga selamat juga untuk kalian) dilanjutkan dengan bersalam-salaman.
Jika sudah banyak tamu, yang datang belakangan disamping bersalaman dengan tuan
rumah, juga manyalami tamu-tamu yang datang duluan, kemudian duduk melingkar di
atas tikar atau karpet. Perilaku
tersebut memiliki makna (deep structure)
bahwa uluk salam adalah mendoakan selamat kepada semua yang mendengar ucapan assalamualaikum,
tersebut. Pengertian selamat disini bukan sekedar terhindar dari marabahaya
saja, tetapi selamat untuk fisik dan rohani (hati), maka dilengkapi dengan
berjabat tangan (saling mengiklaskan dan menyambung ikatan hati atau lazim
disebut silaturahmi). Artinya selamat ini adalah harapan untuk
dihindarkan dari gangguan/marabahaya fisik dan rohani (termasuk selamat dari
perbuatan dosa), baik didunia maupun di akherat yaitu terhindar dari siksa api
neraka. Karena begitu vitalnya makna ‘selamat’ ini, maka diwajibkan menjawab
bagi yang mendengar uluk salam, dan ada do’a khusus yang dianjurkan agar
manusia selamat, yaitu donga slamět.
2. Pelaksanaan Tahlil
Prakata
pembukaan, berisi ucapan terima kasih dari tuan rumah atau yang mewakili dan
menyampaikan maksud diadakannya ritual tahlil ini untuk mendoakan
almarhum/almarhumah siapa dan hari ke barapa (3, 7, 40, 100, 1000 hari atau
peringatan meninggal tahun ke berapa). Menurut kepercayaan Jawa angka-angka
pada bilangan hari tersebut, merupakan angka-angka sakral atau wingit, maka keberadaannya
selalu terkait dengan hidup dan kehidupan manusia.
Bilangan
‘tiga’
melambangkan cahaya kehidupan, nur cahya, nur rasa dan nur
buat (penjelasan Hartono tokoh rohaniwan Jawa aliran Sapta Darma, diijinkan
dikutip). Oleh karena itu, orang mati setelah dibungkus kain kafan diikat 3
bagian yakni bagian atas kepala (nur cahya), bagian tengah-tengah/badan
(nur rasa) dan di bawah kaki (nur buat). Disamping itu, orang
mati pada hari ke 3 merupakan awal berpisahnya 3 anasir dalam kehidupan
manusia, yaitu raga nyawa lan sukma. Raga adalah wadah/fisik, nyawa
adalah power/penggerak hidup seperti bernafas, bergerak, berasa indrawi, dan
sukma adalah inti dari kehidupan, yaitu ‘aku’ yang mengatakan
‘ada’nya sifat dan dzat.
Dengan demikian manusia dikatakan hidup yang ‘normal’ selalu terdiri
dari tiga kesatuan raga nyawa lan sukma. Manusia tidak dapat hidup
dialam dunia tanpa raga, sekalipun nyawa dan sukma bersatu. Manusia tidak dapat
dikatakan hidup normal jika hanya terdiri dari raga dan nyawa saja. Sebab bisa
jadi manusia masih bernafas, tetapi tidak bergerak atau bereaksi, seperti orang
koma, sekaratul maut, atau bereaksi
yang tidak terarah seperti orang gila, orang kalap (intrance). Oleh karena inilah dalam ritual orang Jawa ada istilah ngrogoh
sukma, yaitu fisik dan nyawanya berada di suatu tempat sedangkan sukmanya
berkeliaran kemana-mana. Dengan demikian sukma ada jika ada wadah dan
penggeraknya. Tidak akan terjadi sukma dan raga menyatu tanpa nyawa. Peristiwa
awal berpisahnya tiga anasir inilah yang ditandai dengan ritual agar perjalanan
masing-masing anasir ini dapat selamat menempuh tujuannya masing-masing yang
harapannya menuju Sang Haliq. Oleh
sebab masih awal perpisahan ini, sering orang mengatakan yang mati sering
pulang dan yang ditinggalkan masih sering bermimpi ketemu disebabkan belum
sepenuhnya ‘sukma’ iklas berpisah.
Tujuh hari orang meninggal
atau lazim disebut pitung dinane. Tujuh hari ini ditandai dengan ritual,
sebab bilangan ‘tujuh’ dalam Islam khususnya ‘Islam Jawa’ (Woodward, 2004: 364) amat penting.
Bilangan tujuh tersebut memiliki kekuatan dan kedudukan secara khusus. Seperti ayat
pitu yaitu sebutan sebuah surat dalam kitab
suci Al Quran, yaitu surat
Al Fatehah yang jumlah ayatnya ada tujuh. Surat Al Fatehah ini amat pentung
kedudukan maupun fungsinya. Contonya setiap sholat salah satu syarat sahnya
adalah membaca Alfatehah, setiap do’a /permintaan afdol (keutamaan)nya
diawali dan ditutup dengan membaca Al Fatehah. Bahkan surat Al Fatehah ini dapat berdiri sendiri
sebagai sebuah do’a khusus (mantra)
untuk keperluan yang khusus pula termasuk pula dalam setiap ritual kematian
selalu dibacakan ayat pitu ini. Disamping itu angka tujuh terletak pada
jumlah hari dalam satu minggu, secara fisik manusia yang telah meninggal dalam
waktu tujuh hari jasat mulai pecah, anasir-anasir fisik sudah menutup, sukma
mulai menjauh dari yang ditinggalkan, sekalipun hasrat ‘pulang’ masih ada, namun
sudah belajar ‘nglilakake’ (merelakan/mengikhlaskan).
Empat puluh hari, bilangan ini merujuk
5 x 8 dimana 5 adalah gambaran sedulur 4, 5 pancer yaitu kesatuan empat
nafsu (amarah, aluwamah, sufiyah dan mutmainnah) dengan ‘aku’, sedangkan 8 adalah bilangan windu. Waktu 40 hari ini jasad
manusia sudah mulai hancur menyatu dengan tanah kecuali tulang dan sukma juga
mulai melupakan, sekalipun sesekali masih inguk-inguk (mengamati dari
jauh) yang kadang-kadang datang dalam mimpi, sedang yang
ditinggalkan sesekali masih teringat bahkan ada rasa kerinduan.
Seratus hari adalah batas
perpisahan yang sesungguhnya, sehingga setelah lewat 100 hari umumnya yang
ditinggal sudah melepaskan dan sukma
sudah benar-benar meninggalkan jasad. Pada waktu ini jasad manusia kecuali
tulang sudah benar-benar menyatu dengan tanah. Umumnya jika sudah 100 hari yang
hidup sudah menemukan jawaban dari berbagai pertanyaan yang diberikan oleh
orang yang akan meninggal, misalnya kenapa meninggal di sini, kenapa yang
merawat saya dst. Pěndhak 1, pěndhak 2, yaitu peringatan satu tahun atau
2 tahun semenjak meninggal untuk mengingatkan menuju 1000 hari.
Batas
akhir kesempurnaan orang mati
adalah 1000 hari, pada waktu ini
jasad dianggap sempurna menyatu dengan tanah, sukma sudah tenang di alam
penantian. Maka bagi orang Jawa jika sudah lewat 1000 harinya, dikatakan wis
ěntek slamětane, karena seluruh jasat sudah lebur dan menyatu dengan tanah. Secara umum, manusia yang
meninggal sudah lebih dari 1000 harinya, sudah tidak lagi disinggung-singgung,
kecuali jika dia memiliki keistimewaan yang hebat, seperti ilmunya bermanfaat,
amalannya yang soleh, atau anaknya yang baik-baik semua sehingga dikenang
orang. Atau sebaliknya karena super negatifnya, sehingga dicaci orang.
Pambacaan
surat Yasiin
(83 ayat) boleh ada boleh tidak. Inti dibacakannya surat Yasiin ini agar arwahnya tenang
menghadap Allah dan iklas untuk menerima segala perbuatanya di dunia.
Pembacaan
ritual tahlil yang dipimpin oleh
seorang imam tahlil diutamakan yang
bersuara bagus, kharismatik dan dihormati masyarakat sekitarnya, serta
pengucapan laval bahasa Arabnya fasih. Hal ini disyaratkan oleh jamaah
(kelompok), sebab imam merupakan ‘panutan’
yang dicontoh dan ditaati oleh jamaahnya. Jika imam suaranya
tidak merdu, maka akan mengurangi kekhusukan dan kenikmatan ritual, demikian
pula jika imamnya tidak fasih, maka dalam hati jamaahnya merasa kurang ‘pas’.
Di dalam
ritual tahlil, tidak ada struktur baku yang
harus ditaati. Sekalipun banyak buku saku tuntunan tahlil, namun banyak sekali
perbedaan-perbedaannya, sehingga tidak semua jamaah/kelompok/daerah mau
menggunakan tuntunan buku saku tersebut. Ada
sebagian kelompok yang struktur bacaan ritual tahlil ini diawali surah Al
Fatihah kemudian langsung kalimat tahlil laailaaha illallah dan pada akhir
bacaan ritual adalah Al Ikhlas surat Al Falaq, surat An Nas dan ditutup
dengan do’a. Namun demikian di Malang, umumnya bacaan/mantra dalam
ritual tahlil diawali dengan surat no. 1 dalam Al Quran, yaitu surat Al Fatihah
dengan suara pelan dan lagunya bebas walaupun ada beberapa daerah yang dituntun
oleh imam. Surat ini wajib dibaca dalam acara riual apa saja, karena surat
alfatihah ini isinya merupakan ‘abstraksi’ dari segala permohonan dan ucapan
syukur, dilanjutkan dengan surat Al Ikhlas (3x atau 11x, atau 40x), surat Al
Falaq, surat An Nas masing-masing sekali atau 3 kali. Kemudian mengulangi surat Al Fatihah dilanjutkan awal, pertengahan dan akhir surat Al Baqoroh, membaca
sholawat nabi, membaca istighfar (astaghfirulla
hal ‘adzim) 100x baru membaca kalimat tahlil: laailaaha
illallah 100x. dilanjutkan membaca tasbih (subhanallahi wabihamdihi, subhanallaahil ‘adzim) 10x dilanjutkan
membaca solawat dan diakhiri membaca do’a khusus tahlil. Dengan demikian inti
dari bacaan tahlil adalah laailaaha illallah. Ini
sesuai dengan firman Allah dalah Al Quran, yang berbunyi afdul dzikkri
fa’lam annahu laailaaha illallah ( sebaik-baik orang ingat (dzikir) kepada
Allah adalam mengucapkan kalimat laailaaha illallah. (penjelasan
KH. Abdul Qodir, da’i dari Lawang Malang yang juga pengasuh tetap Mimbar Agama
Islam di TV3 Malaysia setiap 3 bulan sekali, diijinkan untuk dikutip). Setiap surat atau ayat-ayat yang dibaca memiliki
lagu tersendiri, irama yang berbeda dan dinamika bunyi yang berfariasi.
Lebih-lebih bacaan mantra/ayat
yang diulang-ulang hingga ‘intrance’ dan menimbulkan rasa ‘nikmat” dan tertanam keyakinan bahwa
tujuannya tersampai, serta merasa berkomunikasi langsung dengan haliqnya.
Contohnya pembacaan istighfar (permohonan ampun kepada Allah) yang diulang 100
kali. Sesuai dengan isinya, yaitu permohonan ampun kepadaNya, maka suasananya
sedih dan iramanya sedikit lambat. Selaras dengan suasana dan irama tersebut,
maka gerakannya pun juga menyesuaikan sambil menggoyangkan badan dan atau
menggerakkan kepala ke kanan dan ke kiri seirama dengan lagu. Berbeda dengan pembacaan kalimat tahlil yang isinya ikrar bahwa tidak ada
Tuhan selain Allah. Pembacaan
ayat ini bersuasana yakin dan semangat, maka lagunya tegas, iramanya
sedikit meningkat, demikian pula gerakannya yang didominasi gerakan kepala
menoleh kanan dan kiri, sedangkan badan cenderung diam atau mengimbangi gerak
kepala dan jari-jari tangan ikut menghitung, atau menghitung dengan tasbeh. Sementara itu untuk menambah
kenikmatan dan kekhusukan, mata dipejamkan atau diantara memejam dan membuka
(Jawa: ngrangin).
Do’a
untuk mengahiri bacaan ritual tahlil
ini dibacakan do’a, umumnya dilakukan oleh imam tahlil atau diserahkan kepada
yang dianggap tua baik usia maupun ilmunya. Secara umum lagu bacaan do’a adalah
datar tanpa dinamika, walaupun ada beberapa yang membacakan do’a dengan
dilagukan. Jika pembaca do’a suaranya merdu dan lagunya ‘enak’, maka akan membawa kenikmatan tersendiri, bahkan bisa menangis
yang meng-amini.
Namun jika tidak, lebih baik tidak berlagu, datar tetapi jelas bacaannya
dan melemahkan suaranya. Tanpa diperintah, secara konfensional, jika dibacakan
do’a, semua jamaah akan menggerakkan
tangannya ke atas sambil menengadahkan ke lagit. Sedangkan gerak kepalanya
sesuai dengan kenikmatyakinan masing-masing, ada yang mendongak ke atas, ada
pula yang malah menunduk. Jika intrace
dalam do’a, maka dapat dipastikan memejamkan mata bahkan sambil melelehkan air
mata (Hadi, 2005: 5 – 28). Namun jika rasa tidak nikmat dan tidak tersentuh
kalbunya, maka do’a hanya sebagai pelengkap saja dan cenderung tidak
mengacuhkan (sekalipun perilakunya sama dengan yang lain) namun cenderung ingin
segera selesai.
Tata
busana yang dikenakan di dalam ritual tahlil,
umumnya menggunakan kopyah hitam atau putih, berbaju takwa (baju muslim laki-laki), berkain sarung atau bercelana
panjang. Sekalipun warnanya suka-suka, namun modelnya hampir semua sama.
Pemakaian baju takwa tersebut
merupakan lambang bahwa jika orang hidup menginginkan kebahagiaan di dunia dan
akherat, maka pakailah ‘baju takwa’. Maksudnya adalah, pakaian orang hidup
ada dua macam, yakni pakaian raga
adalah busana, dan pakaian hati/jiwa
adalah iman dan taqwa. Keduanya harus selaras, sehingga yang di luar (raga)
mencerminkan apa yang ada di dalam (hati/jiwa). Hal ini sinkrun dengan pepatah
bahasa Jawa (unen-unen): ajining raga saka busana, ajining diri saka
lathi, (kehormatan raga karena busana, kehormatan harga diri karena ucapan).
KESENIAN TAHLIL SEBAGAI KONTEKS
Tahlil sebagai suatu gejala sosial yang
muncul dalam konteks tertentu memiliki hubungan dengan berbagai fenomena lain
dalam kehidupan masyarakat, seperti aktivitas politik, pariwisata, ekonomi,
teknologi, ekologi, berbagai kondisi perubahan yang tengah terjadi dan lain
sebagainya. Karena keterbatasan waktu, maka pembahasan konteks ini akan
fokuskan pada keterkaitan antara seni ritual tahlil dengan politik, ekonomi dan pariwisata.
1.
Tahlil dan Politik
Telah dijelaskan di atas, bahwa seni ritual tahlil adalah rangkaian upacara ritual
kematian bagi orang Jawa yang beragama Islam. Namun tidak semua yang beragama
Islam melaksanakan ritual tahlil karena ada beberapa faham/aliran yang
tidak memperbolehkannya dengan alasan bid’ah atau mengada-ada. Kelompok
yang melaksanakan upacara tahlil ini adalah aliran Nahdlatul Ulama (NU),
mereka mengkleim kelompok “ahlus sunnah wal jamaah” (kelompok pengikut
perilaku Nabi Muhammad saw) yang mengikuti jejak Wali Sanga. Semula tahlil hanya dikhususkan sebagai acara
ritual kematian, pada suatu ketika ada ritual tahlil tetapi tidak ada imamnya karena semua tidak hafal bacaannya.
Maka kemudian timbul gagasan untuk melatih hafalan bacaan tahlil, dibentuk kumpulan tahlil
yang dilaksanakan seminggu sekali, umumnya hari Kamis malam Jumat. Perkembangan
berikutnya, tahlil merupakan
organisasi massa
yang bergerak di dalam bidang kerohanian Islam dabawah naungan organisasi yang
lebih besar yaitu Nahdlatul Ulama.
Nahdlatul Ulama adalah kelompok sosial keagamaan yang
memiliki faham tertentu dan memiliki massa
dan penganut yang paling besar di negeri ini. Sebagai organisasi sosial
keagamaan (walaupun secara terselubung berfungsi
sebagai organisasi masa politik), tidak mengeluarkan kartu anggota. Oleh karena
itu, untuk menjadi pimpinan organisasi di tubuh NU tidak perlu mendaftarkan
diri sebagai anggota, cukup seseorang sebagai ketua/pengurus tahlil sah sebagai anggota NU dan berhak
dipilih dan memilih. Kenapa demikian? Karena seni ritual tahlil telah menjadi budya dan identitas NU. Oleh karena itu, tidak
terlalu sulit untuk mengumpulkan massa NU, tidak terlalu sulit untuk
menyampaikan program-program NU, cukup melalui jamaah tahlil. Bahkan dalam daerah tertentu, untuk mengundang warga rapat
RT/RW merasa kesulitan, tetapi tanpa diundang jika jadwal tahlil yang dating selalu penuh. Maka untuk menyampaikan program
RT/RW dan pengumuman pemerintah lebih efektif melalui jamaah tahlil.
Kiraya telah dipahami bersama, bahwa NU bukan organisasi
sosial politik, tetapi memiliki anak kandung parati politik, yaitu Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB). Karena tahlil milik NU dan PKB juga anaknya NU, maka
untuk kampanye sangat efektif melalui tahlil.
2.
Tahlil dan Ekonomi
Pelembagaan kesenian tahlil
di dalam masyarakat sebagai suatu perkumpulan aktivitas patembayan, yaitu
bersifat kerukunan, kekerabatan sosial yang bersifat keagamaan.
Perkumpulan-perkumpulan semacam ini, sering disebut ‘majelis ta’lim’ (forum peningkatan ilmu agama untuk meningkatan keimanan).
Pelaksanaan aktivitas pelembagaan tahlil
ini berupa pertemuan secara rutin seminggu sekali (ditambah dengan insidental)
dengan tempat berpindah-pendah dari rumah
ke rumah untuk melaksanakan tahlilan.
Semula masing-masing anggota membayar iuran sekedarnya untuk beaya konsumsi.
Dalam perkembangan berikutnya, iuran ini berubah menjadi arisan antar anggota.
Dimana yang mendapat arisan dipotong sebagian untuk organisasi dan wajib
ketempatan acara tahlilan. Semakin lama dana organisasi semakin besar. Kemudian
dipinjamkan kepada anggota tanpa bunga, tetapi memberikan sodakoh (semacam bunga sekedarnya). Lama kelamaan menjadi koperasi yang bersifat simpan
pinjam bahkan menjadi koperasi primer bagi anggotanya. SHUnya sering tidak
dibagikan melainkan digunakan untuk rekreasi spiritual (umumnya ziarah ke makam
ulama/wali) yang dilaksanakan rutin tahunan.
3.
Tahlil dan Pariwisata
Tahlil yang sudah jelas milik kelompok
Nahdlatul ulama, sering dimanfaatkan oleh “otoritas spiritual”, seperti
ulama-ulama ‘besar’ umumnya kyai kharismatik. Jika
kyai kharismatik ini meninggal dunia, maka sanak keluarga maupun murid-muridnya
selalu memperingati dengan istilah ‘khaul’ yang rutin
setiap tahun dan dilaksanakan secara besar-besaran sesuai kharismanya. Salah satu contoh adalah khaul guru besar Prof. Dr. Syeh Abdullah
Bil Faqih bin Syeh Abdul Qodir yang diperingati setiap tahun dan selalu
dihadiri santri-sntrinya seluruh Indonesia bahkan ada yang dari
mancanegara. Salah satu acaranya adalah tahlil akbar. Karena
pelaksanaannya rutin dan dihadiri ribuan orang, maka oleh dinas pariwisata
acara tersebut menjadi agenda wisata.
PENUTUP
Pembahasan
ini masih memerlukan diskusi
yang panjang sehingga menemukan manfaat dalam kehidupan masyarakat. Pembahasan
tentang teks dalam konteks ternyata dapat melihat secara holistik sebuah fenomena seni, yang berkembang di
masyarakat dan dapat bermanfaat sebagai pendalaman ilmu maupun realitas sosial.
Rujukan
Abdullah, Taufik. 1980/1981. Disekitar Komunikasi Ilmu dan
Seni. Analisis Kebudayaan 2: 8 – 12.
Ahimsa-Putra,
Heddy Shri. 2001. Strukturalisme Lavi – Staruss, Mitos dan Karya Sastra.
Yogyakarta: Galang Press.
|
____________
1997. Sebagai Teks dalam Konteks. Seni dalam Kajian Antropologi Budaya. Makalah
Seminar Wacana Seni Abad XXI. Diselenggarakan oleh Majalah Seni di
Yogyakarta, 26 Juli 1997.
Baghdadi, Al Abdurrahman. Seni Dalam Pandangan Islam
(seni vokal, musik dan tari) Jakarta:
Gema Insani Press.
Hadi, Sumandiyo. 2006. Seni Dalam Ritual Agama. Yogyakarta: BUKU PUSTAKA.
Hadi, Sumandiyo. 2005. Sosiologi Tari Sebuah Telaah Kritis yang Mengulas Tari
dari
zaman ke zaman: primitif, tradisional, modern hingga Kontemporer.
Yogyakarta: BUKU PUSTAKA
Minarto, Soerjo Wido, 2005. Pengetahuan Dasar Tari
Drama. Malang:
Universitas Kanjuruhan.
Woodward, Mark,
2004. Islam in Java: Normative Piety and Misticism (diterjemahkan
oleh Harius Salim: “Islam Jawa: Kesalehan Normatif versus Kebatinan”)
[Yogyakarta: LKiS cetakan ke 2,]: 364.
[1] Tahlil
adalah rangkaian upacara ritual kematian bagi orang Jawa yang beragama Islam.
Namun tidak semua yang beragama Islam melaksanakan ritual tahlil karena
ada beberapa faham/aliran yang tidak memperbolehkannya dengan alasan bid’ah atau mengada-ada. Kelompok yang melaksanakan
upacara tahlil ini adalah aliran Nahdlatul Ulama (NU), mereka mengkleim
kelompok “ahlus sunnah wal jamaah” yang mengikuti jejak “Wali Sanga”.
[2]
Kiyai Haji Abdul Qodir da’i dari Lawang Malang yang juga pengasuh tetap Mimbar
Agama Islam di TV3 Malaysia setiap 3 bulan sekali
Langganan:
Postingan (Atom)