Selasa, 28 Januari 2014

TAHLIL SEBUAH SENI RITUAL KEMATIAN



TAHLIL SEBUAH  SENI RITUAL KEMATIAN PADA KEPERCAYAAN “ISLAM JAWA”
Tinjauan Teks  Dalam Konteks
Oleh: Soerjo Wido Minarto

Abstrak: Tahlil merupakan sebuah perhelatan doa secara bersama-sama oleh orang yang beragama Islam kelompok Nahdlatul Ulama berpaham Ahlussunnah wal jamaah. Tujuannya adalah untuk ritual kematian yang biasanya dilakukan pada waktu-waktu tertentu setelah hari kematian seseorang, seperti 3, 7, 40, 100, 1000 harinya dan seterusnya. Ditinjau dari wujudnya dan medianya, tahlil merupakan seni ritual yang memiliki simbul dan makna sebagai teks dalam konteks.

 

Kata Kunci: Tahlil, seni ritual Islam, ritual kematian.


Tahlil is a ceremonial pray done in groups by muslim’s Nahdlatul Ulama sensible Ahlussunnah wal Jamaah. Aims to death rituals done at certain times, like 3, 7, 40, 100, 1000 days dan so forth. Seen from the shape and media, tahlil is the ritual arts that has the symbol and meaning as the text in the context.

 

 Key words: Tahlil, Islamic ritual art, deat ritual.


 

Banyak cara untuk menyampaikan suatu ajaran tentang nilai-nilai luhur dalam kehidupan di alam fana ini oleh nenek moyang kita. Ajaran tersebut ditularkan melalui wejangan pitutur/petuah wujudnya antara lain berupa gerakan, lukisan, lambang/simbul, tulisan, tembang/syair dan pitutur yang bercerita atau dongeng. Upaya tersebut telah dapat dilihat dengan adanya kemajuan dalam berbagai bidang pembangunan yang kian pesat khususnya di bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. 
Negara kita adalah negara kesatuan yang berazaskan Pancasila dan UUD 1945, yang menjunjung tinggi pola gotong royong (patembayan). Dengan demikian salah satu komponen penting yang menunjang pembangunan adalah kualitas sosial kemasyarakatan yang meliputi: hubungan kekeluargaan, gotong royong/kerja sama, saling menghormati, nyaman hidup bertetangga di kampung “at home” dan rasa kebersamaan (familier) diantara sesama warga. Visualisasinya dapat diungkapkan melalui berbagai macam cara, diantaranya melalui perhelatan kegiatan tahlil[1] di dalam rangkaian ritual kematian.
Tahlil adalah upacara ritual keagamaan (Islam) dengan pembacaan ayat-ayat suci Al Quran, sholawat nabi dan do’a-do’a yang dilagukan disertai dengan gerakan-gerakan terencana dan spontanitas seirama dengan lagunya, sehingga menimbulkan rasa “nikmat” yang menghantarkan kekhusu’an di dalam ritual tersebut. Rasa khusu’ dan nikmat ini sebenarnya merupakan keindahan yang haqiqi didalam berkomunikasi antara makhluk dan khaliqnya. Jika dicermati, tahlil ini sebenarnya sebuah bentuk kegiatan kesenian yang bernuansa ritual, karena di dalamnya terdapat unsur musikal dari lagu-lagu yang dilantunkan, gerakan-gerakan “indah” yang structural dan sastra dari syair-sayairnya.
Di dalam pembicaraan ini kesenian tahlil dikaji melalui dua aspek kajian, yaitu kajian tekstual dan kontekstual. Kesenian tahlil sebagai tekstual yang relatif berdiri sendiri harus dibaca kemudian ditafsirkan, yang akan didekati dengan herminiotik (paradigma interpretative dan structural ala Levi-Strauss). Aspek yang ke dua memandang kesenian tahlil sebagai kontekstual yang lebih besar dan pendekatannya bersifat holistic atau menyeluruh. Maksudnya adalah, melihat keterkaitan kesenian tahlil dengan fenomena-fenomena lain dalam kebudayaan yang bersangkutan yang meliputi politik, ekonomi, sosial kemasyarakatan, teknologi, pariwisata bahkan perubahan-perubahan kondisi sosial.

PENGERTIAN DAN KONSEP TAHLIL
Tahlil adalah istilah yang digunakan untuk menamai sebuah kalimat toyyibah (indah/baik) wahyu dari tuhan Allah, yaitu kalimat “laailaaha illallah” artinya tiada tuhan selain Allah. Dengan demikian di dalam ritual tahlil, intinya adalah pada bacaan “laailaaha illallah”, yang dibaca sebanyak 100 kali atau lebih. Tentu saja disamping bacaan tersebut dalam ritual tahlil dilengkapi dengan bacaan cuplikan surat dari ayat-ayat suci Al Quran, solawat nabi dan do’a. struktur urutan bacaan di dalam ritual tahlil tidak ada tuntunan yang baku, karena ritual tahlil ini merupakan amalan yang diciptakan di Jawa, konon penciptanya adalah para wali yang popular dengan sebutan Wali Sanga.
Konsep tahlil ini intinya adalah berdzikir (mengingat) kepada Allah. Menurut Gus Qodir[2], sesungguhnya orang diperintahkan berdzikir atau selalu ingat kepada Allah, adalah untuk mengingat akan datangnya kematian. Jika orang selalu ingat kepada Allah dan kematian, maka perilakunya akan terkendali dan berusaha berbuat kebenaran dan kebaikan. Sebab kepercayaan Islam dan hampir semua agama meyakini adanya kehidupan setelah mati (dalam alam kubur dan alam akhir), adanya hari pembalasan, dan adanya akhir kebahagiaan (jannah, surga, nirwana) atau akhir kesengsaraan (naar, neraka). Tujuan akhir manusia (muslim) hidup adalah mati dalam kebahagiaan/kebaikan yang disebut husnul khotimah, sekaligus menghindari mati dalam kesengsaraan/keburukan yaitu suul khotimah.
Konon asal mula tahlil diadakan, bahwa ketika ada orang meninggal, yang melayat (ta’ziyah) datang ke rumah duka, di sana mereka ngobrol, atau nembang (macapat) atau bergurau ada yang main kartu bahkan berjudi dan mabuk-mabukan untuk mengusir rasa kantuk. Hal ini dilakukan tujuh malam berturut-turut, yang tidak jarang sering terjadi keributan bahkan perkelaian. Melihat sisi negatif ini, para wali bersepakat untuk berdakwah dan mengajak manusia untuk ikut membantu membahagiakan (ta’ziyah) yang tertimpa musibah dengan mendoakan yang meninggal dan yang ditinggalkan. Di samping itu ketika ada orang meninggal, sebanarnya merupakan peringatan bagi yang hidup agar senantiasa ingat (dzikir) kepada Sang Pencipta, dan ingat bahwa setiap manusia akan mengalami kematian. Untuk itu, dari pada main judi, minum-minuman keras, bergurau yang berlebihan lebih baik membantu membacakan do’a sambil berdzikir (ingat) pada Allah. Sebaik-baik berdzikir adalah membaca kalimat tahlil: “laailaaha illallah”. Dalam kebudayaan Jawa banyak mengungkapkan segala sesuatu melalui tembang (lagu), contohnya: semua karya sastra Jawa (semenjak Jawa kuno hingga Jawa baru) selalu diungkapkan melalui syair-syair tembang/kidung (umumnya tembang macapat). Mengapa dengan tembang? Sebab dengan tembang ini orang lebih mudah meresapi sehingga lebih memahami makna “sesuatu” dan lebih nikmat di dalam berkomunikasi, baik vertikal maupun horisontal. Tembang adalah bentuk media untuk mengungkapkan sesuatu melewati suara yang indah.  Demikian pula pembacaan tahlil, agar mudah memahami dan mudah berkomunikasi dengan yang dituju, maka diungkapkan melalui suara yang indah. Lama-kelamaan dakwah para wali ini menancap pada sanubari masyarakat dan dirasakan dalam hati menimbulkan kesejukan, kenikmatan dan intrans pada Sang Pencipta, maka ritual tahlil ini mentradisi hingga sekarang dengan penambahan fariasi di sana-sini. (penjelasan Imam Syafi’i dan Moch. Yusuf ta’mir masjid Asy Syuhada’ Malang).

TAHLIL SEBAGAI RITUAL KEMATIAN

Ritual merupakan suatu bentuk upacara yang berhubungan dengan beberapa kepercayaan atau agama dengan ditandai oleh sifat khusus yang menimbulkan rasa hormat yang luhur dalam arti merupakan pengalaman suci. (O’Dea, 1995:5-36 dalam Hadi, 2006: 31). Pengalaman tersebut mencakup segala sesuatu yang dibuat dan dipergunakan oleh manusia untuk menyatakan hubungan dengan Yang Maha Esa dalam alam transendendal. Hubungan atau perjumpaan tersebut bukan merupakan sesuatu yang umum atau biasa, tetapi sesuatu yang bersifat khusus dan istimewa, sehingga manusia membuat sesuatu cara yang pantas guna melaksanakan hubungan atau pertemuan tersebut, maka muncul berbagai bentuk ritual keagamaan, di antaranya adalah tahlil dalam ritual  kematian muslim. Inti dari ritual kepercayaan/keyakianan/agama merupakan ungkapan permohonan atau rasa syukur kepada yang dihormati atau yang berkuasa. Oleh karenanya, upacara ritual diselenggarakan pada waktu yang khusus, perbuatan yang luar biasa dengan dilengkapi berbagai peralatan ritus yang bersifat sakral (ubarampen sesaji).
Di dalam kebudayaan Jawa dikenal berbagai macam ritual, baik yang bersifat individu maupun kelompok. Adapun yang bersifat individu antara lain samadi yaitu berdiam diri berkomunikasi dengan sang Pencipta, sandingan weton yaitu ritual meletakkan sarana (benda ritual) bisaanya berupa bunga tiga macam yang lazim disebut kembang telon yang dimasukkan kedalam mangkok kecil atau gelas dan diberi air kemudian diletakkan di tempat khusus/di kamarnya pada saat hari dan pekan (pasaran) kelahirannya, misalnya Rabu Kliwon selama semalam suntuk. Sedangkan yang bersifat kelompok seperti bersih desa/nyadran yaitu ritual membersihkan kotoran yang mengganggu desa baik yang bersifat fisik seperti pencurian, perampokan dan lain-lain, maupun yang bersifat imajiner seperti gangguan roh jahat yang mengacau desa, visualnya bisa berupa wabah penyakit, bencana alam, banyak pertengkaran, perceraian, banyak orang mati dan lain-lain. Juga ritual kematian yang dilakukan secara bertahap sampai 1000 hari.
Semua aktifitas budaya orang Jawa selalu diyakini dan menggunakan perhitungan-perhitungan matematis yang berupa statistik/angka-angka. Masing-masing fenomena seperti hari, pasaran, suasana (masa), bulan, tahun dan lain-lain selalu diberi bobot angka. Pembobotan angka-angka ini bagi orang Jawa dinamakan neptu. Contoh hari Rabu bobot/neptu 8, Sabtu bobot/neptu 9, pasaran Kliwon, neptu/bobot 7, sedangkan pasaran Pahing, neptu/bobot 9. Masa (mangsa) di dalam keyakinan Jawa ada 12 sesuai dengan tahun, seperti mongsa ka-siji (kesatu), mongsa karo [loro (ke dua)], mongsa kasada  dan seterusnya.
Dalam ritual kematian juga dikenal perhitungan-perhitungan yang menyertai saat manusia mati (tiba gěblakke) dihitung hari pertama, kemudia hari ke tiga (tělung dinane), tujuh hari (pitung dinane), 40 hari (patang puluh dinane), seratus hari (satus dinane), satu taun (pěndhak sěpisan), dua tahun (pěndhak kapindho) dan seribu hari (sewu dinane). Bagi yang beragama Islam dan berfaham Nahdlatul Ulama, ahli sunnah wal jamaah (kelompok pengikut perilaku nabi), melaksanakan upacara kematian dengan perilaku ritual, yaitu selamatan (memberikan sedekah berupa makanan) kepada tetangga kanan kiri, dan pada malam harinya, semenjak hari ke satu sampai hari ke tujuh dilaksanakan ritual tahlil. Setelah hari ke tujuh tahlillan selesai, namun pada hari-hari tertentu yang sesuai dengan perhitungan, seperti 40 hari, 100 hari, tepat 1 tahun, tepat 2 tahun dan 1000 harinya selalu dilakukan selamatan dan pada malam harinya dilaksanakan ritual tahlil.

KESENIAN TAHLIL SEBAGAI TEKS

Ketika seorang peneliti sudah berada di lapangan, maka akan dihadapkan beberapa permasalahan yang terkadang sulit untuk mengambil keputusan secara tegas, lebih-lebih yang berkaitan dengan kategori-kategori yang yang bersifat, berkarakter, berbentuk, bermakna yang hampir sama. Ahimsa (1997:2) menjelaskan behwa para ahli antropologi merasa kesuliatan ketika berada di lapangan membedakan mana yang seni dan yang bukan seni, sebab kategori seni atau kesenian adalah kategori-kategori dari peneliti. Kategori-kategiri ini tidak selalu ada dalam bahasa atau kosa kata masyarakat yang diteliti. Di berbagai masyarakat non-Barat, seperti India, Tailan Cina, Afrika, Indonesia dan lain-lain, yang dikatakan seni atau kesenian hampir selalu terkait dengan ritual kepercayaan atau upacara keagamaan. Oleh karena itu, walaupun para antropolog menggunakan istilah seni atau kesenian untuk menunjuk fenomena tertentu, namun sebenarnya mereka tidak terlalu yakin akan kebenaran konsep tersebut. Pemakaian konsep itu sekedar untuk mempermudah berlangsungnya diskusi tentang fenomena tersebut. (Turner dalam Ahimsa 1997:3).
Merujuk pada konsep tersebut di atas, maka saya mengajak untuk bersepakat, bahwa kajian tahlil ini dipandang sebagai fenomena seni-budaya pada masyarakat muslim di Jawa. Mengapa seni? Karena saya berkesimpulan bahwa seni merupakan sebuah alat komunikasi (Abdullah 1981; 8-12) yang paling universal, unik dan selalu hidup. Menurut pendapat saya, setidaknya mengandung 5 unsur utama, yaitu karya manusia, ada unsur ekspresi, atau ungkapan jiwa, ada media ungkapnya (gerak, rupa, bunyi, akting, vokal, kata-kata), ada unsur aturan atau irama dan menimbulkan kenikmatan, kesenangan, kesyahduan, kepuasan dan lain-lain yang istilah-istilah tersebut jika dirangkum dalam satu kata adalah indah. Dengan bahasa difinitifnya, seni adalah hasil karya ekspresi manusia yang diungkapkan melalui media (gerak, rupa, bunyi, acting, vokal, kata-kata) yang berirama (aturan)  dan indah (Wido. 2005: 2). Kesenian Tahlil nampaknya dapat memenuhi kreteria tersebut. Sebab jelas, bahwa tahlil hasil karya ekspresi orang muslim Jawa, diungkapkan melalui suara (semakin merdu semakin nikmat), syair-syair pujian dan permohonan yang menyejukkan, gerakan yang seirama dengan lantunan suara sesuai dengan dinamikanya dan kesemuanya menimbulkan kenikmatan, kekhusyukan yang sebenarnya adalah keindahan yang haqiqi.
Banyak hadits-hadits shoheh yang menjelaskan tentang kesenian di jaman Rosulullah Muhammad saw, bahkan beliau sendiri menganjurkan kepada shahabatnya untuk melegakan hati (refreshing), diantaranya melalui kesnian. Pernyataan ini diungkapkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Ibnu Syihak Az Zuhri, Nabi bersabda: “legakanlah hatimu sekali-kali” maksudnya, Nabi menganjurkan untuk melakukan segala perbuatan yang menyenangkan atau memuaskan (mubah) asalkan tidak bertentangan dengan larangan Allah. Pada hadits lain, riwayat Imam Ahmad, Bukhori dan Muslim dari Aisyah ra. (isteri Nabi), kata Aisyah: “aku pernah mengawinkan seorang wanita dengan seorang laki-laki dari kalangan Anshar. Lalu Nabi bersabda: “Hai Aisyah, tidak adakah padamu hiburan (nyanyian) karena sesungguhnya orang-orang Anshar senang dengan hiburan”. Hadits ini secara tegas memberitakan bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad saw. memiliki toleransi yang besar terhadap tradisi suatu ummat/bangsa, bahkan beliau menganjurkan membahagiakan hati orang lain dengan memberikan kesenangannya selagi tidak melanggar hukum syara’ sehingga menimbulkan hal-hal yang negatif. Dalam kitab suci Al Quran surat Al Lukman ayat 19, Allah berfirman: ”...dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah bunyi keledai. Imam Al Ghozali mengambil pengertian ayat ini dari mafhum muklalafah, bahwa Allah memuji suara yang baik/merdu/indah (Baghdadi, 1991: 33). Dengan demikian jelaslah bahwa ayat tersebut, Allah menyukai keindahan (seni). Kemungkinan inilah sebabnya bahwa segala ritual keagamaan baik wajib maupun sunnah, selalu disertai dengan perilaku dan bentuk-bentuk berupa simbol-simbol (suara/bunyi, gerak, rupa dan syair atau kata-kata)  yang indah, seperti adzan, sholat, diba’, manakib, istighotsah dan sebagainya termasuk tahlil pada ritual kematian. Perilaku ritual melalui keindahan (seni) ini dilakukan agar lebih nikmat dan khusu’, sehingga perasaan untuk berkomunikasi dengan Sang Khaliq lebih mudah tersampai.
Memandang kesenian tahlil sebagai tekstual dalam ilmu Antropologi biasa disebut herminiotik, secara garis besar dapat dibedakan menjadi 2, yaitu; (a) telaah simbolik dan (b) telaah struktural. (Ahimsa 1997:3). Sekalipun demikian penggolongan ini tidak terlalu ketat, karena sebenarnya cara ini digunakan untuk memudahkan analisis, sehingga dapat membedakan dengan baik asumsi-asumsi dasar yang melandasinya. Di dalam analisis tekstual tahlil ini, keduanya akan melebur manjadi satu kesatuan yang saling mengisi. Di dalam menganalisis tekstual kesenian tahlil ini saya menggunakan teori struktural Levi Strauss, yang intinya bahwa struktur adalah model yang dibuat untuk memahami atau menjelaskan gejala kebudayaan yang dianalisisnya, yang tidak ada kaitannya dengan fenomena empiris kebudayaan itu sendiri, dan merupakan relasi-relasi yang berhubungan satu sama lain yang saling mempengaruhi, atau struktur adalah relations of relations atau sistem of relations (Strauss, 1963 dalam Ahimsa, 2001: 61-63) dalam analisis struktural, struktur ini dibagi menjadi dua macam, yaitu: pertama; struktur lahir atau struktur luar (surface structure), dan struktur batin atau struktur dalam (deep structure). Mengingat amat luasnya teks dalam tahlil, maka dalam paparan ini akan dibatasi hanya pada makna bilangan hari, makna sebagian kecil mantra, makna keindahan lagu, gerak dan perilaku penyertanya.
 Adapun struktur luar tahlil (surface structure) yang biasa dilakukan dalam ritual kematian adalah sebagai berikut.

1. Pra Tahlil.
Para jamaah (peserta) datang dengan uluk salam: assalamualaikum (semoga kalian semua selamat) yang disambut oleh tuan rumah: waalaikum salam (dan semoga selamat juga untuk kalian) dilanjutkan dengan bersalam-salaman. Jika sudah banyak tamu, yang datang belakangan disamping bersalaman dengan tuan rumah, juga manyalami tamu-tamu yang datang duluan, kemudian duduk melingkar di atas tikar atau karpet. Perilaku tersebut memiliki makna (deep structure) bahwa uluk salam adalah mendoakan selamat kepada semua yang mendengar ucapan assalamualaikum, tersebut. Pengertian selamat disini bukan sekedar terhindar dari marabahaya saja, tetapi selamat untuk fisik dan rohani (hati), maka dilengkapi dengan berjabat tangan (saling mengiklaskan dan menyambung ikatan hati atau lazim disebut silaturahmi). Artinya selamat ini adalah harapan untuk dihindarkan dari gangguan/marabahaya fisik dan rohani (termasuk selamat dari perbuatan dosa), baik didunia maupun di akherat yaitu terhindar dari siksa api neraka. Karena begitu vitalnya makna selamat ini, maka diwajibkan menjawab bagi yang mendengar uluk salam, dan ada do’a khusus yang dianjurkan agar manusia selamat, yaitu donga slamět.          

2. Pelaksanaan Tahlil
Prakata pembukaan, berisi ucapan terima kasih dari tuan rumah atau yang mewakili dan menyampaikan maksud diadakannya ritual tahlil ini untuk mendoakan almarhum/almarhumah siapa dan hari ke barapa (3, 7, 40, 100, 1000 hari atau peringatan meninggal tahun ke berapa). Menurut kepercayaan Jawa angka-angka pada bilangan hari tersebut, merupakan angka-angka sakral atau wingit, maka keberadaannya selalu terkait dengan hidup dan kehidupan manusia.
Bilangan tiga melambangkan cahaya kehidupan, nur cahya, nur rasa dan nur buat (penjelasan Hartono tokoh rohaniwan Jawa aliran Sapta Darma, diijinkan dikutip). Oleh karena itu, orang mati setelah dibungkus kain kafan diikat 3 bagian yakni bagian atas kepala (nur cahya), bagian tengah-tengah/badan (nur rasa) dan di bawah kaki (nur buat). Disamping itu, orang mati pada hari ke 3 merupakan awal berpisahnya 3 anasir dalam kehidupan manusia, yaitu raga nyawa lan sukma. Raga adalah wadah/fisik, nyawa adalah power/penggerak hidup seperti bernafas, bergerak, berasa indrawi, dan sukma adalah inti dari kehidupan, yaitu aku yang mengatakan adanya sifat dan dzat. Dengan demikian manusia dikatakan hidup yang normal selalu terdiri dari tiga kesatuan raga nyawa lan sukma. Manusia tidak dapat hidup dialam dunia tanpa raga, sekalipun nyawa dan sukma bersatu. Manusia tidak dapat dikatakan hidup normal jika hanya terdiri dari raga dan nyawa saja. Sebab bisa jadi manusia masih bernafas, tetapi tidak bergerak atau bereaksi, seperti orang koma, sekaratul maut, atau bereaksi yang tidak terarah seperti orang gila, orang kalap (intrance). Oleh karena inilah dalam ritual orang Jawa ada istilah ngrogoh sukma, yaitu fisik dan nyawanya berada di suatu tempat sedangkan sukmanya berkeliaran kemana-mana. Dengan demikian sukma ada jika ada wadah dan penggeraknya. Tidak akan terjadi sukma dan raga menyatu tanpa nyawa. Peristiwa awal berpisahnya tiga anasir inilah yang ditandai dengan ritual agar perjalanan masing-masing anasir ini dapat selamat menempuh tujuannya masing-masing yang harapannya menuju Sang Haliq. Oleh sebab masih awal perpisahan ini, sering orang mengatakan yang mati sering pulang dan yang ditinggalkan masih sering bermimpi ketemu disebabkan belum sepenuhnya sukma iklas berpisah.    
Tujuh hari orang meninggal atau lazim disebut pitung dinane. Tujuh hari ini ditandai dengan ritual, sebab bilangan tujuh dalam Islam khususnya Islam Jawa’ (Woodward, 2004: 364) amat penting. Bilangan tujuh tersebut memiliki kekuatan dan kedudukan secara khusus. Seperti ayat pitu yaitu sebutan sebuah surat dalam kitab suci Al Quran, yaitu surat Al Fatehah yang jumlah ayatnya ada tujuh. Surat Al Fatehah ini amat pentung kedudukan maupun fungsinya. Contonya setiap sholat salah satu syarat sahnya adalah membaca Alfatehah, setiap do’a /permintaan afdol (keutamaan)nya diawali dan ditutup dengan membaca Al Fatehah. Bahkan surat Al Fatehah ini dapat berdiri sendiri sebagai sebuah do’a khusus (mantra) untuk keperluan yang khusus pula termasuk pula dalam setiap ritual kematian selalu dibacakan ayat pitu ini. Disamping itu angka tujuh terletak pada jumlah hari dalam satu minggu, secara fisik manusia yang telah meninggal dalam waktu tujuh hari jasat mulai pecah, anasir-anasir fisik sudah menutup, sukma mulai menjauh dari yang ditinggalkan, sekalipun hasrat pulang masih ada, namun sudah belajar nglilakake’ (merelakan/mengikhlaskan).
Empat puluh hari, bilangan ini merujuk 5 x 8 dimana 5 adalah gambaran sedulur 4, 5 pancer yaitu kesatuan empat nafsu (amarah, aluwamah, sufiyah dan mutmainnah) dengan aku, sedangkan 8 adalah bilangan windu. Waktu 40 hari ini jasad manusia sudah mulai hancur menyatu dengan tanah kecuali tulang dan sukma juga mulai melupakan, sekalipun sesekali masih inguk-inguk (mengamati dari jauh) yang kadang-kadang datang dalam mimpi, sedang yang ditinggalkan sesekali masih teringat bahkan ada rasa kerinduan.
Seratus hari adalah batas perpisahan yang sesungguhnya, sehingga setelah lewat 100 hari umumnya yang ditinggal sudah melepaskan dan sukma sudah benar-benar meninggalkan jasad. Pada waktu ini jasad manusia kecuali tulang sudah benar-benar menyatu dengan tanah. Umumnya jika sudah 100 hari yang hidup sudah menemukan jawaban dari berbagai pertanyaan yang diberikan oleh orang yang akan meninggal, misalnya kenapa meninggal di sini, kenapa yang merawat saya dst. Pěndhak 1, pěndhak 2, yaitu peringatan satu tahun atau 2 tahun semenjak meninggal untuk mengingatkan menuju 1000 hari.
Batas akhir kesempurnaan orang mati adalah 1000 hari, pada waktu ini jasad dianggap sempurna menyatu dengan tanah, sukma sudah tenang di alam penantian. Maka bagi orang Jawa jika sudah lewat 1000 harinya, dikatakan wis ěntek slamětane, karena seluruh jasat sudah lebur dan menyatu  dengan tanah. Secara umum, manusia yang meninggal sudah lebih dari 1000 harinya, sudah tidak lagi disinggung-singgung, kecuali jika dia memiliki keistimewaan yang hebat, seperti ilmunya bermanfaat, amalannya yang soleh, atau anaknya yang baik-baik semua sehingga dikenang orang. Atau sebaliknya karena super negatifnya, sehingga dicaci orang.
Pambacaan surat Yasiin (83 ayat) boleh ada boleh tidak. Inti dibacakannya surat Yasiin ini agar arwahnya tenang menghadap Allah dan iklas untuk menerima segala perbuatanya di dunia.
Pembacaan ritual tahlil yang dipimpin oleh seorang imam tahlil diutamakan yang bersuara bagus, kharismatik dan dihormati masyarakat sekitarnya, serta pengucapan laval bahasa Arabnya fasih. Hal ini disyaratkan oleh jamaah (kelompok), sebab imam merupakan panutan  yang dicontoh dan ditaati oleh jamaahnya. Jika imam suaranya tidak merdu, maka akan mengurangi kekhusukan dan kenikmatan ritual, demikian pula jika imamnya tidak fasih, maka dalam hati jamaahnya merasa kurang pas.
Di dalam ritual tahlil, tidak ada struktur baku yang harus ditaati. Sekalipun banyak buku saku tuntunan tahlil, namun banyak sekali perbedaan-perbedaannya, sehingga tidak semua jamaah/kelompok/daerah mau menggunakan tuntunan buku saku tersebut. Ada sebagian kelompok yang struktur bacaan ritual tahlil ini diawali surah Al Fatihah kemudian langsung kalimat tahlil laailaaha illallah dan pada akhir bacaan ritual adalah Al Ikhlas surat Al Falaq, surat An Nas dan ditutup dengan do’a. Namun demikian di Malang, umumnya bacaan/mantra dalam ritual tahlil diawali dengan surat no. 1 dalam Al Quran, yaitu surat Al Fatihah dengan suara pelan dan lagunya bebas walaupun ada beberapa daerah yang dituntun oleh imam. Surat ini wajib dibaca dalam acara riual apa saja, karena surat alfatihah ini isinya merupakan abstraksi dari segala permohonan dan ucapan syukur, dilanjutkan dengan surat Al Ikhlas (3x atau 11x, atau 40x), surat Al Falaq, surat An Nas masing-masing sekali atau 3 kali. Kemudian mengulangi surat Al Fatihah dilanjutkan awal, pertengahan dan akhir surat Al Baqoroh, membaca sholawat nabi, membaca istighfar (astaghfirulla hal ‘adzim) 100x baru membaca kalimat tahlil: laailaaha illallah 100x. dilanjutkan membaca tasbih (subhanallahi wabihamdihi, subhanallaahil ‘adzim) 10x dilanjutkan membaca solawat dan diakhiri membaca do’a khusus tahlil. Dengan demikian inti dari bacaan tahlil adalah laailaaha illallah. Ini sesuai dengan firman Allah dalah Al Quran, yang berbunyi afdul dzikkri fa’lam annahu laailaaha illallah ( sebaik-baik orang ingat (dzikir) kepada Allah adalam mengucapkan kalimat laailaaha illallah. (penjelasan KH. Abdul Qodir, da’i dari Lawang Malang yang juga pengasuh tetap Mimbar Agama Islam di TV3 Malaysia setiap 3 bulan sekali, diijinkan untuk dikutip).  Setiap surat atau ayat-ayat yang dibaca memiliki lagu tersendiri, irama yang berbeda dan dinamika bunyi yang berfariasi. Lebih-lebih bacaan mantra/ayat yang diulang-ulang hingga intrance dan menimbulkan rasa nikmat” dan tertanam keyakinan bahwa tujuannya tersampai, serta merasa berkomunikasi langsung dengan haliqnya. Contohnya pembacaan istighfar (permohonan ampun kepada Allah) yang diulang 100 kali. Sesuai dengan isinya, yaitu permohonan ampun kepadaNya, maka suasananya sedih dan iramanya sedikit lambat. Selaras dengan suasana dan irama tersebut, maka gerakannya pun juga menyesuaikan sambil menggoyangkan badan dan atau menggerakkan kepala ke kanan dan ke kiri seirama dengan lagu. Berbeda dengan pembacaan kalimat tahlil yang isinya ikrar bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Pembacaan ayat ini bersuasana yakin dan semangat, maka lagunya tegas, iramanya sedikit meningkat, demikian pula gerakannya yang didominasi gerakan kepala menoleh kanan dan kiri, sedangkan badan cenderung diam atau mengimbangi gerak kepala dan jari-jari tangan ikut menghitung, atau menghitung dengan tasbeh. Sementara itu untuk menambah kenikmatan dan kekhusukan, mata dipejamkan atau diantara memejam dan membuka (Jawa: ngrangin).
Do’a untuk mengahiri bacaan ritual tahlil ini dibacakan do’a, umumnya dilakukan oleh imam tahlil atau diserahkan kepada yang dianggap tua baik usia maupun ilmunya. Secara umum lagu bacaan do’a adalah datar tanpa dinamika, walaupun ada beberapa yang membacakan do’a dengan dilagukan. Jika pembaca do’a suaranya merdu dan lagunyaenak, maka akan membawa kenikmatan tersendiri, bahkan bisa menangis yang meng-amini.  Namun jika tidak, lebih baik tidak berlagu, datar tetapi jelas bacaannya dan melemahkan suaranya. Tanpa diperintah, secara konfensional, jika dibacakan do’a, semua jamaah akan menggerakkan tangannya ke atas sambil menengadahkan ke lagit. Sedangkan gerak kepalanya sesuai dengan kenikmatyakinan masing-masing, ada yang mendongak ke atas, ada pula yang malah menunduk. Jika intrace dalam do’a, maka dapat dipastikan memejamkan mata bahkan sambil melelehkan air mata (Hadi, 2005: 5 – 28). Namun jika rasa tidak nikmat dan tidak tersentuh kalbunya, maka do’a hanya sebagai pelengkap saja dan cenderung tidak mengacuhkan (sekalipun perilakunya sama dengan yang lain) namun cenderung ingin segera selesai.
Tata busana yang dikenakan di dalam ritual tahlil, umumnya menggunakan kopyah hitam atau putih, berbaju takwa (baju muslim laki-laki), berkain sarung atau bercelana panjang. Sekalipun warnanya suka-suka, namun modelnya hampir semua sama. Pemakaian baju takwa tersebut merupakan lambang bahwa jika orang hidup menginginkan kebahagiaan di dunia dan akherat, maka pakailah baju takwa. Maksudnya adalah, pakaian orang hidup ada dua macam, yakni pakaian raga adalah busana, dan pakaian hati/jiwa adalah iman dan taqwa. Keduanya harus selaras, sehingga yang di luar (raga) mencerminkan apa yang ada di dalam (hati/jiwa). Hal ini sinkrun dengan pepatah bahasa Jawa (unen-unen): ajining raga saka busana, ajining diri saka lathi, (kehormatan raga karena busana, kehormatan harga diri karena ucapan).  

KESENIAN TAHLIL SEBAGAI KONTEKS

Tahlil sebagai suatu gejala sosial yang muncul dalam konteks tertentu memiliki hubungan dengan berbagai fenomena lain dalam kehidupan masyarakat, seperti aktivitas politik, pariwisata, ekonomi, teknologi, ekologi, berbagai kondisi perubahan yang tengah terjadi dan lain sebagainya. Karena keterbatasan waktu, maka pembahasan konteks ini akan fokuskan pada keterkaitan antara seni ritual tahlil dengan politik, ekonomi dan pariwisata.

1.      Tahlil dan Politik
Telah dijelaskan di atas, bahwa seni ritual tahlil adalah rangkaian upacara ritual kematian bagi orang Jawa yang beragama Islam. Namun tidak semua yang beragama Islam melaksanakan ritual tahlil karena ada beberapa faham/aliran yang tidak memperbolehkannya dengan alasan bid’ah atau mengada-ada. Kelompok yang melaksanakan upacara tahlil ini adalah aliran Nahdlatul Ulama (NU), mereka mengkleim kelompok “ahlus sunnah wal jamaah” (kelompok pengikut perilaku Nabi Muhammad saw) yang mengikuti jejak Wali Sanga. Semula tahlil hanya dikhususkan sebagai acara ritual kematian, pada suatu ketika ada ritual tahlil tetapi tidak ada imamnya karena semua tidak hafal bacaannya. Maka kemudian timbul gagasan untuk melatih hafalan bacaan tahlil, dibentuk kumpulan tahlil yang dilaksanakan seminggu sekali, umumnya hari Kamis malam Jumat. Perkembangan berikutnya, tahlil merupakan organisasi massa yang bergerak di dalam bidang kerohanian Islam dabawah naungan organisasi yang lebih besar yaitu Nahdlatul Ulama.
Nahdlatul Ulama adalah kelompok sosial keagamaan yang memiliki faham tertentu dan memiliki massa dan penganut yang paling besar di negeri ini. Sebagai organisasi sosial keagamaan (walaupun secara terselubung berfungsi sebagai organisasi masa politik), tidak mengeluarkan kartu anggota. Oleh karena itu, untuk menjadi pimpinan organisasi di tubuh NU tidak perlu mendaftarkan diri sebagai anggota, cukup seseorang sebagai ketua/pengurus tahlil sah sebagai anggota NU dan berhak dipilih dan memilih. Kenapa demikian? Karena seni ritual tahlil telah menjadi budya dan identitas NU. Oleh karena itu, tidak terlalu sulit untuk mengumpulkan massa NU, tidak terlalu sulit untuk menyampaikan program-program NU, cukup melalui jamaah tahlil. Bahkan dalam daerah tertentu, untuk mengundang warga rapat RT/RW merasa kesulitan, tetapi tanpa diundang jika jadwal tahlil yang dating selalu penuh. Maka untuk menyampaikan program RT/RW dan pengumuman pemerintah lebih efektif melalui jamaah tahlil.
Kiraya telah dipahami bersama, bahwa NU bukan organisasi sosial politik, tetapi memiliki anak kandung parati politik, yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Karena tahlil milik NU dan PKB juga anaknya NU, maka untuk kampanye sangat efektif melalui tahlil.

2.      Tahlil dan Ekonomi
Pelembagaan kesenian tahlil di dalam masyarakat sebagai suatu perkumpulan aktivitas patembayan, yaitu bersifat kerukunan, kekerabatan sosial yang bersifat keagamaan. Perkumpulan-perkumpulan semacam ini, sering disebut majelis ta’lim (forum peningkatan ilmu agama untuk meningkatan keimanan). Pelaksanaan aktivitas pelembagaan tahlil ini berupa pertemuan secara rutin seminggu sekali (ditambah dengan insidental) dengan tempat berpindah-pendah dari rumah ke rumah untuk melaksanakan tahlilan. Semula masing-masing anggota membayar iuran sekedarnya untuk beaya konsumsi. Dalam perkembangan berikutnya, iuran ini berubah menjadi arisan antar anggota. Dimana yang mendapat arisan dipotong sebagian untuk organisasi dan wajib ketempatan acara tahlilan. Semakin lama dana organisasi semakin besar. Kemudian dipinjamkan kepada anggota tanpa bunga, tetapi memberikan sodakoh (semacam bunga sekedarnya). Lama kelamaan menjadi koperasi yang bersifat simpan pinjam bahkan menjadi koperasi primer bagi anggotanya. SHUnya sering tidak dibagikan melainkan digunakan untuk rekreasi spiritual (umumnya ziarah ke makam ulama/wali) yang dilaksanakan rutin tahunan.

3.      Tahlil dan Pariwisata
Tahlil yang sudah jelas milik kelompok Nahdlatul ulama, sering dimanfaatkan oleh “otoritas spiritual”, seperti ulama-ulama besar umumnya kyai kharismatik. Jika kyai kharismatik ini meninggal dunia, maka sanak keluarga maupun murid-muridnya selalu memperingati dengan istilah khaul yang rutin setiap tahun dan dilaksanakan secara besar-besaran sesuai kharismanya. Salah satu contoh adalah khaul guru besar Prof. Dr. Syeh Abdullah Bil Faqih bin Syeh Abdul Qodir yang diperingati setiap tahun dan selalu dihadiri santri-sntrinya seluruh Indonesia bahkan ada yang dari mancanegara. Salah satu acaranya adalah tahlil akbar. Karena pelaksanaannya rutin dan dihadiri ribuan orang, maka oleh dinas pariwisata acara tersebut menjadi agenda wisata.

PENUTUP
            Pembahasan ini masih memerlukan diskusi yang panjang sehingga menemukan manfaat dalam kehidupan masyarakat. Pembahasan tentang teks dalam konteks ternyata dapat melihat secara holistik sebuah fenomena seni, yang berkembang di masyarakat dan dapat bermanfaat sebagai pendalaman ilmu maupun realitas sosial.

Rujukan
Abdullah, Taufik. 1980/1981. Disekitar Komunikasi Ilmu dan Seni. Analisis Kebudayaan  2: 8 – 12.

Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2001. Strukturalisme Lavi – Staruss, Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta: Galang Press.
­­­­­­­­­­­­____________ 1997. Sebagai Teks dalam Konteks. Seni dalam Kajian Antropologi Budaya. Makalah Seminar Wacana Seni Abad XXI. Diselenggarakan oleh Majalah Seni di Yogyakarta, 26 Juli 1997.

Baghdadi, Al Abdurrahman. Seni Dalam Pandangan Islam (seni vokal, musik dan tari) Jakarta: Gema Insani Press.

Hadi, Sumandiyo. 2006. Seni Dalam Ritual Agama. Yogyakarta: BUKU PUSTAKA.

Hadi, Sumandiyo. 2005. Sosiologi Tari Sebuah Telaah Kritis yang Mengulas Tari 
           dari  zaman ke zaman: primitif, tradisional, modern hingga Kontemporer.       
           Yogyakarta: BUKU PUSTAKA
Minarto, Soerjo Wido, 2005. Pengetahuan Dasar Tari Drama. Malang: Universitas Kanjuruhan.

Woodward, Mark, 2004. Islam in Java: Normative Piety and Misticism (diterjemahkan oleh Harius Salim: “Islam Jawa: Kesalehan Normatif versus Kebatinan”) [Yogyakarta: LKiS cetakan ke 2,]: 364.


[1] Tahlil adalah rangkaian upacara ritual kematian bagi orang Jawa yang beragama Islam. Namun tidak semua yang beragama Islam melaksanakan ritual tahlil karena ada beberapa faham/aliran yang tidak memperbolehkannya dengan alasan bid’ah  atau mengada-ada. Kelompok yang melaksanakan upacara tahlil ini adalah aliran Nahdlatul Ulama (NU), mereka mengkleim kelompok “ahlus sunnah wal jamaah” yang mengikuti jejak “Wali Sanga”.
[2] Kiyai Haji Abdul Qodir da’i dari Lawang Malang yang juga pengasuh tetap Mimbar Agama Islam di TV3 Malaysia setiap 3 bulan sekali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar