EKSISTENSI DAN PEMBERDAYAAN SENI TRADISIONAL RITUAL DI PROPINSI JAWA TIMUR
Oleh: Cak Wido*
DHANDHANG
GULA MALANGAN
Ngawruhana dununge wong urip
Lamun benjang yen sampun palastra
Wong mati nyangdi parane
Umpamakna pěksi mabur
Mlěsat saking kurungan neki
Datěng pundi puruging benjang
Aja kongsi kleru
Umpamakna wong ndik ndonya
Asesanja tan badhe mulih
Menyang jaman kamulyan (aowang…)
Pengantar
Kehidupan kebudayaan etnik/tradisional daerah (termasuk
seni tradisional) bertahan dan
berkembang karena mendapat dukungan masyarakatnya yang berupa kemampuan untuk
melakukan apresiasi dalam arti penghayatan dengan kesadaran estetiknya
(Sutopo, 1991). Hal ini dapat dipahami
karena budaya khususnya seni tradisional (di dalamnya termasuk seni tradisional
ritual) merupakan salah satu bagian esensial dari presentasi histories akan
masa lampau dari kelompok etnik tertentu. (Edi Subroto, 1991:4). Seni tradisional
ritual merupakan kesatuan dari religi masyarakat pendukungnya.
Spencer berpendapat bahwa asal mula religi, karena manusia sadar dan takut akan mati (Koentjaraningrat,
1980: 34-37). Ia berpendirian bahwa bentuk religi yang tertua adalah
penyembahan kepada roh-roh yang merupakan personifikasi dari jiwa orang-orang
yang telah meninggal, terutama nenek moyangnya. Namun, secara khusus tiap
bangsa dapat mengalami proses evolusi yang berbeda-beda. Misalnya suatu bangsa
memilik keyakinan akan kelahiran kembali, ada keyakinan bahwa roh manusia itu
bisa dilahirkan kembali ke dalam tubuh binatang, maka terjadi suatu bentuk
religi dimana manusia menyembah binatang atau roh binatang. seperti misalnya kesenian tradisional yang
mengesplor binatang (kuda lumping, kebo-keboan, singa barong, barongan dan lain
sebagainya).
Menurut
pendapat E.B.Tylor, asal mula religi dikarenakan kesadaran manusia akan adanya jiwa. Kesadaran ini disebabkan oleh dua
hal:
1. Adanya
perbedaan yang tampak pada manusia antara hal-hal yang hidup dan hal-hal yang
mati. Manusai sadar bahwa ketika manusai hidup ada sesuatu yang menggerakkan
dan kekuatan yang menggerakkan manusia itu disebut dengan jiwa.
2.
Peristiwa mimpi, di mana manusia melihat dirinya di tempat lain (bukan di
tempat ia sedang tidur ). Hal ini menyebabkan manusia membedakan antara tubuh
jasmaninya yang berada di tempat tidur dengan rohaninya di tempat-tempat lain
yang disebut jiwa.
Selanjutnya
Tylor mengatakan bahwa jiwa yang lepas ke alam disebutnya dengan roh atau mahluk halus. Inilah yang menyebabkan manusia berkeyakinan kepada
roh-roh yang menempati alam.
Tingkatan religi tertua, Taylor menyebutnya dengan istilah animism,
manusia percaya bahwa mahluk-mahluk halus (tidak dapat tertangkap oleh
pancaindera manusia) yang menempati alam sekeliling tempat tinggalnya, mampu
berbuat hal-hal yang tak dapat diperbuat manusia. Ia mendapat tempat yang
sangat penting dalam kehidupan manusia, sehingga menjadi obyek penghormatan dan
penyembahan, yang disertai berbagai upacara berupa doa, sajian, atau korban ( Koentjaraningrat 1980:48).
James L. Peacock, peneliti
seni pertunjukan rakyat di Jawa Timur berpendapat bahwa upacara ritus dilakukan
dengan tujuan untuk menghormati Danhyang.
Danhyang ini merupakan kompleksitas kepercayaan
orang abangan terhadap animisme yang terpadu dengan tradisional agama Hindu dan
Budha (Peacock, 1968:35-36). Clifford Geertz (1983:17-18) berpendapat bahwa
upacara ritus dalam bentuk selamatan (slametan:
Jawa) bagi orang Jawa abangan adalah usaha untuk membina hubungan yang serasi
antara manusia dengan roh moyang di
sekitarnya, agar tidak mengganggu orang-orang yang bersangkutan. Selamatan itu
dilengkapi dengan sesajian sebab roh
moyang ikut memakan bau-bau makanan yang dihidangkan. Keadaan yang
didambakan oleh kaum abangan ialah slamet
gak ana apa-apa (selamat tidak ada apa-apa), ritus inilah yang oleh Geertz
disebut ritus kaum abangan yang menganut agama Jawa, yaitu merupakan perpaduan
unsur kepercayaan terhadap animisme, Hinduisme dan Budhaisme.
Harsya Bachtiar
berpendapat bahwa ritus tersebut sebenarnya merupakan pemujaan terhadap sangkan paraning dumadi (dari mana
manusia itu berersal, apa dan siapa dia pada masa kini, dan kearah tujuan hidup
mana yang ditujunya).
Bagi orang Jawa
melakukan ritual bertujuan untuk membina keseimbangan dunia nyata dan dunia
maya (makro dan mikro kosmos),
sehingga akan mencapai tujuan hidup yang diharapkan yaitu ‘hidup damai, sejahtera bahagia dunia
akherat (urip ayĕm tĕntrĕm donya akerat).
Oleh sebab itulah banyak cara untuk menyampaikan suatu ajaran tentang
nilai-nilai luhur dalam kehidupan di alam fana ini oleh nenek moyang kita. Dengan
perilaku yang baik, berbudi mulya, manusia Jawa senantiasa merebut predikat “Budi Luhur”. Dengan predikat tersebut,
akan dapat mencapai cita-cita utama hidup manusia Jawa, yaitu mulih mulanira dumadi. Oleh sebab itulah
nenek moyangnya selalu menyampaikan ajaran tersebut yang ditularkan melalui
wejangan pitutur/petuah, sekaligus memberikan tauladan pada anak cucunya.
Adapun ajaran-ajaran tersebut dapat diwujudkan antara lain berupa gerakan,
lukisan, lambang/simbol,
tulisan, tembang/syair dan pitutur yang bercerita atau dongeng, diantaranya melalui
kesenian tradisional yang menyatu dengan upacara ritual.
Upacara ritual adat Jawa dilakukan demi mencapai
ketenteraman hidup lahir dan batin. Dengan mengadakan upacara tradisional itu,
orang Jawa memenuhi kebutuhan spiritualnya, eling
marang purwa duksina. Kehidupan ruhani orang Jawa memang bersumber dari
ajaran agama yang diberi hiasan budaya lokal. Oleh karena itu, orientasi
kehidupan keberagaman orang Jawa senantiasa memperhatikan nilai-nilai luhur
yang telah diwariskan oleh nenek moyangnya (Purwadi, 2005:v).
Selanjutnya, Purwadi (2005:v),
menyatakan upacara tradisional dilakukan orang Jawa dengan tujuan memperoleh
solidaritas sosial, lila lan legawa
kanggo mulyaning negara. Upacara tradisional juga menumbuhkan etos kerja
kolektif, yang tercermin dalam ungkapan gotong
royong nyambut gawe. Dalam berbagai kesempatan, upacara tradisional memang
dilaksanakan dengan melibatkan banyak orang. Mereka melakukan ritual ini dengan
dipimpin oleh para sesepuh dan pinisepuh masyarakat. Upacara tradisional juga
berkaitan dengan lingkungan hidup. Masyarakat Jawa mempercayai bahwa lingkungan
hidup itu perlu dilestarikan dengan cara ritual-ritual keagamaan yang
mengandung nilai kearifan lokal.
|
EKSISTENSI SENI TRADISIONAL RITUAL DI JAWA TIMUR
Secara geografi budaya
masyarakat Jawa Timur dapat dipilahkan ke dalam 5 (lima) wilayah kebudayaan (culture area). Kelima wilayah geografi
budaya (culture area) tersebut,
yaitu: (1) culture area budaya Jawa
dengan orientasi bahasa Jawa Surakarta atau Yogyakarta (Mataram). Masyarakat
tersebut menggunakan bentuk sapaan bahasa Jawa sebagai berikut, “kowe, bocah-bocah, kangmas, dhiajeng, bapak,
eyang kakung, eyang putri”. Secara geografis, meliputi wilayah Kabupaten
Ponorogo, Kabupaten trenggalek, Kabupaten Pacitan, Kabupaten Magetan, Kabupaten
Ngawi, Kabupaten Madiun, Kabupaten Tulungagung, Kabupaten Blitar, dan Kabupaten
Kediri; (2) culture area Brang wetan,
residu budaya pusat Majapahit dengan ciri khas bentuk sapaan bahasa Jawa “Brang Wetan”, sebagai berikut, “Arek-arek, koen, rika, pena, cacak, wak,
ning”. Istilah “Brang Wetan” berasal dari kata “seberang wetan” artinya
sebelah timur sungai Brantas. Secara geografis meliputi wilayah Kabupaten
Mojokerto, Kabupaten Jombang, Kota Surabaya, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten
Malang. Di wilayah “Brang Wetan” ini terselip masyarakat pemakai bahasa daerah
Jawa khas dialek Tengger dengan kultur agama Hindu-Budha, meliputi wilayah gunung
Tengger, Bromo, dan Semeru. Secara geografis sebagian termasuk wilayah
Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Lumajang, dan Kabupaten
Malang; (3) culture area Jawa
Pesisiran lebih banyak menggunakan bahasa Jawa Brang Wetan yang berdampingan
dengan bahasa Madura. Di wilayah Bojonegoro dijumpai dialek khas Bojonegoro, “Bapak-em, embok-em, pelem-em”. Secara
geografis daerah pesisiran meliputi daerah Kabupaten Tuban, Kabupaten Lamongan,
Kabupaten Bojonegoro, dan Kabupaten Gresik; (4) culture area Madura yakni masyarakat Jawa Timur yang berbahasa
Madura dengan ciri khas wilayah Madura Barat, Madura Tengah dan Madura Timur.
Secara geografis, meliputi: pulau Madura, (daratan Madura), dan pulau-pulau di
sekitar pulau Madura seperti Bawean dan Kangean. Wilayah Jawa Timur yang
penduduknya berbahasa Madura antara lain daerah pantai Kota Surabaya, daerah
pantai Kota Pasuruan, Kabupaten Pasuruan, Kota Probolinggo, Kabupaten Probolinggo,
Kabupaten Lumajang. Dan Kabupaten Situbondo, pesisir Kabupaten Banyuwangi,
daerah pedalaman Kabupaten Bondowoso, serta Kabupaten Jember yang termasuk
daerah ex Kresidenan Besuki; (5) culture
area Using yang masyarakatnya berbahasa Jawa dialek Using di wilayah
Kabupaten Banyuwangi (Supriyanto, 1987/1988:5-6).
Pembagian wilayah kebudayaan (culture area) tersebut dapat dipertajam
lagi dengan memilahkan subbudaya (subculture)
arek (untuk masyarakat Surabaya dan sekitarnya, subbudaya Tengger (masyarakat
yang tinggal di lereng gunung Bromo baik yang masuk wilayah Lumajang, Probolinggo,
maupun Malang sebelah timur), subbudaya Bawean, subbudaya Samin di wilayah
perbatasan Bojonegoro dengan Ngawi, dan subbudaya Panaragan. Selain itu kita
mengenal subculture pesantren yang
memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan masyarakat lainnya (Sudikan,
2004:2).
Dalam penyelenggaraan upacara
adat (ritual), baik di Jawa
Timur maupun di Jawa Tengah selalu melibatkan kesenian tradisional. Upacara adat
yang dikembangkan masyarakat Ponorogo, Kediri, Malang, Sumenep, dan Banyuwangi,
selalu terkait dengan kesenian tradisional kraton dan seni tradisional rakyat.
Di pihak lain, daerah-daerah yang tidak memiliki akar sejarah pusat kerajaan,
dalam upacara adat lebih memilih mengembangkan seni tradisional rakyat
(Sudikan, 1999:7). Berbagai cabang kesenian, di antaranya: seni pertunjukan (tandhakan, reog, wayang, ludruk,
Jaranan, Sandur,Wayang Topeng, Kebo-keboan, Seblang dan lain-lain), seni musik (karawitan), seni rupa (dekorasi),
dan seni deklamasi (macapatan)
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari upacara adat. Oleh sebab itu,
upacara adat dapat dijadikan media untuk mengembangkan seni tradisional.
Benteng terakhir pengembangan seni tradisional yaitu upacara adat. Apabila
upacara adat ditinggalkan masyarakat, maka seni tradisional akan punah dari bumi
pertiwi.
Istilah
tradisional sering dihubungkan dengan pengertian adat, yang berkonotasi sesuatu
(peristiwa, kegiatan) yang berlaku berulang ulang, berlangsung sejak waktu yang
relatif lama dengan bentuk yang nyaris tidak berubah. Dengan kata lain, Tradisional adalah “sesuatu” (termasuk seni) yang berusia panjang dan
ditularkan secara turun trmurun. (Wido, 2007: 2-3) Dari pernyataan
tersebut tersirat beberapa unsur pengertian tentang seni tradisional, yaitu:
a.
Usia.
Seni tradisional
biasanya dilahirkan pada waktu yang relatif tua. Saking tuanya kadang kadang
tidak diketahui lagi kapan, dimana, bagaimana dan oleh siapa seni tersebut
dilahirkan.
b. Mutu.
Berkaitan dengan usianya
yang relatif tua, kesenian ini mampu bertahan hidup melalui kristalisasi zaman
serta seleksi masyarakat yang ketat. Dengan demikian kesenian ini pada dasarnya
telah teruji mutunya.
c. Komunal.
Kesenian ini lahir dilingkungan, diseleksi, didukung
dan digunakan untuk kepentingan masyarakat baik untuk keperluan yang
berhubungan dengan agama, kepercayaan, upacara adat dan acara keluarga (sebagai
anggota masyarakat). Oleh sebab itu
kesenian ini sifatnya komunal, lebih dari pada individual.
d.
Aturan.
Karena sifatnya yang komunal, setiap warga merasa
memiliki, menghidupi, mengubah, mengatur dan menggunakannya secara bersama.
Dengan mufakat (mungkin tidak tertulis maupun terucap), pengaturan penggunaan
ditentukan bersama oleh masyarakat, kesenian ini tunduk pada aturan aturan
tertentu, baik aturan tampil, penggunaan, aturan estetis, dan sebagainya.
Seni tradisional sangat erat
hubungannya dengan masyarakat pemiliknya. Ia merupakan atribut, sarana ungkapan
kejiwaan, komunikasi dari masyarakat kepada anggota masyarakat lainnya maupun
dengan Yang Diatas. Ia juga merupakan lambang dan menyiratkan nilai nilai yang
berlaku, juga merupakan bagian dari kehidupan dan budaya masyarakat tertentu.
Tetapi justru karena sifatnya yang komunal, masyarakat merasa dekat dengan seni
tradisional. Mereka merasa ikut membuat, memelihara, mendukung kehidupannya,
kemudian banyak anggota masyarakat merasa tahu tentang seni tradisional,
walaupun diluar wilayah budayanya. Dengan demikian mereka berhak untuk menggunakannya,
mengubahnya dan bahkan juga membuangnya jika sekiranya tidak diperlukan lagi
(Supanggah, 1994: 3-5).
R.M. Soedarsono
mengemukakan bahwa ciri-ciri seni tradisional untuk ritual adalah unik, tidak
dipertontonkan di sembarang tempat, demikian juga masalah waktu dan kondisi
untuk pementasan dibuat secara khusus pula. Bahkan dengan tegas Soedarsono
memperjelas bahwa ciri pertunjukan ritual adalah (1) tempat pertunjukan yang
terpilih, biasanya di tempat yang dianggap sakral; (2) waktu yang terpilih; (3)
pemain yang terpilih (pemain yang masih dianggap suci); (4) disertai sesaji;
(5) penampilan dari sisi estetika tidak terlalu diutamakan; dan (6) menggunakan
dan memakai busana yang khusus. Jadi, secara jelas pendapat R.M. Soedarsono
tersebut mengarah pada kesimpulan bahwa fungsi seni yang utama adalah
'menghibur' penikmatnya, baik penikmat yang benwujud penonton, diri sendiri
atau pelaku seni, maupun penikmat yang dilakukan oleh 'orang' yang tidak kasat
mata (R.M. Soedarsono, 2002: 126).
FUNGSI SENI TRADISIONAL RITUAL
Sesuai dengan penjelasan R.M. Soedarsono di atas,
maka secara khusus fungsi seni tradisional ritual (di Jawa Timur) dapat
dikelompokkan sebagai berikut:
1.
Fungsi yang
berkaitan dengan hasil bumi (kesuburan) dan hasil laut
2.
Fungsi yang berkaitan
sumber air
termasuk minta hujan
3.
Inisiasi (siklus
kehidupan)
4.
Fungsi yang
berkaitan Pembersiah
kotoran desa
5.
Ruwatan sukerta
6.
Status diri
7.
Kesembuhan
8.
Kematian dan atritbutnya
Sudah barang tentu bahwa masing-masing
fungsi/kegunaan tersebut memiliki ciri dan karakteristik bentuk tampilan,
peralatan (termasuk uba rampe), serta
ruang dan waktu sendiri-sendiri. Misalnya untuk kesuburan dan hasil bumi
menggunakan visual tayub, wayang Topeng (terdapat di Malang), Kebo-keboan
(terdapat di Banyuwangi). Sedangkan untuk kelangsungan sumber air di Malang
menggunakan kirap dan jamasan Topeng dilanjutkan dengan pergelaran Wayang
Topeng, di Tulungagung dengan ritual Ulur-ulur.
Untuk minta hujan dengan visual Kemanten
Kucing, Ujungan dan Tiban.
Kebetulan
di Jawa Timur hamper di setiap daerah (Kabupaten dan atau desa-desa) sampai saat
ini masik cukup banyak yang melaksanakan sesuai dengan karakteristik kesenian
daerahnya masing-masing.
FAKTOR YANG MEMPENGRUHI KEMUNDURAN SENI TRADISIONAL RITUAL
Tidak
dapat dipungkiri bahwa keberlangsungan seni tradisional ritual tidak selamanya
dapat eksis, karena banyak masalah yang mempengaruhi kemundurannya. Adapun
factor-faktor yang mejadikan kendala keberlangsungan tersebut adalah;
1. Berkurang/lunturnya
kepercayaan masyarakat pendukungnya terhadap fungsi ritual pada seni tradisional
2. Kuatnya pengaruh
terhadap kepercayaan baru
3. Faktor ekonomi
4. Masuknya budaya asing
(modern) yang lebih memiliki daya pikat dari pada seni tradisional
5. Adanya perubahan
frontal pada wilayah maupun masyarakatnya (perang, bencana alam, situasi
politik dll).
Namun Alhamdulillah seni tradisional
ritual di Jawa Timur sampai sekarang yang eksis masih cukup banyak, terbukti dengan
pelaksanaan aktifitas secara rutin setiap waktu tertentu.
PEMBERDAYAAN SENI TRADISIONAL
RITUAL
Di
atas telah diuraikan, bahwa sifat kesenian tradisional ritual akan hidup jika didukung oleh masyarakat
pemangkunya. Karena kesenian ini merupakan atribut, sarana ungkapan kejiwaan,
komunikasi antar masyarakat dengan anggota masyarakat maupun dengan Tuhannya,
menyiratkan nilai nilai yang berlaku dan sifatnya komunal. Maka masyarakat
merasa ikut membuat, memelihara, mendukung kehidupannya. Dengan demikian mereka
berhak untuk menggunakannya, mengubahnya dan bahkan juga membuangnya jika
sekiranya tidak diperlukan lagi.
Maka model pemberdayaan adalah pengaktualisasian budaya, yaitu memperkuat akar nilai budaya setempat, sehingga seni
diyakini bukan sekedar “tontonan” tetapi juga “tuntunan” terlebih bagi generasi
mudanya yang nota bene “jauh” dari tradisional. Perlu diingat, bahwa kondisi
sosial Bangsa Indonesia sedang didera kisis mental, moral, dan budaya, di
samping krisis ekonomi yang berkepanjangan seperti sekarang ini, apa yang harus
kita lakukan, Tak lain dan tak bukan, saatnya kesenian Tradisional baik dalam
bentuk proses maupun produk-produknya dijadikan benteng untuk memperkuat citra
diri bangsa sebagai bangsa yang berbudaya. Jika lengah, maka akan member
peluang besar mempersubur maraknya
serbuan produk dan pelaku seni mancanegara ke Indonesia, (bamyak hal yang tidak
sesuai dengan kepribadian bangsa kita) yang dalam jangka panjang akan
menjadikan kesenian Indonesia tidak memiliki nilai tambah di dalam negeri
sendiri. Serbuan produk-produk mancanegara tersebut tidak mungkin dapat
dilarang sebagai akibat dari proses globalisasi, namun perlu dipikirkan upaya
untuk memperkecil dan mengurangi tingkat "impor' produk-produk kesenian di
Indonesia, salah satunya adalah melalui produk hukum yaitu undang-undang kesenian, yang dalam
penjabarannya kelak diharapkan mampu memberikan acuan bagi pengembangan kesenian
“Indonesia”, sekaligus mengurangi masuknya produk-produk kesenian luar negeri.
SENI
TRADISIONAL RITUAL ASSET PARIWISATA
Mengapa Pariwisata? Dalih yang melatar belakangi makin gencarnya
program pariwisata ini, adalah ekonomi
(peningkatan pemasukan devisa negara dari sektor non migas) adalah merupakan
dalih utama. Ada
dalih dalih lain, seperti perluasan lapangan kerja, pengenalan budaya bangsa, pelestarian
seni tradisional, peningkatan kesejahteraan seniman dan sebagainya. Hal
tersebut merupakan langkah yang tepat sekali, terutama apabila dilandasi oleh
pemahaman konsep yang tepat dan dapat melakukannya dengan benar. Pengembangan
fungsi dengan menjual seni sebagai salah satu aset ke pariwisataan dengan
pertimbangan seperti tersebut diatas memang merupakan langkah yang bijaksana.
Pertimbangan yang saling menguntungkan. Wisatawan mendapatkan informasi dan
suguhan kesenian yang bermutu; kesenian menjadi lebih berkembang, seniman
menjadi lebih berkwalitas, kreatif dan punya uang (karena seringnya pentas);
hotel, biro perialanan, guide, aurt beberapa sektor lain juga dapat rejeki, Indonesia
menjadi terkenal.
Seni tradisional termasuk
seni ritual yang disulap menjadi seni wisata,
merupakan seni kemasan khusus yang sifatnya tiruan dari aslinya sehingga
sering disalah artikan bahwa seni wisata adalah seni murah dan berkualitas
rendah, sudah barang tentu tafsir yang demikian adalah tafsir yang salah. Seni
tiruan bukan berarti seni yang tidak berkwalitas, akan tetapi memang murah
dalam arti terjangkau untuk ukuran wisatawan namun tetap berpegang pada
kualitas yang baik. Karena pada dasarnya seni wisata harus mampu menjadi media
informasi dan mempunyai daya tarik sedemikian rupa sehingga layak untuk dijual.
(Hadi, 2001: 4)
Pengembangan kesenian
pariwisata sedapat mungkin mengutamakan keaslian,
kekhasan, dan keunikan kesenian
daerah dengan cara yang informatif,
aktraktif, berdaya pikat tinggi,
dan berdaya jangkau segmen pasar
yang luas baik untuk pangsa pasar domestic maupun mancanegara, melalui kerja
sama atas dasar saling menguntungkan dengan sejumlah pihak yang berkompeten
secara bertahap, berkesinambungan, dan terencana sesuai dengan yang diharapkan.
Di dalam penyusunan program pengembangan kesenian mutlak diperlukah
pertimbangan yang berwawasan ke depan (visioner)
mengingat setiap jenis kesenian dalam kontek kepariwisataan termasuk seni
pertunjukan masing-masing mempunyai keterbatasan dan kelebihan. Untuk itu perlu
kiranya kita cermati dan mempertimbangkan bagaimana mengemasnya, karena apabila
melalukan kesalahan akan berakibat fatal.
Soedarsono (1999)
menawarkan sebuah teori pengemasan seni wisata, yaitu setidaknya mempunyai lima ciri: (l) tiruan dari aslinya, (2) lebih
singkat dari aslinya. (3) penuh variasi, 4) ditanggalka nilai magis dan
sakralnya, (5) murah untuk ukuran nilai uang wisatawan. Dengan mengacu
pemikiran tersebut paling tidak dapat membantu menentukan bentuk atau format
dalam memberdayakan seni tradisional ritual menjadi kemasan seni wisata.
Semoga
bermanfaat.
Ardika,
I Gede, Drs. 2001. Pengembangan dan
Pemberbadayaan dakam Konteks Keariwisataan. Kertas kerja Serial Seminar Seni Pertunjukan
Indonesia 1998 – 2001, seri VIII, tgl 7 dan 8 Februari 2001 di STSI Surakarta.
Ardika, I Gede, 1993. Kepariwisataan Bali, Rahasia Pembangunan Bali. Jakarta:
Harian Suara Karya dan Cita Budaya.
Asita, I Nyoman, MA. 2001. Seni Pertunjukan dan Pariwisata di Bali, Hubungan Pariwisata Bengan Budaya Beserta Aspeknya.
Kertas kerja Serial Seminar Seni Pertunjukan Indonesia 1998 – 2001, seri VIII,
tgl 7 dan 8 Februari 2001 di STSI Surakarta.
Hadi, Sri, S.Kar. 2001. Mencari Format Seni Pertunjukan Wisata. Kertas
kerja Serial Seminar Seni Pertunjukan Indonesia 1998 – 2001, seri VIII, tgl 7
dan 8 Februari 2001 di STSI Surakarta.
Hadi, Y. Sumandiyo.. 2005. Sosologi Tari Sebuah Pengenalan Awal. Yogyakarta:Pustaka
______. 2006. Seni
dalam Ritual Agama. Yogyakarta. Penrbit Buku Pustaka.
Hoemardani, SD. tanpa tahun. Kumpulan Kertas tentang Kesenian. Surakarta: Sub
Proyek ASKI Surakarta.
Kayam, Umar.
2001. Kelir Tanpa Batas.
Yogyakarta: Gaya Media bekerjasama dengan Universitas Gadjah Mada.
Koentjaraningrat.1999. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. (Cetakan
Kedelapanbelas)
Negoro, Suryo S. 2001. Upacara Tradisional dan Ritual Jawa. Surakata: CV. Buana.
Purwadi. 2005. Upacara
Tradisional Jawa, Menggali Untaian Kearifan Lokal. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Soedarsono, R.M., 2002. Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi (Yograkarta: Gadjah Mada University Press.
________,
1999. Seni Pertunjukan dan Pariwisata. Bandung: Masyarakat
Seni Pertunjukan Indonesia.
Subroto, Edi. 1991. Kreativitas Seni dalam Perguruan Tinggi. Kertas Kerja Pekan Seni
Mahasiswa di Surakarta.
Sudikan, Setya Yuwana.1999. Upacara Adat Jawa Timur Jilid 2. Surabaya: Dinas P dan K
Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur.
_______,
2004. dalam Pendekatan Kebudayaan
dalam Pembangunan Provinsi Jawa Timur (Penyunting: Ayu Sutarto dan Setya
Yuwana Sudikan). Surabaya: Kopyawisda bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi
Jawa Timur.
Sukadijo, R.G. 1997. Anatomi Pariwisata: Memahami Pariwisata
Sebagai “Systemic Linkage”. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama
Supanggah, Rahayu, Dr. S.Kar. 1994.
Seni Tradisional Yang Modern. Kertas
Kerja disajikan dalam rangka Pembinaan
Seniman se Jawa Timur th. 1994 di Kabupaten Kediri. Dinas P dan K Daerah
Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur.
Sutarto, Ayu. 2003. “Krisis Nilai dan Krisis
Pemaknaan terhadap Bhineka Tunggal Ika”, Makalah
Penyuluhan Nilai Budaya Tahun 2003 kepada Pembina Budaya dan Budayawan
Kabupaten/Kota se-Jawa Timur di Surabaya.
_______, 2004. “Pendekatan Kebudayaan: Wacana
Tandingan untuk Mendukung Pembangunan Provinsi Jawa Timur”, dalam Pendekatan Kebudayaan dalam Pembangunan
Provinsi Jawa Timur (Penyunting: Ayu Sutarto dan Setya Yuwana Sudikan).
Surabaya: Kopyawisda bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Jawa Timur.
Sutopo,
HB. 1991. Pendekatan Kritik Holistik.
Kertas Kerja Seminar Metode Penelitian Seni di IKIP Malang, 12 Februari 1991.
Wido,
Soerjo Minarto. 2006. Kajian Simbolik
Tari Topeng Patih Pada Pertunjukan Dramatari Wayang Topeng Malang
Di Dusun Kedungmonggo Desa Karangpandan Kecamatan Pakisaji Kabupaten Malang . Kertas Kerja
Seminar Kajian Seni Pertunjukan di UNNES Semarang,
8 Januari 2006.
Wido,
Soerjo Minarto. 2007. Pengetahuan Seni
Tari dan Teknik Dasar Menyusun Tari. Malang:
Baghastari.
* Soerjo Wido Minarto, adalah dosen pada Prodi
Seni Tari Jurusan Seni dan Desain Universitas Negeri Malang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar