Jumat, 22 Agustus 2014

Bahan kuliah Proposal Penelitian angkatan 2011

BAHAN KULIAH PROPOSAL PENELITIAN

BACA DAN PELAJARI SECARA SAKSAMA:

SISTEMATIKA PROPOSAL
1.      JUDUL
2.      LATAR BELAKANG MASALAH
3.      RUMUSAN MASALAH
4.      TUJUAN PENELITIAN
5.      MANFAAT PENELITIAN
6.      TINJAUAN PUSTAKA
7.      LANDASAN TEORI DAN PENDEKATAN
8.      METODE PENELITIAN
     a. Studi Pustaka
      b.Pengamatan
            c.Wawancara
9.    ANALISIS DATA
10.  SISTEMATIKA PENULISAN

    

n  METODOLOGI: yaitu filsafat atau ilmu mengenai metode. Dengan demikian metodologi edalah membahas prosedur intlektual dlm totalitas komunitas ilmiah. Metodologi  mengimplikasikan metode tetapi bukan kumpulan metode, dan bukan deskripsi metode.
n  METODE : adalah cara cara strategi utk memahami realitas, langkah langkah sistematis utk memecahkan rangkaian sebab akibat berikutnya.
n  PARADIGMA : Perangkat keyakinan mendasar pandangan dunia yg berfungsi utk menuntun tindakan tindakan manusia yg disepakati bersama baik dlm kehidupan sehari hari maupun dlm penelitian ilmiah.

n  PENDEKATAN : adalah cara menyeleksi serta menyususn data dan fakta berdasarkan konsep atau teori tertentu, antara lain dari ilmu sosiologi, antropologe, psikologi dsb.
n  Dalam penulisan perlu dibedakan anatara metode dan pendekatan. Pada dasarnya pendekatan memiliki tingkat abstraksi yg lebih tinggi baik dng metode maupun dng teori.Dlm sebuah pendekatan dimungkinkan mengoperasikan teori dan metode. Maka pendekatan disejajarkan dng bdng ilmu tertentu spt ; pendekatan sosiologi sastra,antropologi dsb.

n  TEORI : adalah suatu pernyataan tt hakikat suatu kenyataan atau suatu fakta, atau tt hubungan antara kenyataan atau fakta tsb dng kenyataan atau fakta yg lain, dan kebenaran pernyataan tsb telah diuji melalui metode dan prosedur tertentu.
n  KERANGKA TEORI : (Ahimsa) seperangkat pernyataan tt hakekat, cara memandang, merumuskan, dan menjawab suatu persoalan dng menggunakan cara dan tata urut tertentu, yg akan dpt menghasilkan pernyataan tertentu tt persoalan tersebut.
n  KONSEP : adalah istilah-istilah atau kata kata yg diberi makna tertentu sehingga membuatnya dpt digunakan utk mamahami, menafsirkan, menganalisis dan menjelaskan peristiwa atau gejala sosial budaya yg dipelajari.  Istilah –istilah seperti : masyarakat, sosialisasi, enkulturasi, integrasi sosial, konflik dsb adalah merupakan konsep-konsep.

Ada tiga cara utk membedakan ; teori, metode dan teknik yakni sbb.
1. Dengan cara membedakan tingkat abstraksinya.
2. Dengan cara memperhtikan faktor mana yg lebih luas ruang lingkup pemakainnya.
3. Dengan caramemperhatikan hubungan dng obyek.
Secara hierarkis tingkat abstraksi yg tertinggi dimiliki oleh ; Teori, Metode , dan Teknik.
Teknik berhubungan dng data primer. Misal teknik wawancara, teknik rekaman, teknik kartu data dsb.
Metode sebagai alat sama dng teori. Klasifikasi, deskripsi,komparasi, sampling, induksi, deduksi, eksplanasi dan interpretasi, kuantitatif dan kualitatif adalah sejumlah metode dlm ilmu humaniora..
Pergeseran akibat perkembangan keilmuan dng cara pandangan metode metode yg lain dapat menjadi teori misalnya : metode hermeneutika, dialektika dsb.

Aspek
Penelitian Formal
Penelitian Tindakan Kelas (PTK)
Pelaksana Penelitian
Dilakukan oleh orang luar
Dilakukan oleh guru, guru berkolaborasi dengan guru lain atau dosen
Masalah
Dapat berasal dari peneliti sendiri, dari luar kelas
Masalah yang terjadi di kelas (hasil observasi dan refleksi guru)
Sampel penelitian
Sampel harus representatif (terwakili), dipilih dengan teknik tertentu (misal acak)
Kerepresentatifan sampel tidak menjadi persyaratan penting. Subyek penelitian adalah kelas yang mempunyai masalah
Validitas (kesahihan)
Mengutamakan validitas internal   dan eksternal
Lebih mengutamakan validitas internal
Analisis
Menuntut penggunaan analisis statistik yang rumit
Tidak menuntut penggunaan analisis statistik yang rumit
Hipotesis
Mempersyaratkan hipotesis yang menunjukkan hubungan antara variabel bebas dan terikat
Tidak selalu menggunakan hipotesis. Hipotesis menggambarkan dampak tindakan yang akan dilakukan
Tujuan
Mengembangkan teori atau mencari temuan baru
Memperbaiki praktik pembelajaran secara langsung
Hasil penelitian
Hasil penelitian merupakan produk ilmu atau penerapan ilmu
Hasil penelitian merupakan metode praktis peningkatan mutu pembelajaran
Prosedur
Berlangsung linear (bergerak maju). Menggunakan rancangan dan kontrol yang ketat
Berlangsung siklis dan fleksibel terhadap perubahan rancangan






 

                                                                                       
                                                                                               
                                            
    



Minggu, 02 Maret 2014

MATERI KULIAH DDMM 2

Bagan panggung berbantuk trapezium terbuka ke bawah, dengan arah hadap aktor/penari/pemain adalah ke bawah mengarah ke penonton. Sedangkan penonton dari bawah mengarah ke atas.
Dalam penerapannya, Garis lurus dapat dibuat desain lurus ke depatn ke belakang, ke samping kiri ke samping kanan atau menyorong. Di samping itu, garis lurus juga dapat dibuat desain Z, desain V atau kebalikannya, desain Y atau kebalikannya, desain bersudut (segi tiga, segi empat, zik-zak, bintang dan sebagainya).
Dari kedua garis tersebut, masing-masing mempunyai kesan yang berbeda. Garis lurus mempunyai kesan sederhana tetapi kokoh dan kuat. Sedangkan garis lengkung mempunyai kesan lembut tetapi lemah. Desain garis lurus ini banyak digunakan oleh pola lantai tari-tarian klasik Jawa, tari Remo (Jawa Timur) dan tari-tarian Hula-hula kuno dari Hawai. Sedangkan pola lantai dengan garis lengkung banyak digunakan oleh tari-tarian primitif, dan tari-tarian komunal yang bercirikan magis atau kegembiraan.
Didalam tari-tarian modern, pola lantainya sering menggunakan kedua-duanya, yaitu kombinasi antara garis lurus dan garis lengkung.
            Untuk menentukan/menandai level aktor/penari pada gambaran desain lantai, maka perlu diberi keterangan yang jelas pada gambar. Di dalam penjelasan ini dapat dicontohkan sebagai berikut; posisi aktor/penari setidaknya dapat dibagi menjadi 4 bagian, yaitu level tinggi, level sedang, level setengah rendah dan level rendah. Dalam posisi level tinggi, aktor/penari berjungkit (jinjit Jawa)  atau naik berdiri di atas trap (alat bantu level). Pada posisi level sedang, peneri berdiri biasa (normal), sedangkan posisi level setengah rendah, kedudukan aktor/penari diantara berdiri normal dengan duduk, seperi berjongkok, membungkuk sambil merendah seperti posisi harimau mau menerkam dan lain-sebagainya. Adapun posisi level rendah, kedudukan aktor/penari mulai dari duduk (pantat menempel lantai) sampai tidur. Level-level tersebut dalam gambaran pola lantai dapat disimbulkan sebagai berikut:

3. Desain Kelompok
            Garapan gerak yang dilakkan lebih dari satu orang, maka masing-masing aktor/penari dituntut adanya hubungan timbal balik yang saling membantu, saling merasakan, baik dalam hubungan keruangan, tempo, maupun pengaturan dinamika. Untuk tarian tunggal, mungkinj komposisinya dapat disusun dan dikembangkan yang cukup rumit. Akan tetapi, jika dilakukan lebih dari satu orang, maka komposisinya harus ditata lebih sederhana. Dengan kata lain, bahwa koreografer hendaknya berpedoman kasar, jika semakin besar jumlah kelompoknya, maka semakin sederhana desain gerak yang harus dibuat. Suatu misal, jika di atas panggung terdapat delapan sampai sepuluh aktor/penari, dan masing-masing melakukan gerak yang berbeda, maka kesannya adalah ribut bagaikan sebuah orkes yang masing-masing instrumen dibunyikan dengan keras-keras oleh pemusiknya. Namun demikian hal tersebut bukan berarti bahwa tarian tunggal harus lebih rumit dan tarian kelompok harus selalu lebih sederhana dan serempak. Yang perlu diingat, bahwa di dalam desain kelompok, di samping harus merupakan kesatuan yang utuh, juga harus memiliki variasi dan cukup sederhana. Setiap pola gerak maupun pola lantai didalam sebuah komposisi kelompok dapat dilaksanakan dengan rencana atau desain “serempak”, desain “berimbang”, desain “selang-seling”, desain “bergantian”, desain “kontras/berlawanan” dan desai “terpecah”. Desain-desain tersebut juga dapat dilakukan diam di tempat maupun bergerak berpindah tempat atau melintas ruang.
            Di samping itu, didalam usaha mencapai dinamika pada tarian kelompok, dapat dilakukan dengan memecah-mecah kelompok besar menjadi beberapa kelompok kecil yang berbeda jumlah kelompoknya. Contoh jika ada tarian kelompok dengan jumlah aktor/penarinya 5 (lima) orang, dapat dibuat enam kemungkinan kelompok, yaitu: 5, 4-1, 3-2, 3-1-1, 2-2-1, dan 1-1-1-2. Namun demikian perlu dipertimbangkan dan diperhatikan, jika satu kelompok besar yang dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil terlalu banyak, hasilnya sering kurang “baik”. Lebih-lebih jika koreografer kurang teliti didalam memikirkan pusat perhatian atau fokusnya. Adapun kelima desain kelompok tersebut di atas, dapat dijelaskan sebagai berikut:

a.        Desain Unison atau Serempak
Pola-pola gerak yang didalam tarian tunggal  dilakukan oleh seorang aktor/penari, maka didalam tarian kelompok dapat dilakukan oleh sejumlah aktor/penari dalam waktu dan tempo yang bersamaan. Pelaksanaan inilah yang dinamakan serempak atau unison.
            Pelaksanaan gerak dengan desain serempak ini akan sekaligus terjadi pengulangan desain keruangan, wujud waktu, dan dinamika. Desain serempak ini akan memberikan kesan mempertegas dan memperkuat pola gerak yang dilakukan. Desain serempak ini dapat dilakukan dengan diam di tempat umum berpindah tempat serta dapat diterapkan pada berbagai macam desain lantai, sesuai dengan kebutuhan dan bentuk gerak yang direncanakan.

b.  Desain Balance atau Berimbang
            Seperti telah dijelaskan di atas, bahwa didalam tarian kelompok dapat dilakukan dengan memecah-mecah kelompok utama menjadi kelompok-kelompok kecil. Dari kelompok-kelompok kecil tersebut, dapat diatur pola lantainya sedemikian rupa, sehingga tempat para kelompok kecil tersebut berada di daerah pentas yang seimbang. Dari kedudukan para aktor/penari didalam pola lantai yang sedemikian rupa, gerak dapat dilakukan dengan diam di tempat, atau berpindah tempat, gerak dapat dilakukan oleh seluruh aktor/penari, secara serempak atau seluruh aktor/penari namun berbeda antara kelompok satu dengan kelompok lainnya, atau hanya dilakukan oleh beberapa aktor/penari saja.
            Yang menjadi tuntutan didalam desain berimbang ini adalah keseimbangan pola penataan ruang didalam pentas. Peranan keseimbangan ini sangat penting didalam tarian kelompok, sebab ketidak seimbangan di dalam tarian kelompok ini sangat mudah dapat dirasakan maupun diamati oleh penonton daripada tarian tunggal.

c.  Desain Alternate atau Selang-seling
            Desain selang-seling ini dapat diamati pada tarian kelompok dengan berbagai macam desain lantai. Akan tetapi haru tepat dan jeli menentukan letak aktor/penari kelompok satu dengan aktor/penari kelompok lain yang diselang-seling tersebut. Misal sejumlah aktor/penari kelompok dengan pola lantai diagonal, aktor/penari bernomor ganjil bergerak ke kiri dan aktor/penari bernomor genap bergerak ke kanan. Atau dengan pola lantai yang sama, aktor/penari bernomor genap menggerakkan lengan menjulur lurus ke atas, sedangkan aktor/penari lain menggerakkan lengan ke samping.
            Contoh lain, sejumlah aktor/penari kelompok dengan poola lantai berbanjar, dengan aktor/penari bernomor ganjil berada di depan dengan gerak sambil duduk, sedang aktor/penari lain berada di bagian belakang dengan bergerak sambil berdiri.

d.  Desain Canon atau Susul-Menyusul
            Jika sederetan aktor/penari kelompok, misalnya 5 orang, aktor/penari pertama bergerak maju sambil melakukan gerakan, kemudian disusul oleh aktor/penari kedua untuk melakukan serangkaian gerakan yang sama, lalu disusul lagi aktor/penari ke tiga kemudian aktor/penari keempat dan selanjutnya aktor/penari ke lima yang masing-masing melakukan serangkaian gerak yang sama. Akan tetapi didalam desain susul-menyusul atau canon ini, tidak harus satu persatu, namun dapat dilakukan, misalnya ada lima aktor/penari, yang pertama satu, kemudian dua dan terakhir dua atau dengan kemungkinan yang lain. Demikian pula ketukannya atau hitungannya tidak harus konstan (tetap/sama) namun bebas sesuai dengan ekspresi koreografernya.

e. Desain Kontras/Berlawanan
     Di dalam tarian kelompok, untuk menghindari kejenuhan karena kurang variasi lebih-lebih jika durasi tarian tersebut relative panjang, dapat dilakukan dengan memberikan bentuk desain kontras atau berlawanan. Yang dimaksud desain ini adalah, menampilkan gerakan atau level yang disengaja diberi kontradiksi, baik dari gerak, seperti gerak cepat dengan lambat, gerak statis dengan dinamis, gerak di atas dan di bawah dan lain sebagainya. Lavel adalah tempat kedudukan tinggi rendahnya aktor/penari,dan lain sebagainya.
 
f.  Desain Broken atau Saling Berbeda

            Didalam kelompok besar dapat dibagi menjadi dua atau lebih kelompok-kelompok keci. Dari masing-masing kelompok tersebut, ada kalanya memang sama pentingnya atau memang dibuat sedemikian rupa yang memerlukan kekuatan yang sama. Dengan demikian kelompok-kelompok tersebut melakukan desian yang saling berbeda, dengan harapan kelompok-kelompok tersebut saling menopang atau saling menguatkan kelompok yang lain. Didalam tari kelompok yang hendak menggunakan desain terpecah atau saling berbeda ini, yang pertama harus dikuasai “waktu” (timing) komposisinya dengan cermat dan desain-desain geraknya harus dibuat jelas dan sederhana, demikian pula desain laintanya. Jika hal tersebut tidak dilakukan maupun tidak dikuasai, maka akan mudah sekali timbul kesan kacau (semrawut) atau kurang kebersamaan serta timbul kesan seakan-akan tiap-tiap aktor/penari bergerak sendiri-sendiri yang tidak harmonis atau mungkin ada dugaan bahwa aktor/penarinya belum hafal sehingga melakukan improvisasi semaunya sendiri. 

Materi Kuliah PROPOSAL


RUANG LINGKUP PENELITIAN

Variabel
Sub Variabel
Indikator
Diskriptor
Instrumen
Sumber data
Pedoman wawancara
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya keberlanjutan pertunjukan  Wayang Topeng Malang













·   Wilayah Geografi Budaya Malang dan riwayat sejarahnya.

·   Daerah Persebaran Perkumpulan Wayang Topeng Malang


·   Karakter budaya masy,
·   Sejarah Malang


·   Data kantor Bud dan tokoh seniman WTM

·   Wilayah dan kondisi desa dan masy.
·    
Wilayah, Perilaku, bahasa, karajkter masyarakat
Sejarah Malang
Desa yg pernah ada WTM

Wilayah dan karakter masyarakat serta perilaku




Pedoman observasi
Pedoman wawancara
Kepustakaan

Masyarakat
Tokoh masya, Seniman, Budayawan
Buku data kabupaten/kota Malang
Buku sejarah Monografi desa





DISKUSIKAN SESAMA KELOMPOK MENGENAI RUANG LINGKUP PROPOSAL SAUDARA, SEBELUMNYA PASTIKAN RUMUSAN MASALAH SAUDARA BENAR. HASIL DISKUSI SAUDARA BERUPA TABEL RUANG LINGKUP SEPERTI CONTOH DI ATAS. SELAMAT BERDISKUSI

Selasa, 28 Januari 2014

TAHLIL SEBUAH SENI RITUAL KEMATIAN



TAHLIL SEBUAH  SENI RITUAL KEMATIAN PADA KEPERCAYAAN “ISLAM JAWA”
Tinjauan Teks  Dalam Konteks
Oleh: Soerjo Wido Minarto

Abstrak: Tahlil merupakan sebuah perhelatan doa secara bersama-sama oleh orang yang beragama Islam kelompok Nahdlatul Ulama berpaham Ahlussunnah wal jamaah. Tujuannya adalah untuk ritual kematian yang biasanya dilakukan pada waktu-waktu tertentu setelah hari kematian seseorang, seperti 3, 7, 40, 100, 1000 harinya dan seterusnya. Ditinjau dari wujudnya dan medianya, tahlil merupakan seni ritual yang memiliki simbul dan makna sebagai teks dalam konteks.

 

Kata Kunci: Tahlil, seni ritual Islam, ritual kematian.


Tahlil is a ceremonial pray done in groups by muslim’s Nahdlatul Ulama sensible Ahlussunnah wal Jamaah. Aims to death rituals done at certain times, like 3, 7, 40, 100, 1000 days dan so forth. Seen from the shape and media, tahlil is the ritual arts that has the symbol and meaning as the text in the context.

 

 Key words: Tahlil, Islamic ritual art, deat ritual.


 

Banyak cara untuk menyampaikan suatu ajaran tentang nilai-nilai luhur dalam kehidupan di alam fana ini oleh nenek moyang kita. Ajaran tersebut ditularkan melalui wejangan pitutur/petuah wujudnya antara lain berupa gerakan, lukisan, lambang/simbul, tulisan, tembang/syair dan pitutur yang bercerita atau dongeng. Upaya tersebut telah dapat dilihat dengan adanya kemajuan dalam berbagai bidang pembangunan yang kian pesat khususnya di bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. 
Negara kita adalah negara kesatuan yang berazaskan Pancasila dan UUD 1945, yang menjunjung tinggi pola gotong royong (patembayan). Dengan demikian salah satu komponen penting yang menunjang pembangunan adalah kualitas sosial kemasyarakatan yang meliputi: hubungan kekeluargaan, gotong royong/kerja sama, saling menghormati, nyaman hidup bertetangga di kampung “at home” dan rasa kebersamaan (familier) diantara sesama warga. Visualisasinya dapat diungkapkan melalui berbagai macam cara, diantaranya melalui perhelatan kegiatan tahlil[1] di dalam rangkaian ritual kematian.
Tahlil adalah upacara ritual keagamaan (Islam) dengan pembacaan ayat-ayat suci Al Quran, sholawat nabi dan do’a-do’a yang dilagukan disertai dengan gerakan-gerakan terencana dan spontanitas seirama dengan lagunya, sehingga menimbulkan rasa “nikmat” yang menghantarkan kekhusu’an di dalam ritual tersebut. Rasa khusu’ dan nikmat ini sebenarnya merupakan keindahan yang haqiqi didalam berkomunikasi antara makhluk dan khaliqnya. Jika dicermati, tahlil ini sebenarnya sebuah bentuk kegiatan kesenian yang bernuansa ritual, karena di dalamnya terdapat unsur musikal dari lagu-lagu yang dilantunkan, gerakan-gerakan “indah” yang structural dan sastra dari syair-sayairnya.
Di dalam pembicaraan ini kesenian tahlil dikaji melalui dua aspek kajian, yaitu kajian tekstual dan kontekstual. Kesenian tahlil sebagai tekstual yang relatif berdiri sendiri harus dibaca kemudian ditafsirkan, yang akan didekati dengan herminiotik (paradigma interpretative dan structural ala Levi-Strauss). Aspek yang ke dua memandang kesenian tahlil sebagai kontekstual yang lebih besar dan pendekatannya bersifat holistic atau menyeluruh. Maksudnya adalah, melihat keterkaitan kesenian tahlil dengan fenomena-fenomena lain dalam kebudayaan yang bersangkutan yang meliputi politik, ekonomi, sosial kemasyarakatan, teknologi, pariwisata bahkan perubahan-perubahan kondisi sosial.

PENGERTIAN DAN KONSEP TAHLIL
Tahlil adalah istilah yang digunakan untuk menamai sebuah kalimat toyyibah (indah/baik) wahyu dari tuhan Allah, yaitu kalimat “laailaaha illallah” artinya tiada tuhan selain Allah. Dengan demikian di dalam ritual tahlil, intinya adalah pada bacaan “laailaaha illallah”, yang dibaca sebanyak 100 kali atau lebih. Tentu saja disamping bacaan tersebut dalam ritual tahlil dilengkapi dengan bacaan cuplikan surat dari ayat-ayat suci Al Quran, solawat nabi dan do’a. struktur urutan bacaan di dalam ritual tahlil tidak ada tuntunan yang baku, karena ritual tahlil ini merupakan amalan yang diciptakan di Jawa, konon penciptanya adalah para wali yang popular dengan sebutan Wali Sanga.
Konsep tahlil ini intinya adalah berdzikir (mengingat) kepada Allah. Menurut Gus Qodir[2], sesungguhnya orang diperintahkan berdzikir atau selalu ingat kepada Allah, adalah untuk mengingat akan datangnya kematian. Jika orang selalu ingat kepada Allah dan kematian, maka perilakunya akan terkendali dan berusaha berbuat kebenaran dan kebaikan. Sebab kepercayaan Islam dan hampir semua agama meyakini adanya kehidupan setelah mati (dalam alam kubur dan alam akhir), adanya hari pembalasan, dan adanya akhir kebahagiaan (jannah, surga, nirwana) atau akhir kesengsaraan (naar, neraka). Tujuan akhir manusia (muslim) hidup adalah mati dalam kebahagiaan/kebaikan yang disebut husnul khotimah, sekaligus menghindari mati dalam kesengsaraan/keburukan yaitu suul khotimah.
Konon asal mula tahlil diadakan, bahwa ketika ada orang meninggal, yang melayat (ta’ziyah) datang ke rumah duka, di sana mereka ngobrol, atau nembang (macapat) atau bergurau ada yang main kartu bahkan berjudi dan mabuk-mabukan untuk mengusir rasa kantuk. Hal ini dilakukan tujuh malam berturut-turut, yang tidak jarang sering terjadi keributan bahkan perkelaian. Melihat sisi negatif ini, para wali bersepakat untuk berdakwah dan mengajak manusia untuk ikut membantu membahagiakan (ta’ziyah) yang tertimpa musibah dengan mendoakan yang meninggal dan yang ditinggalkan. Di samping itu ketika ada orang meninggal, sebanarnya merupakan peringatan bagi yang hidup agar senantiasa ingat (dzikir) kepada Sang Pencipta, dan ingat bahwa setiap manusia akan mengalami kematian. Untuk itu, dari pada main judi, minum-minuman keras, bergurau yang berlebihan lebih baik membantu membacakan do’a sambil berdzikir (ingat) pada Allah. Sebaik-baik berdzikir adalah membaca kalimat tahlil: “laailaaha illallah”. Dalam kebudayaan Jawa banyak mengungkapkan segala sesuatu melalui tembang (lagu), contohnya: semua karya sastra Jawa (semenjak Jawa kuno hingga Jawa baru) selalu diungkapkan melalui syair-syair tembang/kidung (umumnya tembang macapat). Mengapa dengan tembang? Sebab dengan tembang ini orang lebih mudah meresapi sehingga lebih memahami makna “sesuatu” dan lebih nikmat di dalam berkomunikasi, baik vertikal maupun horisontal. Tembang adalah bentuk media untuk mengungkapkan sesuatu melewati suara yang indah.  Demikian pula pembacaan tahlil, agar mudah memahami dan mudah berkomunikasi dengan yang dituju, maka diungkapkan melalui suara yang indah. Lama-kelamaan dakwah para wali ini menancap pada sanubari masyarakat dan dirasakan dalam hati menimbulkan kesejukan, kenikmatan dan intrans pada Sang Pencipta, maka ritual tahlil ini mentradisi hingga sekarang dengan penambahan fariasi di sana-sini. (penjelasan Imam Syafi’i dan Moch. Yusuf ta’mir masjid Asy Syuhada’ Malang).

TAHLIL SEBAGAI RITUAL KEMATIAN

Ritual merupakan suatu bentuk upacara yang berhubungan dengan beberapa kepercayaan atau agama dengan ditandai oleh sifat khusus yang menimbulkan rasa hormat yang luhur dalam arti merupakan pengalaman suci. (O’Dea, 1995:5-36 dalam Hadi, 2006: 31). Pengalaman tersebut mencakup segala sesuatu yang dibuat dan dipergunakan oleh manusia untuk menyatakan hubungan dengan Yang Maha Esa dalam alam transendendal. Hubungan atau perjumpaan tersebut bukan merupakan sesuatu yang umum atau biasa, tetapi sesuatu yang bersifat khusus dan istimewa, sehingga manusia membuat sesuatu cara yang pantas guna melaksanakan hubungan atau pertemuan tersebut, maka muncul berbagai bentuk ritual keagamaan, di antaranya adalah tahlil dalam ritual  kematian muslim. Inti dari ritual kepercayaan/keyakianan/agama merupakan ungkapan permohonan atau rasa syukur kepada yang dihormati atau yang berkuasa. Oleh karenanya, upacara ritual diselenggarakan pada waktu yang khusus, perbuatan yang luar biasa dengan dilengkapi berbagai peralatan ritus yang bersifat sakral (ubarampen sesaji).
Di dalam kebudayaan Jawa dikenal berbagai macam ritual, baik yang bersifat individu maupun kelompok. Adapun yang bersifat individu antara lain samadi yaitu berdiam diri berkomunikasi dengan sang Pencipta, sandingan weton yaitu ritual meletakkan sarana (benda ritual) bisaanya berupa bunga tiga macam yang lazim disebut kembang telon yang dimasukkan kedalam mangkok kecil atau gelas dan diberi air kemudian diletakkan di tempat khusus/di kamarnya pada saat hari dan pekan (pasaran) kelahirannya, misalnya Rabu Kliwon selama semalam suntuk. Sedangkan yang bersifat kelompok seperti bersih desa/nyadran yaitu ritual membersihkan kotoran yang mengganggu desa baik yang bersifat fisik seperti pencurian, perampokan dan lain-lain, maupun yang bersifat imajiner seperti gangguan roh jahat yang mengacau desa, visualnya bisa berupa wabah penyakit, bencana alam, banyak pertengkaran, perceraian, banyak orang mati dan lain-lain. Juga ritual kematian yang dilakukan secara bertahap sampai 1000 hari.
Semua aktifitas budaya orang Jawa selalu diyakini dan menggunakan perhitungan-perhitungan matematis yang berupa statistik/angka-angka. Masing-masing fenomena seperti hari, pasaran, suasana (masa), bulan, tahun dan lain-lain selalu diberi bobot angka. Pembobotan angka-angka ini bagi orang Jawa dinamakan neptu. Contoh hari Rabu bobot/neptu 8, Sabtu bobot/neptu 9, pasaran Kliwon, neptu/bobot 7, sedangkan pasaran Pahing, neptu/bobot 9. Masa (mangsa) di dalam keyakinan Jawa ada 12 sesuai dengan tahun, seperti mongsa ka-siji (kesatu), mongsa karo [loro (ke dua)], mongsa kasada  dan seterusnya.
Dalam ritual kematian juga dikenal perhitungan-perhitungan yang menyertai saat manusia mati (tiba gěblakke) dihitung hari pertama, kemudia hari ke tiga (tělung dinane), tujuh hari (pitung dinane), 40 hari (patang puluh dinane), seratus hari (satus dinane), satu taun (pěndhak sěpisan), dua tahun (pěndhak kapindho) dan seribu hari (sewu dinane). Bagi yang beragama Islam dan berfaham Nahdlatul Ulama, ahli sunnah wal jamaah (kelompok pengikut perilaku nabi), melaksanakan upacara kematian dengan perilaku ritual, yaitu selamatan (memberikan sedekah berupa makanan) kepada tetangga kanan kiri, dan pada malam harinya, semenjak hari ke satu sampai hari ke tujuh dilaksanakan ritual tahlil. Setelah hari ke tujuh tahlillan selesai, namun pada hari-hari tertentu yang sesuai dengan perhitungan, seperti 40 hari, 100 hari, tepat 1 tahun, tepat 2 tahun dan 1000 harinya selalu dilakukan selamatan dan pada malam harinya dilaksanakan ritual tahlil.

KESENIAN TAHLIL SEBAGAI TEKS

Ketika seorang peneliti sudah berada di lapangan, maka akan dihadapkan beberapa permasalahan yang terkadang sulit untuk mengambil keputusan secara tegas, lebih-lebih yang berkaitan dengan kategori-kategori yang yang bersifat, berkarakter, berbentuk, bermakna yang hampir sama. Ahimsa (1997:2) menjelaskan behwa para ahli antropologi merasa kesuliatan ketika berada di lapangan membedakan mana yang seni dan yang bukan seni, sebab kategori seni atau kesenian adalah kategori-kategori dari peneliti. Kategori-kategiri ini tidak selalu ada dalam bahasa atau kosa kata masyarakat yang diteliti. Di berbagai masyarakat non-Barat, seperti India, Tailan Cina, Afrika, Indonesia dan lain-lain, yang dikatakan seni atau kesenian hampir selalu terkait dengan ritual kepercayaan atau upacara keagamaan. Oleh karena itu, walaupun para antropolog menggunakan istilah seni atau kesenian untuk menunjuk fenomena tertentu, namun sebenarnya mereka tidak terlalu yakin akan kebenaran konsep tersebut. Pemakaian konsep itu sekedar untuk mempermudah berlangsungnya diskusi tentang fenomena tersebut. (Turner dalam Ahimsa 1997:3).
Merujuk pada konsep tersebut di atas, maka saya mengajak untuk bersepakat, bahwa kajian tahlil ini dipandang sebagai fenomena seni-budaya pada masyarakat muslim di Jawa. Mengapa seni? Karena saya berkesimpulan bahwa seni merupakan sebuah alat komunikasi (Abdullah 1981; 8-12) yang paling universal, unik dan selalu hidup. Menurut pendapat saya, setidaknya mengandung 5 unsur utama, yaitu karya manusia, ada unsur ekspresi, atau ungkapan jiwa, ada media ungkapnya (gerak, rupa, bunyi, akting, vokal, kata-kata), ada unsur aturan atau irama dan menimbulkan kenikmatan, kesenangan, kesyahduan, kepuasan dan lain-lain yang istilah-istilah tersebut jika dirangkum dalam satu kata adalah indah. Dengan bahasa difinitifnya, seni adalah hasil karya ekspresi manusia yang diungkapkan melalui media (gerak, rupa, bunyi, acting, vokal, kata-kata) yang berirama (aturan)  dan indah (Wido. 2005: 2). Kesenian Tahlil nampaknya dapat memenuhi kreteria tersebut. Sebab jelas, bahwa tahlil hasil karya ekspresi orang muslim Jawa, diungkapkan melalui suara (semakin merdu semakin nikmat), syair-syair pujian dan permohonan yang menyejukkan, gerakan yang seirama dengan lantunan suara sesuai dengan dinamikanya dan kesemuanya menimbulkan kenikmatan, kekhusyukan yang sebenarnya adalah keindahan yang haqiqi.
Banyak hadits-hadits shoheh yang menjelaskan tentang kesenian di jaman Rosulullah Muhammad saw, bahkan beliau sendiri menganjurkan kepada shahabatnya untuk melegakan hati (refreshing), diantaranya melalui kesnian. Pernyataan ini diungkapkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Ibnu Syihak Az Zuhri, Nabi bersabda: “legakanlah hatimu sekali-kali” maksudnya, Nabi menganjurkan untuk melakukan segala perbuatan yang menyenangkan atau memuaskan (mubah) asalkan tidak bertentangan dengan larangan Allah. Pada hadits lain, riwayat Imam Ahmad, Bukhori dan Muslim dari Aisyah ra. (isteri Nabi), kata Aisyah: “aku pernah mengawinkan seorang wanita dengan seorang laki-laki dari kalangan Anshar. Lalu Nabi bersabda: “Hai Aisyah, tidak adakah padamu hiburan (nyanyian) karena sesungguhnya orang-orang Anshar senang dengan hiburan”. Hadits ini secara tegas memberitakan bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad saw. memiliki toleransi yang besar terhadap tradisi suatu ummat/bangsa, bahkan beliau menganjurkan membahagiakan hati orang lain dengan memberikan kesenangannya selagi tidak melanggar hukum syara’ sehingga menimbulkan hal-hal yang negatif. Dalam kitab suci Al Quran surat Al Lukman ayat 19, Allah berfirman: ”...dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah bunyi keledai. Imam Al Ghozali mengambil pengertian ayat ini dari mafhum muklalafah, bahwa Allah memuji suara yang baik/merdu/indah (Baghdadi, 1991: 33). Dengan demikian jelaslah bahwa ayat tersebut, Allah menyukai keindahan (seni). Kemungkinan inilah sebabnya bahwa segala ritual keagamaan baik wajib maupun sunnah, selalu disertai dengan perilaku dan bentuk-bentuk berupa simbol-simbol (suara/bunyi, gerak, rupa dan syair atau kata-kata)  yang indah, seperti adzan, sholat, diba’, manakib, istighotsah dan sebagainya termasuk tahlil pada ritual kematian. Perilaku ritual melalui keindahan (seni) ini dilakukan agar lebih nikmat dan khusu’, sehingga perasaan untuk berkomunikasi dengan Sang Khaliq lebih mudah tersampai.
Memandang kesenian tahlil sebagai tekstual dalam ilmu Antropologi biasa disebut herminiotik, secara garis besar dapat dibedakan menjadi 2, yaitu; (a) telaah simbolik dan (b) telaah struktural. (Ahimsa 1997:3). Sekalipun demikian penggolongan ini tidak terlalu ketat, karena sebenarnya cara ini digunakan untuk memudahkan analisis, sehingga dapat membedakan dengan baik asumsi-asumsi dasar yang melandasinya. Di dalam analisis tekstual tahlil ini, keduanya akan melebur manjadi satu kesatuan yang saling mengisi. Di dalam menganalisis tekstual kesenian tahlil ini saya menggunakan teori struktural Levi Strauss, yang intinya bahwa struktur adalah model yang dibuat untuk memahami atau menjelaskan gejala kebudayaan yang dianalisisnya, yang tidak ada kaitannya dengan fenomena empiris kebudayaan itu sendiri, dan merupakan relasi-relasi yang berhubungan satu sama lain yang saling mempengaruhi, atau struktur adalah relations of relations atau sistem of relations (Strauss, 1963 dalam Ahimsa, 2001: 61-63) dalam analisis struktural, struktur ini dibagi menjadi dua macam, yaitu: pertama; struktur lahir atau struktur luar (surface structure), dan struktur batin atau struktur dalam (deep structure). Mengingat amat luasnya teks dalam tahlil, maka dalam paparan ini akan dibatasi hanya pada makna bilangan hari, makna sebagian kecil mantra, makna keindahan lagu, gerak dan perilaku penyertanya.
 Adapun struktur luar tahlil (surface structure) yang biasa dilakukan dalam ritual kematian adalah sebagai berikut.

1. Pra Tahlil.
Para jamaah (peserta) datang dengan uluk salam: assalamualaikum (semoga kalian semua selamat) yang disambut oleh tuan rumah: waalaikum salam (dan semoga selamat juga untuk kalian) dilanjutkan dengan bersalam-salaman. Jika sudah banyak tamu, yang datang belakangan disamping bersalaman dengan tuan rumah, juga manyalami tamu-tamu yang datang duluan, kemudian duduk melingkar di atas tikar atau karpet. Perilaku tersebut memiliki makna (deep structure) bahwa uluk salam adalah mendoakan selamat kepada semua yang mendengar ucapan assalamualaikum, tersebut. Pengertian selamat disini bukan sekedar terhindar dari marabahaya saja, tetapi selamat untuk fisik dan rohani (hati), maka dilengkapi dengan berjabat tangan (saling mengiklaskan dan menyambung ikatan hati atau lazim disebut silaturahmi). Artinya selamat ini adalah harapan untuk dihindarkan dari gangguan/marabahaya fisik dan rohani (termasuk selamat dari perbuatan dosa), baik didunia maupun di akherat yaitu terhindar dari siksa api neraka. Karena begitu vitalnya makna selamat ini, maka diwajibkan menjawab bagi yang mendengar uluk salam, dan ada do’a khusus yang dianjurkan agar manusia selamat, yaitu donga slamět.          

2. Pelaksanaan Tahlil
Prakata pembukaan, berisi ucapan terima kasih dari tuan rumah atau yang mewakili dan menyampaikan maksud diadakannya ritual tahlil ini untuk mendoakan almarhum/almarhumah siapa dan hari ke barapa (3, 7, 40, 100, 1000 hari atau peringatan meninggal tahun ke berapa). Menurut kepercayaan Jawa angka-angka pada bilangan hari tersebut, merupakan angka-angka sakral atau wingit, maka keberadaannya selalu terkait dengan hidup dan kehidupan manusia.
Bilangan tiga melambangkan cahaya kehidupan, nur cahya, nur rasa dan nur buat (penjelasan Hartono tokoh rohaniwan Jawa aliran Sapta Darma, diijinkan dikutip). Oleh karena itu, orang mati setelah dibungkus kain kafan diikat 3 bagian yakni bagian atas kepala (nur cahya), bagian tengah-tengah/badan (nur rasa) dan di bawah kaki (nur buat). Disamping itu, orang mati pada hari ke 3 merupakan awal berpisahnya 3 anasir dalam kehidupan manusia, yaitu raga nyawa lan sukma. Raga adalah wadah/fisik, nyawa adalah power/penggerak hidup seperti bernafas, bergerak, berasa indrawi, dan sukma adalah inti dari kehidupan, yaitu aku yang mengatakan adanya sifat dan dzat. Dengan demikian manusia dikatakan hidup yang normal selalu terdiri dari tiga kesatuan raga nyawa lan sukma. Manusia tidak dapat hidup dialam dunia tanpa raga, sekalipun nyawa dan sukma bersatu. Manusia tidak dapat dikatakan hidup normal jika hanya terdiri dari raga dan nyawa saja. Sebab bisa jadi manusia masih bernafas, tetapi tidak bergerak atau bereaksi, seperti orang koma, sekaratul maut, atau bereaksi yang tidak terarah seperti orang gila, orang kalap (intrance). Oleh karena inilah dalam ritual orang Jawa ada istilah ngrogoh sukma, yaitu fisik dan nyawanya berada di suatu tempat sedangkan sukmanya berkeliaran kemana-mana. Dengan demikian sukma ada jika ada wadah dan penggeraknya. Tidak akan terjadi sukma dan raga menyatu tanpa nyawa. Peristiwa awal berpisahnya tiga anasir inilah yang ditandai dengan ritual agar perjalanan masing-masing anasir ini dapat selamat menempuh tujuannya masing-masing yang harapannya menuju Sang Haliq. Oleh sebab masih awal perpisahan ini, sering orang mengatakan yang mati sering pulang dan yang ditinggalkan masih sering bermimpi ketemu disebabkan belum sepenuhnya sukma iklas berpisah.    
Tujuh hari orang meninggal atau lazim disebut pitung dinane. Tujuh hari ini ditandai dengan ritual, sebab bilangan tujuh dalam Islam khususnya Islam Jawa’ (Woodward, 2004: 364) amat penting. Bilangan tujuh tersebut memiliki kekuatan dan kedudukan secara khusus. Seperti ayat pitu yaitu sebutan sebuah surat dalam kitab suci Al Quran, yaitu surat Al Fatehah yang jumlah ayatnya ada tujuh. Surat Al Fatehah ini amat pentung kedudukan maupun fungsinya. Contonya setiap sholat salah satu syarat sahnya adalah membaca Alfatehah, setiap do’a /permintaan afdol (keutamaan)nya diawali dan ditutup dengan membaca Al Fatehah. Bahkan surat Al Fatehah ini dapat berdiri sendiri sebagai sebuah do’a khusus (mantra) untuk keperluan yang khusus pula termasuk pula dalam setiap ritual kematian selalu dibacakan ayat pitu ini. Disamping itu angka tujuh terletak pada jumlah hari dalam satu minggu, secara fisik manusia yang telah meninggal dalam waktu tujuh hari jasat mulai pecah, anasir-anasir fisik sudah menutup, sukma mulai menjauh dari yang ditinggalkan, sekalipun hasrat pulang masih ada, namun sudah belajar nglilakake’ (merelakan/mengikhlaskan).
Empat puluh hari, bilangan ini merujuk 5 x 8 dimana 5 adalah gambaran sedulur 4, 5 pancer yaitu kesatuan empat nafsu (amarah, aluwamah, sufiyah dan mutmainnah) dengan aku, sedangkan 8 adalah bilangan windu. Waktu 40 hari ini jasad manusia sudah mulai hancur menyatu dengan tanah kecuali tulang dan sukma juga mulai melupakan, sekalipun sesekali masih inguk-inguk (mengamati dari jauh) yang kadang-kadang datang dalam mimpi, sedang yang ditinggalkan sesekali masih teringat bahkan ada rasa kerinduan.
Seratus hari adalah batas perpisahan yang sesungguhnya, sehingga setelah lewat 100 hari umumnya yang ditinggal sudah melepaskan dan sukma sudah benar-benar meninggalkan jasad. Pada waktu ini jasad manusia kecuali tulang sudah benar-benar menyatu dengan tanah. Umumnya jika sudah 100 hari yang hidup sudah menemukan jawaban dari berbagai pertanyaan yang diberikan oleh orang yang akan meninggal, misalnya kenapa meninggal di sini, kenapa yang merawat saya dst. Pěndhak 1, pěndhak 2, yaitu peringatan satu tahun atau 2 tahun semenjak meninggal untuk mengingatkan menuju 1000 hari.
Batas akhir kesempurnaan orang mati adalah 1000 hari, pada waktu ini jasad dianggap sempurna menyatu dengan tanah, sukma sudah tenang di alam penantian. Maka bagi orang Jawa jika sudah lewat 1000 harinya, dikatakan wis ěntek slamětane, karena seluruh jasat sudah lebur dan menyatu  dengan tanah. Secara umum, manusia yang meninggal sudah lebih dari 1000 harinya, sudah tidak lagi disinggung-singgung, kecuali jika dia memiliki keistimewaan yang hebat, seperti ilmunya bermanfaat, amalannya yang soleh, atau anaknya yang baik-baik semua sehingga dikenang orang. Atau sebaliknya karena super negatifnya, sehingga dicaci orang.
Pambacaan surat Yasiin (83 ayat) boleh ada boleh tidak. Inti dibacakannya surat Yasiin ini agar arwahnya tenang menghadap Allah dan iklas untuk menerima segala perbuatanya di dunia.
Pembacaan ritual tahlil yang dipimpin oleh seorang imam tahlil diutamakan yang bersuara bagus, kharismatik dan dihormati masyarakat sekitarnya, serta pengucapan laval bahasa Arabnya fasih. Hal ini disyaratkan oleh jamaah (kelompok), sebab imam merupakan panutan  yang dicontoh dan ditaati oleh jamaahnya. Jika imam suaranya tidak merdu, maka akan mengurangi kekhusukan dan kenikmatan ritual, demikian pula jika imamnya tidak fasih, maka dalam hati jamaahnya merasa kurang pas.
Di dalam ritual tahlil, tidak ada struktur baku yang harus ditaati. Sekalipun banyak buku saku tuntunan tahlil, namun banyak sekali perbedaan-perbedaannya, sehingga tidak semua jamaah/kelompok/daerah mau menggunakan tuntunan buku saku tersebut. Ada sebagian kelompok yang struktur bacaan ritual tahlil ini diawali surah Al Fatihah kemudian langsung kalimat tahlil laailaaha illallah dan pada akhir bacaan ritual adalah Al Ikhlas surat Al Falaq, surat An Nas dan ditutup dengan do’a. Namun demikian di Malang, umumnya bacaan/mantra dalam ritual tahlil diawali dengan surat no. 1 dalam Al Quran, yaitu surat Al Fatihah dengan suara pelan dan lagunya bebas walaupun ada beberapa daerah yang dituntun oleh imam. Surat ini wajib dibaca dalam acara riual apa saja, karena surat alfatihah ini isinya merupakan abstraksi dari segala permohonan dan ucapan syukur, dilanjutkan dengan surat Al Ikhlas (3x atau 11x, atau 40x), surat Al Falaq, surat An Nas masing-masing sekali atau 3 kali. Kemudian mengulangi surat Al Fatihah dilanjutkan awal, pertengahan dan akhir surat Al Baqoroh, membaca sholawat nabi, membaca istighfar (astaghfirulla hal ‘adzim) 100x baru membaca kalimat tahlil: laailaaha illallah 100x. dilanjutkan membaca tasbih (subhanallahi wabihamdihi, subhanallaahil ‘adzim) 10x dilanjutkan membaca solawat dan diakhiri membaca do’a khusus tahlil. Dengan demikian inti dari bacaan tahlil adalah laailaaha illallah. Ini sesuai dengan firman Allah dalah Al Quran, yang berbunyi afdul dzikkri fa’lam annahu laailaaha illallah ( sebaik-baik orang ingat (dzikir) kepada Allah adalam mengucapkan kalimat laailaaha illallah. (penjelasan KH. Abdul Qodir, da’i dari Lawang Malang yang juga pengasuh tetap Mimbar Agama Islam di TV3 Malaysia setiap 3 bulan sekali, diijinkan untuk dikutip).  Setiap surat atau ayat-ayat yang dibaca memiliki lagu tersendiri, irama yang berbeda dan dinamika bunyi yang berfariasi. Lebih-lebih bacaan mantra/ayat yang diulang-ulang hingga intrance dan menimbulkan rasa nikmat” dan tertanam keyakinan bahwa tujuannya tersampai, serta merasa berkomunikasi langsung dengan haliqnya. Contohnya pembacaan istighfar (permohonan ampun kepada Allah) yang diulang 100 kali. Sesuai dengan isinya, yaitu permohonan ampun kepadaNya, maka suasananya sedih dan iramanya sedikit lambat. Selaras dengan suasana dan irama tersebut, maka gerakannya pun juga menyesuaikan sambil menggoyangkan badan dan atau menggerakkan kepala ke kanan dan ke kiri seirama dengan lagu. Berbeda dengan pembacaan kalimat tahlil yang isinya ikrar bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Pembacaan ayat ini bersuasana yakin dan semangat, maka lagunya tegas, iramanya sedikit meningkat, demikian pula gerakannya yang didominasi gerakan kepala menoleh kanan dan kiri, sedangkan badan cenderung diam atau mengimbangi gerak kepala dan jari-jari tangan ikut menghitung, atau menghitung dengan tasbeh. Sementara itu untuk menambah kenikmatan dan kekhusukan, mata dipejamkan atau diantara memejam dan membuka (Jawa: ngrangin).
Do’a untuk mengahiri bacaan ritual tahlil ini dibacakan do’a, umumnya dilakukan oleh imam tahlil atau diserahkan kepada yang dianggap tua baik usia maupun ilmunya. Secara umum lagu bacaan do’a adalah datar tanpa dinamika, walaupun ada beberapa yang membacakan do’a dengan dilagukan. Jika pembaca do’a suaranya merdu dan lagunyaenak, maka akan membawa kenikmatan tersendiri, bahkan bisa menangis yang meng-amini.  Namun jika tidak, lebih baik tidak berlagu, datar tetapi jelas bacaannya dan melemahkan suaranya. Tanpa diperintah, secara konfensional, jika dibacakan do’a, semua jamaah akan menggerakkan tangannya ke atas sambil menengadahkan ke lagit. Sedangkan gerak kepalanya sesuai dengan kenikmatyakinan masing-masing, ada yang mendongak ke atas, ada pula yang malah menunduk. Jika intrace dalam do’a, maka dapat dipastikan memejamkan mata bahkan sambil melelehkan air mata (Hadi, 2005: 5 – 28). Namun jika rasa tidak nikmat dan tidak tersentuh kalbunya, maka do’a hanya sebagai pelengkap saja dan cenderung tidak mengacuhkan (sekalipun perilakunya sama dengan yang lain) namun cenderung ingin segera selesai.
Tata busana yang dikenakan di dalam ritual tahlil, umumnya menggunakan kopyah hitam atau putih, berbaju takwa (baju muslim laki-laki), berkain sarung atau bercelana panjang. Sekalipun warnanya suka-suka, namun modelnya hampir semua sama. Pemakaian baju takwa tersebut merupakan lambang bahwa jika orang hidup menginginkan kebahagiaan di dunia dan akherat, maka pakailah baju takwa. Maksudnya adalah, pakaian orang hidup ada dua macam, yakni pakaian raga adalah busana, dan pakaian hati/jiwa adalah iman dan taqwa. Keduanya harus selaras, sehingga yang di luar (raga) mencerminkan apa yang ada di dalam (hati/jiwa). Hal ini sinkrun dengan pepatah bahasa Jawa (unen-unen): ajining raga saka busana, ajining diri saka lathi, (kehormatan raga karena busana, kehormatan harga diri karena ucapan).  

KESENIAN TAHLIL SEBAGAI KONTEKS

Tahlil sebagai suatu gejala sosial yang muncul dalam konteks tertentu memiliki hubungan dengan berbagai fenomena lain dalam kehidupan masyarakat, seperti aktivitas politik, pariwisata, ekonomi, teknologi, ekologi, berbagai kondisi perubahan yang tengah terjadi dan lain sebagainya. Karena keterbatasan waktu, maka pembahasan konteks ini akan fokuskan pada keterkaitan antara seni ritual tahlil dengan politik, ekonomi dan pariwisata.

1.      Tahlil dan Politik
Telah dijelaskan di atas, bahwa seni ritual tahlil adalah rangkaian upacara ritual kematian bagi orang Jawa yang beragama Islam. Namun tidak semua yang beragama Islam melaksanakan ritual tahlil karena ada beberapa faham/aliran yang tidak memperbolehkannya dengan alasan bid’ah atau mengada-ada. Kelompok yang melaksanakan upacara tahlil ini adalah aliran Nahdlatul Ulama (NU), mereka mengkleim kelompok “ahlus sunnah wal jamaah” (kelompok pengikut perilaku Nabi Muhammad saw) yang mengikuti jejak Wali Sanga. Semula tahlil hanya dikhususkan sebagai acara ritual kematian, pada suatu ketika ada ritual tahlil tetapi tidak ada imamnya karena semua tidak hafal bacaannya. Maka kemudian timbul gagasan untuk melatih hafalan bacaan tahlil, dibentuk kumpulan tahlil yang dilaksanakan seminggu sekali, umumnya hari Kamis malam Jumat. Perkembangan berikutnya, tahlil merupakan organisasi massa yang bergerak di dalam bidang kerohanian Islam dabawah naungan organisasi yang lebih besar yaitu Nahdlatul Ulama.
Nahdlatul Ulama adalah kelompok sosial keagamaan yang memiliki faham tertentu dan memiliki massa dan penganut yang paling besar di negeri ini. Sebagai organisasi sosial keagamaan (walaupun secara terselubung berfungsi sebagai organisasi masa politik), tidak mengeluarkan kartu anggota. Oleh karena itu, untuk menjadi pimpinan organisasi di tubuh NU tidak perlu mendaftarkan diri sebagai anggota, cukup seseorang sebagai ketua/pengurus tahlil sah sebagai anggota NU dan berhak dipilih dan memilih. Kenapa demikian? Karena seni ritual tahlil telah menjadi budya dan identitas NU. Oleh karena itu, tidak terlalu sulit untuk mengumpulkan massa NU, tidak terlalu sulit untuk menyampaikan program-program NU, cukup melalui jamaah tahlil. Bahkan dalam daerah tertentu, untuk mengundang warga rapat RT/RW merasa kesulitan, tetapi tanpa diundang jika jadwal tahlil yang dating selalu penuh. Maka untuk menyampaikan program RT/RW dan pengumuman pemerintah lebih efektif melalui jamaah tahlil.
Kiraya telah dipahami bersama, bahwa NU bukan organisasi sosial politik, tetapi memiliki anak kandung parati politik, yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Karena tahlil milik NU dan PKB juga anaknya NU, maka untuk kampanye sangat efektif melalui tahlil.

2.      Tahlil dan Ekonomi
Pelembagaan kesenian tahlil di dalam masyarakat sebagai suatu perkumpulan aktivitas patembayan, yaitu bersifat kerukunan, kekerabatan sosial yang bersifat keagamaan. Perkumpulan-perkumpulan semacam ini, sering disebut majelis ta’lim (forum peningkatan ilmu agama untuk meningkatan keimanan). Pelaksanaan aktivitas pelembagaan tahlil ini berupa pertemuan secara rutin seminggu sekali (ditambah dengan insidental) dengan tempat berpindah-pendah dari rumah ke rumah untuk melaksanakan tahlilan. Semula masing-masing anggota membayar iuran sekedarnya untuk beaya konsumsi. Dalam perkembangan berikutnya, iuran ini berubah menjadi arisan antar anggota. Dimana yang mendapat arisan dipotong sebagian untuk organisasi dan wajib ketempatan acara tahlilan. Semakin lama dana organisasi semakin besar. Kemudian dipinjamkan kepada anggota tanpa bunga, tetapi memberikan sodakoh (semacam bunga sekedarnya). Lama kelamaan menjadi koperasi yang bersifat simpan pinjam bahkan menjadi koperasi primer bagi anggotanya. SHUnya sering tidak dibagikan melainkan digunakan untuk rekreasi spiritual (umumnya ziarah ke makam ulama/wali) yang dilaksanakan rutin tahunan.

3.      Tahlil dan Pariwisata
Tahlil yang sudah jelas milik kelompok Nahdlatul ulama, sering dimanfaatkan oleh “otoritas spiritual”, seperti ulama-ulama besar umumnya kyai kharismatik. Jika kyai kharismatik ini meninggal dunia, maka sanak keluarga maupun murid-muridnya selalu memperingati dengan istilah khaul yang rutin setiap tahun dan dilaksanakan secara besar-besaran sesuai kharismanya. Salah satu contoh adalah khaul guru besar Prof. Dr. Syeh Abdullah Bil Faqih bin Syeh Abdul Qodir yang diperingati setiap tahun dan selalu dihadiri santri-sntrinya seluruh Indonesia bahkan ada yang dari mancanegara. Salah satu acaranya adalah tahlil akbar. Karena pelaksanaannya rutin dan dihadiri ribuan orang, maka oleh dinas pariwisata acara tersebut menjadi agenda wisata.

PENUTUP
            Pembahasan ini masih memerlukan diskusi yang panjang sehingga menemukan manfaat dalam kehidupan masyarakat. Pembahasan tentang teks dalam konteks ternyata dapat melihat secara holistik sebuah fenomena seni, yang berkembang di masyarakat dan dapat bermanfaat sebagai pendalaman ilmu maupun realitas sosial.

Rujukan
Abdullah, Taufik. 1980/1981. Disekitar Komunikasi Ilmu dan Seni. Analisis Kebudayaan  2: 8 – 12.

Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2001. Strukturalisme Lavi – Staruss, Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta: Galang Press.
­­­­­­­­­­­­____________ 1997. Sebagai Teks dalam Konteks. Seni dalam Kajian Antropologi Budaya. Makalah Seminar Wacana Seni Abad XXI. Diselenggarakan oleh Majalah Seni di Yogyakarta, 26 Juli 1997.

Baghdadi, Al Abdurrahman. Seni Dalam Pandangan Islam (seni vokal, musik dan tari) Jakarta: Gema Insani Press.

Hadi, Sumandiyo. 2006. Seni Dalam Ritual Agama. Yogyakarta: BUKU PUSTAKA.

Hadi, Sumandiyo. 2005. Sosiologi Tari Sebuah Telaah Kritis yang Mengulas Tari 
           dari  zaman ke zaman: primitif, tradisional, modern hingga Kontemporer.       
           Yogyakarta: BUKU PUSTAKA
Minarto, Soerjo Wido, 2005. Pengetahuan Dasar Tari Drama. Malang: Universitas Kanjuruhan.

Woodward, Mark, 2004. Islam in Java: Normative Piety and Misticism (diterjemahkan oleh Harius Salim: “Islam Jawa: Kesalehan Normatif versus Kebatinan”) [Yogyakarta: LKiS cetakan ke 2,]: 364.


[1] Tahlil adalah rangkaian upacara ritual kematian bagi orang Jawa yang beragama Islam. Namun tidak semua yang beragama Islam melaksanakan ritual tahlil karena ada beberapa faham/aliran yang tidak memperbolehkannya dengan alasan bid’ah  atau mengada-ada. Kelompok yang melaksanakan upacara tahlil ini adalah aliran Nahdlatul Ulama (NU), mereka mengkleim kelompok “ahlus sunnah wal jamaah” yang mengikuti jejak “Wali Sanga”.
[2] Kiyai Haji Abdul Qodir da’i dari Lawang Malang yang juga pengasuh tetap Mimbar Agama Islam di TV3 Malaysia setiap 3 bulan sekali