Rabu, 22 Januari 2014

SENI TRADISI RITUAL



EKSISTENSI DAN PEMBERDAYAAN SENI TRADISIONAL RITUAL DI PROPINSI JAWA TIMUR

Oleh: Cak Wido*

DHANDHANG GULA MALANGAN
Ngawruhana dununge wong urip
Lamun benjang yen sampun palastra
Wong mati nyangdi parane
Umpamakna pěksi mabur
Mlěsat saking kurungan neki
Datěng pundi puruging benjang
Aja kongsi kleru
Umpamakna wong ndik ndonya
Asesanja tan badhe mulih
Menyang jaman kamulyan (aowang…)


Pengantar
Kehidupan kebudayaan etnik/tradisional daerah (termasuk seni tradisional)  bertahan dan berkembang karena mendapat dukungan masyarakatnya yang berupa kemampuan untuk melakukan apresiasi dalam arti penghayatan dengan kesadaran estetiknya (Sutopo,  1991). Hal ini dapat dipahami karena budaya khususnya seni tradisional (di dalamnya termasuk seni tradisional ritual) merupakan salah satu bagian esensial dari presentasi histories akan masa lampau dari kelompok etnik tertentu. (Edi Subroto, 1991:4). Seni tradisional ritual merupakan kesatuan dari religi masyarakat pendukungnya.
Spencer  berpendapat bahwa asal mula religi, karena manusia sadar dan takut akan mati (Koentjaraningrat, 1980: 34-37). Ia berpendirian bahwa bentuk religi yang tertua adalah penyembahan kepada roh-roh yang merupakan personifikasi dari jiwa orang-orang yang telah meninggal, terutama nenek moyangnya. Namun, secara khusus tiap bangsa dapat mengalami proses evolusi yang berbeda-beda. Misalnya suatu bangsa memilik keyakinan akan kelahiran kembali, ada keyakinan bahwa roh manusia itu bisa dilahirkan kembali ke dalam tubuh binatang, maka terjadi suatu bentuk religi dimana manusia menyembah binatang atau roh binatang. seperti misalnya kesenian tradisional yang mengesplor binatang (kuda lumping, kebo-keboan, singa barong, barongan dan lain sebagainya).
Menurut pendapat E.B.Tylor, asal mula religi dikarenakan kesadaran manusia akan adanya jiwa. Kesadaran ini disebabkan oleh dua hal:
1. Adanya perbedaan yang tampak pada manusia antara hal-hal yang hidup dan hal-hal yang mati. Manusai sadar bahwa ketika manusai hidup ada sesuatu yang menggerakkan dan kekuatan yang menggerakkan manusia itu disebut dengan jiwa.
2. Peristiwa mimpi, di mana manusia melihat dirinya di tempat lain (bukan di tempat ia sedang tidur ). Hal ini menyebabkan manusia membedakan antara tubuh jasmaninya yang berada di tempat tidur dengan rohaninya di tempat-tempat lain yang disebut jiwa.
Selanjutnya Tylor mengatakan bahwa jiwa yang lepas ke alam disebutnya dengan roh atau mahluk halus. Inilah yang menyebabkan manusia berkeyakinan kepada roh-roh yang menempati alam.
Tingkatan religi tertua, Taylor menyebutnya dengan istilah animism, manusia percaya bahwa mahluk-mahluk halus (tidak dapat tertangkap oleh pancaindera manusia) yang menempati alam sekeliling tempat tinggalnya, mampu berbuat hal-hal yang tak dapat diperbuat manusia. Ia mendapat tempat yang sangat penting dalam kehidupan manusia, sehingga menjadi obyek penghormatan dan penyembahan, yang disertai berbagai upacara berupa doa, sajian, atau korban ( Koentjaraningrat 1980:48).

James L. Peacock, peneliti seni pertunjukan rakyat di Jawa Timur  berpendapat bahwa upacara ritus dilakukan dengan tujuan untuk menghormati Danhyang. Danhyang ini merupakan kompleksitas kepercayaan orang abangan terhadap animisme yang terpadu dengan tradisional agama Hindu dan Budha (Peacock, 1968:35-36). Clifford Geertz (1983:17-18) berpendapat bahwa upacara ritus dalam bentuk selamatan (slametan: Jawa) bagi orang Jawa abangan adalah usaha untuk membina hubungan yang serasi antara manusia dengan roh moyang di sekitarnya, agar tidak mengganggu orang-orang yang bersangkutan. Selamatan itu dilengkapi dengan sesajian sebab roh moyang ikut memakan bau-bau makanan yang dihidangkan. Keadaan yang didambakan oleh kaum abangan ialah slamet gak ana apa-apa (selamat tidak ada apa-apa), ritus inilah yang oleh Geertz disebut ritus kaum abangan yang menganut agama Jawa, yaitu merupakan perpaduan unsur kepercayaan terhadap animisme, Hinduisme dan Budhaisme.
Harsya Bachtiar berpendapat bahwa ritus tersebut sebenarnya merupakan pemujaan terhadap sangkan paraning dumadi (dari mana manusia itu berersal, apa dan siapa dia pada masa kini, dan kearah tujuan hidup mana yang ditujunya).
Bagi orang Jawa melakukan ritual  bertujuan untuk membina keseimbangan dunia nyata dan dunia maya (makro dan mikro kosmos), sehingga akan mencapai tujuan hidup yang diharapkan yaitu ‘hidup damai, sejahtera bahagia dunia akherat (urip ayĕm tĕntrĕm donya akerat). Oleh sebab itulah banyak cara untuk menyampaikan suatu ajaran tentang nilai-nilai luhur dalam kehidupan di alam fana ini oleh nenek moyang kita. Dengan perilaku yang baik, berbudi mulya, manusia Jawa senantiasa merebut predikat “Budi Luhur”. Dengan predikat tersebut, akan dapat mencapai cita-cita utama hidup manusia Jawa, yaitu mulih mulanira dumadi. Oleh sebab itulah nenek moyangnya selalu menyampaikan ajaran tersebut yang ditularkan melalui wejangan pitutur/petuah, sekaligus memberikan tauladan pada anak cucunya. Adapun ajaran-ajaran tersebut dapat diwujudkan antara lain berupa gerakan, lukisan, lambang/simbol, tulisan, tembang/syair dan pitutur yang bercerita atau dongeng, diantaranya melalui kesenian tradisional yang menyatu dengan upacara ritual.
Upacara ritual adat Jawa dilakukan demi mencapai ketenteraman hidup lahir dan batin. Dengan mengadakan upacara tradisional itu, orang Jawa memenuhi kebutuhan spiritualnya, eling marang purwa duksina. Kehidupan ruhani orang Jawa memang bersumber dari ajaran agama yang diberi hiasan budaya lokal. Oleh karena itu, orientasi kehidupan keberagaman orang Jawa senantiasa memperhatikan nilai-nilai luhur yang telah diwariskan oleh nenek moyangnya (Purwadi, 2005:v).
Selanjutnya, Purwadi (2005:v), menyatakan upacara tradisional dilakukan orang Jawa dengan tujuan memperoleh solidaritas sosial, lila lan legawa kanggo mulyaning negara. Upacara tradisional juga menumbuhkan etos kerja kolektif, yang tercermin dalam ungkapan gotong royong nyambut gawe. Dalam berbagai kesempatan, upacara tradisional memang dilaksanakan dengan melibatkan banyak orang. Mereka melakukan ritual ini dengan dipimpin oleh para sesepuh dan pinisepuh masyarakat. Upacara tradisional juga berkaitan dengan lingkungan hidup. Masyarakat Jawa mempercayai bahwa lingkungan hidup itu perlu dilestarikan dengan cara ritual-ritual keagamaan yang mengandung nilai kearifan lokal.
1
 
Ritual atau pola ibadat (worship) sebagai salah satu komponen pelembagaan agama atau religi, adalah kegiatan atau aktivitas manusia yang berupa pemujaan, kebaktian, permohonan atau pengungkapan rasa syukur dalam hubungannya dengan pengalaman yang suci atau sacred. Pengalaman itu menyangkut segala sesuatu yang dibuat atau dipergunakan oleh manusia untuk menyatakan hubungannya dengan yang “tertinggi”. Hubungan itu bukan sesuatu yang sifatnya biasa atau umum, tetapi sesuatu yang bersifat khusus bahkan istimewa, sehingga manusia membuat suatu cara yang pantas guna melaksanakan pertemuan itu, maka muncullah bentuk ritual dengan segala macam aspeknya berbetuk ungkapan simbolis, berupa ekspresi seni, seperti seni tari, teater, karak-karakan, music, vocal dan lain sebagainya. Ritual merupakan transformasi simbolis dan ungkapan perasaan manusia. Hasil akhir artikulasi yang demikian itu merupakan emosi yang spontan dan kompleks. Oleh sebab itu suatu ritual agama merupakan suatu kegiatan yang cocok dari gerakan seremonial, bunyi-bunyian, dan berbagai ucapan verbal (Hadi, 2005:86).       

EKSISTENSI SENI TRADISIONAL RITUAL DI JAWA TIMUR
Secara geografi budaya masyarakat Jawa Timur dapat dipilahkan ke dalam 5 (lima) wilayah kebudayaan (culture area). Kelima wilayah geografi budaya (culture area) tersebut, yaitu: (1) culture area budaya Jawa dengan orientasi bahasa Jawa Surakarta atau Yogyakarta (Mataram). Masyarakat tersebut menggunakan bentuk sapaan bahasa Jawa sebagai berikut, “kowe, bocah-bocah, kangmas, dhiajeng, bapak, eyang kakung, eyang putri”. Secara geografis, meliputi wilayah Kabupaten Ponorogo, Kabupaten trenggalek, Kabupaten Pacitan, Kabupaten Magetan, Kabupaten Ngawi, Kabupaten Madiun, Kabupaten Tulungagung, Kabupaten Blitar, dan Kabupaten Kediri; (2) culture area Brang wetan, residu budaya pusat Majapahit dengan ciri khas bentuk sapaan bahasa Jawa “Brang Wetan”, sebagai berikut, “Arek-arek, koen, rika, pena, cacak, wak, ning”. Istilah “Brang Wetan” berasal dari kata “seberang wetan” artinya sebelah timur sungai Brantas. Secara geografis meliputi wilayah Kabupaten Mojokerto, Kabupaten Jombang, Kota Surabaya, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Malang. Di wilayah “Brang Wetan” ini terselip masyarakat pemakai bahasa daerah Jawa khas dialek Tengger dengan kultur agama Hindu-Budha, meliputi wilayah gunung Tengger, Bromo, dan Semeru. Secara geografis sebagian termasuk wilayah Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Lumajang, dan Kabupaten Malang; (3) culture area Jawa Pesisiran lebih banyak menggunakan bahasa Jawa Brang Wetan yang berdampingan dengan bahasa Madura. Di wilayah Bojonegoro dijumpai dialek khas Bojonegoro, “Bapak-em, embok-em, pelem-em”. Secara geografis daerah pesisiran meliputi daerah Kabupaten Tuban, Kabupaten Lamongan, Kabupaten Bojonegoro, dan Kabupaten Gresik; (4) culture area Madura yakni masyarakat Jawa Timur yang berbahasa Madura dengan ciri khas wilayah Madura Barat, Madura Tengah dan Madura Timur. Secara geografis, meliputi: pulau Madura, (daratan Madura), dan pulau-pulau di sekitar pulau Madura seperti Bawean dan Kangean. Wilayah Jawa Timur yang penduduknya berbahasa Madura antara lain daerah pantai Kota Surabaya, daerah pantai Kota Pasuruan, Kabupaten Pasuruan, Kota Probolinggo, Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Lumajang. Dan Kabupaten Situbondo, pesisir Kabupaten Banyuwangi, daerah pedalaman Kabupaten Bondowoso, serta Kabupaten Jember yang termasuk daerah ex Kresidenan Besuki; (5) culture area Using yang masyarakatnya berbahasa Jawa dialek Using di wilayah Kabupaten Banyuwangi (Supriyanto, 1987/1988:5-6).  
Pembagian wilayah kebudayaan (culture area) tersebut dapat dipertajam lagi dengan memilahkan subbudaya (subculture) arek (untuk masyarakat Surabaya dan sekitarnya, subbudaya Tengger (masyarakat yang tinggal di lereng gunung Bromo baik yang masuk wilayah Lumajang, Probolinggo, maupun Malang sebelah timur), subbudaya Bawean, subbudaya Samin di wilayah perbatasan Bojonegoro dengan Ngawi, dan subbudaya Panaragan. Selain itu kita mengenal subculture pesantren yang memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan masyarakat lainnya (Sudikan, 2004:2). 
Dalam penyelenggaraan upacara adat (ritual), baik di Jawa Timur maupun di Jawa Tengah selalu melibatkan kesenian tradisional. Upacara adat yang dikembangkan masyarakat Ponorogo, Kediri, Malang, Sumenep, dan Banyuwangi, selalu terkait dengan kesenian tradisional kraton dan seni tradisional rakyat. Di pihak lain, daerah-daerah yang tidak memiliki akar sejarah pusat kerajaan, dalam upacara adat lebih memilih mengembangkan seni tradisional rakyat (Sudikan, 1999:7). Berbagai cabang kesenian, di antaranya: seni pertunjukan (tandhakan, reog, wayang, ludruk, Jaranan, Sandur,Wayang Topeng, Kebo-keboan, Seblang dan lain-lain), seni musik (karawitan), seni rupa (dekorasi), dan seni deklamasi (macapatan) menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari upacara adat. Oleh sebab itu, upacara adat dapat dijadikan media untuk mengembangkan seni tradisional. Benteng terakhir pengembangan seni tradisional yaitu upacara adat. Apabila upacara adat ditinggalkan masyarakat, maka seni tradisional akan punah dari bumi pertiwi.
Istilah tradisional sering dihubungkan dengan pengertian adat, yang berkonotasi sesuatu (peristiwa, kegiatan) yang berlaku berulang ulang, berlangsung sejak waktu yang relatif lama dengan bentuk yang nyaris tidak berubah. Dengan kata lain, Tradisional adalah “sesuatu” (termasuk seni) yang berusia panjang dan ditularkan secara turun trmurun. (Wido, 2007: 2-3) Dari pernyataan tersebut tersirat beberapa unsur pengertian tentang seni tradisional, yaitu:
a.       Usia.
Seni tradisional biasanya dilahirkan pada waktu yang relatif tua. Saking tuanya kadang kadang tidak diketahui lagi kapan, dimana, bagaimana dan oleh siapa seni tersebut dilahirkan.
b.      Mutu.
Berkaitan dengan usianya yang relatif tua, kesenian ini mampu bertahan hidup melalui kristalisasi zaman serta seleksi masyarakat yang ketat. Dengan demikian kesenian ini pada dasarnya telah teruji mutunya.
c.   Komunal.
Kesenian ini lahir dilingkungan, diseleksi, didukung dan digunakan untuk kepentingan masyarakat baik untuk keperluan yang berhubungan dengan agama, kepercayaan, upacara adat dan acara keluarga (sebagai anggota masyarakat). Oleh sebab itu kesenian ini sifatnya komunal, lebih dari pada individual.
d. Aturan.
Karena sifatnya yang komunal, setiap warga merasa memiliki, menghidupi, mengubah, mengatur dan menggunakannya secara bersama. Dengan mufakat (mungkin tidak tertulis maupun terucap), pengaturan penggunaan ditentukan bersama oleh masyarakat, kesenian ini tunduk pada aturan aturan tertentu, baik aturan tampil, penggunaan, aturan estetis, dan sebagainya.
Seni tradisional sangat erat hubungannya dengan masyarakat pemiliknya. Ia merupakan atribut, sarana ungkapan kejiwaan, komunikasi dari masyarakat kepada anggota masyarakat lainnya maupun dengan Yang Diatas. Ia juga merupakan lambang dan menyiratkan nilai nilai yang berlaku, juga merupakan bagian dari kehidupan dan budaya masyarakat tertentu. Tetapi justru karena sifatnya yang komunal, masyarakat merasa dekat dengan seni tradisional. Mereka merasa ikut membuat, memelihara, mendukung kehidupannya, kemudian banyak anggota masyarakat merasa tahu tentang seni tradisional, walaupun diluar wilayah budayanya. Dengan demikian mereka berhak untuk menggunakannya, mengubahnya dan bahkan juga membuangnya jika sekiranya tidak diperlukan lagi (Supanggah, 1994: 3-5).
R.M. Soedarsono mengemukakan bahwa ciri-ciri seni tradisional untuk ritual adalah unik, tidak dipertontonkan di sembarang tempat, demikian juga masalah waktu dan kondisi untuk pementasan dibuat secara khusus pula. Bahkan dengan tegas Soedarsono memperjelas bahwa ciri pertunjukan ritual adalah (1) tempat pertunjukan yang terpilih, biasanya di tempat yang dianggap sakral; (2) waktu yang terpilih; (3) pemain yang terpilih (pemain yang masih dianggap suci); (4) disertai sesaji; (5) penampilan dari sisi estetika tidak terlalu diutamakan; dan (6) menggunakan dan memakai busana yang khusus. Jadi, secara jelas pendapat R.M. Soedarsono tersebut mengarah pada kesimpulan bahwa fungsi seni yang utama adalah 'menghibur' penikmatnya, baik penikmat yang benwujud penonton, diri sendiri atau pelaku seni, maupun penikmat yang dilakukan oleh 'orang' yang tidak kasat mata (R.M. Soedarsono,  2002: 126).

FUNGSI SENI TRADISIONAL RITUAL
Sesuai dengan penjelasan R.M. Soedarsono di atas, maka secara khusus fungsi seni tradisional ritual (di Jawa Timur) dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1.      Fungsi yang berkaitan dengan hasil bumi (kesuburan) dan hasil laut
2.      Fungsi yang berkaitan sumber air termasuk minta hujan
3.      Inisiasi (siklus kehidupan)
4.      Fungsi yang berkaitan Pembersiah kotoran desa
5.      Ruwatan sukerta
6.      Status diri
7.      Kesembuhan
8.      Kematian dan atritbutnya
Sudah barang tentu bahwa masing-masing fungsi/kegunaan tersebut memiliki ciri dan karakteristik bentuk tampilan, peralatan (termasuk uba rampe), serta ruang dan waktu sendiri-sendiri. Misalnya untuk kesuburan dan hasil bumi menggunakan visual tayub, wayang Topeng (terdapat di Malang), Kebo-keboan (terdapat di Banyuwangi). Sedangkan untuk kelangsungan sumber air di Malang menggunakan kirap dan jamasan Topeng dilanjutkan dengan pergelaran Wayang Topeng, di Tulungagung dengan ritual Ulur-ulur. Untuk minta hujan dengan visual Kemanten Kucing, Ujungan dan Tiban.
            Kebetulan di Jawa Timur hamper di setiap daerah (Kabupaten dan atau desa-desa) sampai saat ini masik cukup banyak yang melaksanakan sesuai dengan karakteristik kesenian daerahnya masing-masing.           



FAKTOR YANG MEMPENGRUHI KEMUNDURAN SENI TRADISIONAL RITUAL
          Tidak dapat dipungkiri bahwa keberlangsungan seni tradisional ritual tidak selamanya dapat eksis, karena banyak masalah yang mempengaruhi kemundurannya. Adapun factor-faktor yang mejadikan kendala keberlangsungan tersebut adalah;
1.      Berkurang/lunturnya kepercayaan masyarakat pendukungnya terhadap fungsi ritual pada seni tradisional
2.      Kuatnya pengaruh terhadap kepercayaan baru
3.      Faktor ekonomi
4.      Masuknya budaya asing (modern) yang lebih memiliki daya pikat dari pada seni tradisional
5.      Adanya perubahan frontal pada wilayah maupun masyarakatnya (perang, bencana alam, situasi politik dll).

Namun Alhamdulillah seni tradisional ritual di Jawa Timur sampai sekarang yang eksis masih cukup banyak, terbukti dengan pelaksanaan aktifitas secara rutin setiap waktu tertentu.

PEMBERDAYAAN SENI TRADISIONAL  RITUAL
          Di atas telah diuraikan, bahwa sifat kesenian tradisional ritual akan hidup jika didukung oleh masyarakat pemangkunya. Karena kesenian ini merupakan atribut, sarana ungkapan kejiwaan, komunikasi antar masyarakat dengan anggota masyarakat maupun dengan Tuhannya, menyiratkan nilai nilai yang berlaku dan sifatnya komunal. Maka masyarakat merasa ikut membuat, memelihara, mendukung kehidupannya. Dengan demikian mereka berhak untuk menggunakannya, mengubahnya dan bahkan juga membuangnya jika sekiranya tidak diperlukan lagi.
            Maka model pemberdayaan adalah pengaktualisasian budaya, yaitu memperkuat akar nilai budaya setempat, sehingga seni diyakini bukan sekedar “tontonan” tetapi juga “tuntunan” terlebih bagi generasi mudanya yang nota bene “jauh” dari tradisional. Perlu diingat, bahwa kondisi sosial Bangsa Indonesia sedang didera kisis mental, moral, dan budaya, di samping krisis ekonomi yang berkepanjangan seperti sekarang ini, apa yang harus kita lakukan, Tak lain dan tak bukan, saatnya kesenian Tradisional baik dalam bentuk proses maupun produk-produknya dijadikan benteng untuk memperkuat citra diri bangsa sebagai bangsa yang berbudaya. Jika lengah, maka akan member peluang besar mempersubur    maraknya serbuan produk dan pelaku seni mancanegara ke Indonesia, (bamyak hal yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa kita) yang dalam jangka panjang akan menjadikan kesenian Indonesia tidak memiliki nilai tambah di dalam negeri sendiri. Serbuan produk-produk mancanegara tersebut tidak mungkin dapat dilarang sebagai akibat dari proses globalisasi, namun perlu dipikirkan upaya untuk memperkecil dan mengurangi tingkat "impor' produk-produk kesenian di Indonesia, salah satunya adalah melalui produk hukum yaitu undang-undang kesenian, yang dalam penjabarannya kelak diharapkan mampu memberikan acuan bagi pengembangan kesenian “Indonesia”, sekaligus mengurangi masuknya produk-produk kesenian luar negeri.

SENI TRADISIONAL RITUAL ASSET PARIWISATA
Mengapa Pariwisata? Dalih yang melatar belakangi makin gencarnya program pariwisata ini, adalah ekonomi (peningkatan pemasukan devisa negara dari sektor non migas) adalah merupakan dalih utama. Ada dalih dalih lain, seperti perluasan lapangan kerja, pengenalan budaya bangsa, pelestarian seni tradisional, peningkatan kesejahteraan seniman dan sebagainya. Hal tersebut merupakan langkah yang tepat sekali, terutama apabila dilandasi oleh pemahaman konsep yang tepat dan dapat melakukannya dengan benar. Pengembangan fungsi dengan menjual seni sebagai salah satu aset ke pariwisataan dengan pertimbangan seperti tersebut diatas memang merupakan langkah yang bijaksana. Pertimbangan yang saling menguntungkan. Wisatawan mendapatkan informasi dan suguhan kesenian yang bermutu; kesenian menjadi lebih berkembang, seniman menjadi lebih berkwalitas, kreatif dan punya uang (karena seringnya pentas); hotel, biro perialanan, guide, aurt beberapa sektor lain juga dapat rejeki, Indonesia menjadi terkenal.
Seni tradisional termasuk seni ritual yang disulap menjadi seni wisata,  merupakan seni kemasan khusus yang sifatnya tiruan dari aslinya sehingga sering disalah artikan bahwa seni wisata adalah seni murah dan berkualitas rendah, sudah barang tentu tafsir yang demikian adalah tafsir yang salah. Seni tiruan bukan berarti seni yang tidak berkwalitas, akan tetapi memang murah dalam arti terjangkau untuk ukuran wisatawan namun tetap berpegang pada kualitas yang baik. Karena pada dasarnya seni wisata harus mampu menjadi media informasi dan mempunyai daya tarik sedemikian rupa sehingga layak untuk dijual. (Hadi, 2001: 4)
Pengembangan kesenian pariwisata sedapat mungkin mengutamakan keaslian, kekhasan, dan keunikan kesenian daerah dengan cara yang informatif, aktraktif, berdaya pikat tinggi, dan berdaya jangkau segmen pasar yang luas baik untuk pangsa pasar domestic maupun mancanegara, melalui kerja sama atas dasar saling menguntungkan dengan sejumlah pihak yang berkompeten secara bertahap, berkesinambungan, dan terencana sesuai dengan yang diharapkan. Di dalam penyusunan program pengembangan kesenian mutlak diperlukah pertimbangan yang berwawasan ke depan (visioner) mengingat setiap jenis kesenian dalam kontek kepariwisataan termasuk seni pertunjukan masing-masing mempunyai keterbatasan dan kelebihan. Untuk itu perlu kiranya kita cermati dan mempertimbangkan bagaimana mengemasnya, karena apabila melalukan kesalahan akan berakibat fatal.
Soedarsono (1999) menawarkan sebuah teori pengemasan seni wisata, yaitu setidaknya  mempunyai lima ciri: (l) tiruan dari aslinya, (2) lebih singkat dari aslinya. (3) penuh variasi, 4) ditanggalka nilai magis dan sakralnya, (5) murah untuk ukuran nilai uang wisatawan. Dengan mengacu pemikiran tersebut paling tidak dapat membantu menentukan bentuk atau format dalam memberdayakan seni tradisional ritual menjadi kemasan seni wisata.

Semoga bermanfaat.




Ardika, I Gede, Drs. 2001. Pengembangan dan Pemberbadayaan dakam Konteks Keariwisataan. Kertas kerja Serial Seminar Seni Pertunjukan Indonesia 1998 – 2001, seri VIII, tgl 7 dan 8 Februari 2001 di STSI Surakarta.
Ardika, I Gede, 1993. Kepariwisataan Bali, Rahasia Pembangunan Bali. Jakarta: Harian Suara Karya dan Cita Budaya.
Asita, I Nyoman, MA. 2001. Seni Pertunjukan dan Pariwisata di Bali, Hubungan Pariwisata Bengan Budaya Beserta Aspeknya. Kertas kerja Serial Seminar Seni Pertunjukan Indonesia 1998 – 2001, seri VIII, tgl 7 dan 8 Februari 2001 di STSI Surakarta.
Hadi, Sri, S.Kar. 2001. Mencari Format Seni Pertunjukan Wisata. Kertas kerja Serial Seminar Seni Pertunjukan Indonesia 1998 – 2001, seri VIII, tgl 7 dan 8 Februari 2001 di STSI Surakarta.
Hadi, Y. Sumandiyo.. 2005. Sosologi Tari Sebuah Pengenalan Awal. Yogyakarta:Pustaka
______. 2006. Seni dalam Ritual Agama. Yogyakarta. Penrbit Buku Pustaka.
Hoemardani, SD. tanpa tahun. Kumpulan Kertas tentang Kesenian. Surakarta: Sub Proyek ASKI Surakarta.
Kayam, Umar.  2001. Kelir Tanpa Batas. Yogyakarta: Gaya Media bekerjasama dengan Universitas Gadjah Mada.
Koentjaraningrat.1999. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. (Cetakan Kedelapanbelas)
Negoro, Suryo S. 2001. Upacara Tradisional dan Ritual Jawa. Surakata: CV. Buana.
Purwadi. 2005. Upacara Tradisional Jawa, Menggali Untaian Kearifan Lokal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Soedarsono,  R.M., 2002. Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi  (Yograkarta: Gadjah Mada University Press.
________,  1999. Seni Pertunjukan dan Pariwisata. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.
Subroto, Edi. 1991. Kreativitas Seni dalam Perguruan Tinggi. Kertas Kerja Pekan Seni Mahasiswa di Surakarta.
Sudikan, Setya Yuwana.1999. Upacara Adat Jawa Timur Jilid 2.  Surabaya: Dinas P dan K Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur.
_______,  2004. dalam Pendekatan Kebudayaan dalam Pembangunan Provinsi Jawa Timur (Penyunting: Ayu Sutarto dan Setya Yuwana Sudikan). Surabaya: Kopyawisda bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Jawa Timur. 
Sukadijo, R.G. 1997. Anatomi Pariwisata: Memahami Pariwisata Sebagai “Systemic Linkage”. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Supanggah, Rahayu, Dr. S.Kar. 1994. Seni Tradisional Yang Modern. Kertas Kerja disajikan dalam rangka Pembinaan  Seniman se Jawa Timur th. 1994 di Kabupaten Kediri. Dinas P dan K Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur.
Sutarto, Ayu. 2003. “Krisis Nilai dan Krisis Pemaknaan terhadap Bhineka Tunggal Ika”, Makalah Penyuluhan Nilai Budaya Tahun 2003 kepada Pembina Budaya dan Budayawan Kabupaten/Kota se-Jawa Timur di Surabaya.
_______, 2004. “Pendekatan Kebudayaan: Wacana Tandingan untuk Mendukung Pembangunan Provinsi Jawa Timur”, dalam Pendekatan Kebudayaan dalam Pembangunan Provinsi Jawa Timur (Penyunting: Ayu Sutarto dan Setya Yuwana Sudikan). Surabaya: Kopyawisda bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Jawa Timur. 
Sutopo, HB. 1991. Pendekatan Kritik Holistik. Kertas Kerja Seminar Metode Penelitian Seni di IKIP Malang, 12 Februari 1991.
Wido, Soerjo Minarto. 2006. Kajian Simbolik Tari Topeng Patih Pada Pertunjukan Dramatari  Wayang Topeng Malang Di Dusun Kedungmonggo Desa Karangpandan Kecamatan Pakisaji Kabupaten Malang . Kertas Kerja Seminar Kajian Seni Pertunjukan di UNNES Semarang, 8 Januari 2006.
Wido, Soerjo Minarto. 2007. Pengetahuan Seni Tari dan Teknik Dasar Menyusun Tari. Malang: Baghastari.






* Soerjo Wido Minarto, adalah dosen pada Prodi Seni Tari Jurusan Seni dan Desain Universitas Negeri Malang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar