Selasa, 28 Januari 2014

MEMBANGUN WIRAUSAHA DALAM KESENIAN



MEMBANGUN WIRAUSAHA DALAM KESENIAN TRADISIONAL DI MALANG RAYA[*]

Oleh: Cak Wido[†]

Pocung
Ngelmu iku
Kelakone kanti laku
Lekase lawan kas
Tegese kas nyantosani
Setya bodya pangekesing durangkara


Latar Belakang
Malang sebagai wilayah geografi, semula adalah satu wilayah administratif, yaitu Kadipaten Malang yang sekaligus wilayah geografi budaya. Pada perkembangan terakhir daerah Malang ini dibagi mejadi tiga wilayah administratif, yaitu :
1.      Kabupaten Malang
2.      Kota Malang
3.      Kota Batu
Ketiga wilayah administratif tersebut lazim namai MALANG RAYA, tetapi masih dalam satu wilayah geografi budaya MALANG. Hal ini dapat dibuktikan dengan kesamaan perilaku budaya, seperti bahasa, tingkah laku, logat umum, pakaian dan lain-lain termasuk rumpun keseniannya. Dengan demikian di dalam teba kesenian Jawa Timur, Malang merupakan suatu kelompok etnis yang memiliki spesifikasi tersendiri yang tidak dipunyai oleh etnik/daerah lain.  Kehidupan kebudayaan etnik/tradisi daerah (termasuk seni tradisi)  bertahan dan berkembang karena mendapat dukungan masyarakatnya yang berupa kemampuan untuk melakukan apresiasi dalam arti penghayatan dengan kesadaran estetiknya (Sutopo,  1991). Hal ini dapat dipahami karena budaya khususnya seni tradisi merupakan salah satu bagian esensial dari presentasi histories akan masa lampau dari kelompok etnik tertentu (Edi Subroto, 1991:4).
MALANG yang menurut tafsiran sejarah merupakan bekas kerajaan besar (konon bernama Kajuruhan) dengan peninggalan artefak berupa candi Badut yang berada di kelurahan Karangbesuki, kecamatan Sukun kota Malang. Ditinjau dari kondisi empirik (kenyataan yang ada),  di kota Malang terdapat akulturasi tiga etnis besar, yaitu; (a) etnis Jawa tengahan, (b) etnis asli AREMA, (c) etnis Madura. Disamping ke tiga etnis tersebut, masih ada beberapa etnis lain, tetapi tidak terlalu memberikan pengaruh secara seknifikan, seperti Cina, Sunda, Minang dan lain sebagainya. Ketiga etnis (Jawa Tengahan, Arema, Madura) tersebut memiliki pengaruh terhadap semarak tumbuh dan perkembangan kesenian tradisional di kota Malang (Wido, 2006: 2 – 6).

Apakah Seni Itu?
Menurut teori mimesis seni merupakan salinan atau tiruan alam. Maksudnya, seni adalah usaha untuk menyalin “alam” ke dalam berbagai macam media. Kesenian yang tertinggi adalah yang paling setia menyerupai alam (Abdullah, 1981:8).
Sedangkan salah satu pendapat yang cukup populer mengenai pengertian seni, adalah “seni identik dengan keindahan”. Artinya, seni itu selalu menampilkan keindahan, atau dengan rumusan lain, keindahan yang dibuat oleh manusia adalah seni (Aj. Soehardjo, 1990:5).
Alexander Baumgarten, filosof yang hidup pada tahun 1714 sampai dengan 1762, berpendapat bahwa seni adalah keindahan. Ia tidak sependapat jika suatu karya yang ekspresif itu melahirkan bentuk-bentuk wujud yang bertentangan dengan rasa kesenangan dan keindahan.
Selanjutnya Benedetto Croce menegaskan bahwa seni adalah intuisi. Penciptaan keindahan pada hakekatnya adalah proses kejiwaan. Pendapat ini didukung oleh Ki Hadjar Dewantara yang mengatakan bahwa seni adalah: segala perbuatan manusia yang timbul dari hidup perasaan yang bersifat indah hingga dapat menggerakkan jiwa perasaan manusia.
Adapun menurut sastrawan ternama Sutan Takdir Ali Syahbana, seni adalah penjelmaan riak alur dan gelombang perasaan. Pendapat ini ditegaskan oleh Marsudi (1975) bahwa seni merupakan gelombang kalbu keindahan untuk memenuhi kehendak manusia/perwujudan ide.
Di samping beberapa pendapat tersebut di atas, masih banyak lagi pendapat dari para pakar/ilmuwan mengenai batasan seni tersebut. Namun uraian tersebut di atas dapat dimengerti bahwa seni setidaknya mengandung 5 (lima) unsur, yaitu; karya manusia, ekspresi/rasa, media, irama/keteraturan dan keindahan. Dengan demikian jika diringkas, Seni adalah hasil (karya) ekspresi manusia yang diungkapkan melalui media yang berirama dan indah. Sedangkan konsep keindahan itu sendiri, adalah: sesuatu yang dapat menimbulkan getaran perasaan, menikmatkan, menyenangkan, memuaskan, membahagiakan, pada orang lain.

Tradisional
Tradisi (yang melekat pada seni) sering dihubungkan dengan pengertian adat, yang berkonotasi sesuatu (peristiwa,kegiatan) yang berlaku berulang ulang, berlangsung sejak waktu yang relatif lama dengan bentuk yang nyaris tidak berubah. Dengan kata lain, Tradisional adalah “sesuatu” yang berusia panjang dan ditularkan secara turun temurun (Wido, 2007: 2-3). Maka Seni Tradisional adalah: Seni yang berusia panjang dan ditularkan secara turun temurun Dari pernyataan tersebut tersirat beberapa unsur pengertian, yaitu:
a.       Usia.
Seni tradisi biasanya dilahirkan pada waktu yang relatif tua. Saking tuanya kadang kadang tidak diketahui lagi kapan, dimana, bagaimana dan oleh siapa seni tersebut dilahirkan.
b.      Mutu.
Berkaitan dengan usianya yang relatif tua, kesenian ini mampu bertahan hidup melalui kristalisasi zaman serta seleksi masyarakat yang ketat. Dengan demikian kesenian ini pada dasarnya telah teruji mutunya.
c.   Komunal.
Kesenian ini lahir dilingkungan, diseleksi, didukung dan digunakan untuk kepentingan masyarakat baik untuk keperluan yang berhubungan dengan agama, kepercayaan, upacara adat dan acara keluarga (sebagai anggota masyarakat). Oleh sebab itu kesenian ini sifatnya komunal, lebih dari pada individual.
d.      Aturan.
Karena sifatnya yang komunal, setiap warga merasa memiliki, menghidupi, mengubah, mengatur dan menggunakannya secara bersama. Dengan mufakat (mungkin tidak tertulis maupun terucap), pengaturan penggunaan ditentukan bersama oleh masyarakat, kesenian ini tunduk pada aturan aturan tertentu, baik aturan tampil, penggunaan, aturan estetis, dan sebagainya.
Menurut sifatnya seni tradisi dapat dikelompokkan ke dalam beberapa genre:
  1. seni tradisi yang bersifat religius, yaitu seni yang kehadirannya terkait dengan acara religi, keagamaan atau kepercayaan. Seni ini dapat hadir sebagai kelengkapan upacara religi seperti: misa di gereja, mantra atau hymne agama Hindhu atau Budha, seni baca Al Quran, lukisan kaligrafi, lukisan asma’ dan sebagainya, atau dapat berupa sarana dawah atau penyebaran suatu agama/ kepercayaan, atau dapat juga berujud seni yang menyiratkan ajaran moral atau ajaran agama tertentu dan atau membesarkan atau memuja nama Tuhan. Karena sifat, fungsi dan kegunaannya yang demikian, warna atau karakter hiburan dari kesenian dalam jenis seni ini agak dikesampingkan. Kesenian ini pada dasarnya bukan tontonan, atau setidak tidaknya tidak begitu membutuhkan penonton. Yang hadir (menonton) biasanya juga merupakan bagian dari acara tersebut. Beberapa bentuk salawat, gamelan sekaten, wayang Wahyu, gamelan gong gedhe adalah beberapa contoh jenis kesenian dari kelompok ini.

  1. Seni tradisi yang bersifat kerakyatan. Kesenian ini lebih banyak berfungsi untuk mencukupi kebutuhan hiburan masyarakat (pedesaan, nelayan) disamping berfungsi sebagai kelengkapan upacara keluarga maupun upacara adat atau kegiatan lain yang berkaitan dengan kehidupan sehari hari dari sekelompok masyarakat. Upacara tersebut biasanya berhubungan dengan keselamatan, kesuburan, rejeki, syukuran dari seseorang atau masyarakat, ataupun beberapa hal lainnya yang berhubungan dengan kehidupan pertanian dan atau nelayan/ kelautan. Jenis seni ini memliki ciri spontanitas yang tinggi dan mementingkan kebersamaan. Batas pemain dan penonton sering tidak jelas, dalam arti penonton dapat mengambil bagian (sebagai 'pemain') dalam pertunjukan tersebut. Sehubungan dengan sifatnya yang demikian, kesenian ini tidak mementingkan tehnik seni yang rumit, yang tinggi, aturan yang ketat, kelengkapan (busana, aksesori, setting, dsb) yang remit berharga mahal, dsb. Pesan dan isi teks bertemakan masalah yang dekat dengan kehidupan keseharian mesyarakat pendukungnya, biasanya berceritera tentang dunia pertanian/ nelayan, keadaan lingkungan, persahabatan, pergaulan pria wanita, nasihat untuk berbuat baik disampaikan dengan bahasa dan cara yang sederhana (ngoko), menarik, lucu, langsung dan spontan. Bahkan banyak teks yang dibuat secara sesaat, langsung pada waktu pertunjukan. Ceritera yang dibawakannya juga memilih tema yang dekat dengan kehidupan keseharian, tokohnya akrab dengan masyarakat setempat, seperti legenda daerah, ceritera rakyat, dsb. Contoh: Tayub/tandakan, reog, Ludruk, kentrung, lukisan pemandangan, “lukisan, patung natural sederhana” dsb.

  1. Seni tradisi yang bersifat Istana/klasik. Belum ada istilah baku (tepat?) untuk menyebut kelompok seni ini. Klasik adalah istilah yang digunakan untuk menyebut jenis kesenian yang relatif tua dan yang memiliki mutu cukup tinggi. Dunia (etno) musikologi sering menyebut jenis seni (musik) ini sebagai music of high culture, - seni (musik) budaya tinggi. Jenis ini merujuk pada kesenian yang hidup, dan berkembang di lingkungan istana, walau mungkin tidak mesti harus dilahirkan di sana. Wayang, karawitan, tari klasik Jawa, adalah beberapa contoh untuk jenis kesenian ini. Kesenian ini (dulunya) selain digunakan sebagai kelengkapan upacara kerajaan dan keluarga raja, sebagai atribut keluarga raja, juga digunakan sebagai sarana pendidikan keluarga, pegawai dan rakyat, terutama untuk keperluan mengagungkan kerajaan. Sifat feodalismenya ini tercermin dalam keremitan (birokrasi) musikalnya, stratifikasi, tatakrama (halus, tenang, lembut, lirih, datar, anti kontras, penggunaan bahasa yang halus dan sopan dsb), hirarki, serta aturan aturan lainnya yang ketat.

Seni tradisi sangat erat hubungannya dengan masyarakat pemiliknya. Ia merupakan atribut,  sarana ungkapan kejiwaan, komunikasi dari masyarakat kepada anggota masyarakat lainnya maupun dengan Yang Diatas. Ia juga merupakan lambang dan menyiratkan nilai nilai yang berlaku, juga merupakan bagian dari kehidupan dan budaya masyarakat tertentu. Tetapi justru karena sifatnya yang komunal, masyarakat merasa dekat dengan seni tradisi. Mereka merasa ikut membuat, memelihara, mendukung kehidupannya, kemudian banyak anggota masyarakat merasa tahu tentang seni tradisi, walaupun diluar wilayah budayanya. Dengan demikian mereka berhak untuk menggunakannya, mengubahnya dan bahkan juga membuangnya jika sekiranya tidak diperlukan lagi (Supanggah, 1994: 3-5). Hal ini yang kadang menjadi masalah besar dan sering kita hadapi dalam pekerjaan kita sehari hari.
Fungsi
Dilihat dari fungsinya, menurut Humardani (tanpa tahun),  seni dapat dibagi menjadi dua yaitu; fungsi primer dan fungsi sekunder (Hoemardani, tanpa tahun: 2-9).

1. Fungsi Primer:
Seni sebagai hayatan secara "umum", artinya peristiwa kesenian itu terjadi dalam wadah kesenian itu sendiri. Dalam hal ini peristiwa kesenian merupakan proses terjadinya komunikasi antara isi yang tertuang di dalam karya seni dengan kemampuan pengalaman jiwa pada penghayat sehingga melahirkan hayatan yang betul-betul mampu meraih saasaran ke wiiayah nilai-nilai yang berlaku dalam kehidupan manusia berbudaya.

2. Fungsi Skunder
Seni sebagai fungsi sekunder merupakan fungsi tambahan, umpannya sebagai sarana upacara, pendidikan, penerangan, propaganda, hiburan termasuk sebagai barang dagangan sarana investasi dan sebagainya didalamnya termasuk seni wisata.
Jika diskemakan fungsi seni sebagai berikut:



Organization Chart


Kesenian Trdisional di Malang
Menurut pengamatan saya sementara sampai saat ini, kesenian tradisional yang terdapat di Malang, diantaranya adalah:
1.      Kelompok Jaranan, meliputi; Jaran Kepang, Jatilan, Jaranan Jawa/Jaran dor, Reok Ponorogo.
2.      Kelompok Pencak Silat, meliputi; Pencak dor, Pencak obor, Bantengan, Sakerahan.
3.      Kelompok Terbangan, meliputi;  Terbang jidor, Hadrah, Terbang Banjari, solawatan
4.      Kelompok Tari, meliputi; tari Beskalan, tari Rema, tari Topeng, tari Gambyong, Karonsih, Gatutkoco dll.
5.      Kelompok Teater, meliputi; Ludruk, Wayang Topeng, Ketoprak, Wayang Wong, Wayang Kulit (Jawa Tengahan dan Wayang Kulit Malangan),
6.      Kelompok Musik, meliputi; gamelan, Campursari, Kroncong, macapat (Solo, Yogya dan Malangan)

 Model Pelestarian
Di atas telah diuraikan, bahwa sifat kesenian tradisional akan hidup jika didukung oleh masyarakat pemangkunya. Karena kesenian tradisional ini merupakan atribut, sarana ungkapan kejiwaan, komunikasi antar masyarakat dengan anggota masyarakat maupun dengan Tuhannya, menyiratkan nilai nilai yang berlaku dan sifatnya komunal. Maka masyarakat merasa ikut membuat, memelihara, mendukung kehidupannya. Dengan demikian mereka berhak untuk menggunakannya, mengubahnya dan bahkan juga membuangnya jika sekiranya tidak diperlukan lagi.
Maka model pelestarian adalah penularan budaya, yaitu memperkuat akar nilai budaya setempat, sehingga seni diyakini bukan sekedar “tontonan” tetapi juga “tuntunan” terlebih bagi generasi mudanya yang nota bene “jauh” dari tradisi. Lalu bagaimana caranya? Inilah yang perlu kita diskusikan, lalu kita kerjakan bersama!!!!
Yang perlu saya ingatkan, bahwa kondisi sosial Bangsa Indonesia sedang didera kisis mental, moral, dan budaya, di samping krisis ekonomi yang berkepanjangan seperti sekarang ini, apa yang harus kita lakukan, wahai para seniman budayawan? Tak lain dan tak bukan, saatnya kesenian baik dalam bentuk proses maupun produk-produknya dijadikan benteng untuk memperkuat citra diri bangsa sebagai bangsa yang
berbudaya. Namun demikian kita harus berhati-hati sebab dalam pengembangan produk kesenian akan timbul berbagai permasalahan yang antara lain:
1.      Lemahnya Sumber Daya Manusia pelaku kesenian, yang akhirnya membawa pengaruh terhadap kualitas produk kesenian itu sendiri.
2.      Lemahnya perlindungan terhadap karya-karya seni, dalam hal ini terkait dengan Hak Atas Kekayaan Intelektua (HAKI)-nya.
3.      Rendahnya penghargaan terhadap para pelaku seni, khususnya yang terkait dengan standar pemberian kompensasi yang layak serta memadai.
4.      Belum adanya standarisasi proses dan produk kesenian Indonesia, dan beberapa permasalahan lainnya.
5.      Kurang mantapnya kelembagaan yang mendukung kegiatan berkesenian sehingga mengalami banyak kendala di dalam kegiatan pemanfaatan maupun pelestarian (Ardika, 2001: 5-6).
Selagi masih belum tertanganinya berbagai permasalahan di atas secara menyeluruh, berdampak pada maraknya serbuan produk dan pelaku seni mancanegara ke Indonesia, yang dalam jangka panjang akan menjadikan kesenian Indonesia tidak memiliki nilai tambah di dalam negeri sendiri. Serbuan produk-produk mancanegara tersebut tidak mungkin dapat dilarang sebagai akibat dari proses globalisasi, namun perlu dipikirkan upaya untuk memperkecil dan mengurangi tingkat "impor' produk-produk kesenian di Indonesia, salah satunyaadalah melalui produk hukum yaitu undang-undang
kesenian, yang dalam penjabarannya kelak diharapkan mampu memberikan acuan bagi pengembangan Kesenian Indonesia, sekaligus mengurangi masuknya produk-produk kesenian luar negeri.

Pengembangan Seni Tradisional Sebagai Asset Pariwisata
Pariwisata itu ialah segala kegiatan dalam masyarakat yang berhubungan dengan wistawan (Soekadijo 1999: 2). Kata “wisata”, menyangkut pengertian perjalanan sedangkan "pariwisata" menyangkut pengertian perjalanan ditambah dengan unsur jasa atau badan usaha, sementara kepariwisataan tak lain mengandung aspek perjalanan, badan usaha dan fungsi pemerintah (Ardika 1993 : 197). Pariwisata dan kepariwisataan adalah industri modern yang kini berkembang dengan pesat. Perhatian dunia terhadap dunia kepariwisataan sangat besar yang ditandai dengan kemajuan di bidang pembangunan infrastruktur maupun suprastruktur baik di negara-negara maju maupun negara berkembang. Kepariwisatan sebagai komoditas penghasil devisa hampir menjadi andalan setiap negara di dalam meningkatkan income perkapita masyarakat melalui keuntnngan yang bersurnber dari wisatawan lokal (domistik), maupun wisatawan mancanegara (internasional).
Di dalam keterkaitan dan pelayanan jasa pariwisata, koplementaritas dari mobilitas spasial yang meliputi, motif wisata, kebutuhan wisata, atraksi wisata dan jasa wisata berhadapan dengan matra sosial, terutama mengacu kepada peningkatan pelayanan yang sarat dengan berbagai implikasi ekonomis. Faktor ekonomi sangat bahkan merupakan tujuan seperti dikatakan oleh Soekadijo: "Pariwisata adalah suatu gejala social yang sangat kompleks, yang menyangkut manusia seutuhnya dan memiliki berbagai aspek: sosiologis, psikologis, ekonomis, ekoiogis dan sebagainya. Aspek yang mendapat perhatian yang paling besar dan hampir merupakan satu-satunya yang dianggap penting ialah aspek ekonomis (Asita, 2001: 2).
Mengapa Pariwisata? Dalih yang melatar belakangi makin gencarnya program pariwisata ini, adalah ekonomi (peningkatan pemasukan devisa negara dari sektor non migas) adalah merupakan dalih utama. Ada dalih dalih lain, seperti perluasan lapangan kerja, pengenalan budaya bangsa, pelestarian seni tradisi, peningkatan kesejahteraan seniman dan sebagainya. Hal tersebut merupakan langkah yang tepat sekali, terutama apabila dilandasi oleh pemahaman konsep yang tepat dan dapat melakukannya dengan benar. Pengembangan fungsi dengan menjual seni sebagai salah satu aset ke pariwisataan dengan pertimbangan seperti tersebut diatas memang merupakan langkah yang bijaksana. Pertimbangan yang saling menguntungkan. Wisatawan mendapatkan informasi dan suguhan kesenian yang bermutu; kesenian menjadi lebih berkembang, seniman menjadi lebih berkwalitas, kreatif dan punya uang (karena seringnya pentas); hotel, biro perialanan, guide, aurt beberapa sektor lain juga dapat rejeki, Indonesia menjadi terkenal.
Seni wisata,  merupakan seni kemasan khusus yang sifatnya tiruan dari aslinya sehingga sering disalah artikan bahwa seni wisata adalah seni murah dan berkualitas rendah, sudah barang tentu tafsir yang demikian adalah tafsir yang salah. Seni tiruan bukan berarti seni yang tidak berkwalitas, akan tetapi memang murah dalam arti terjangkau untuk ukuran wisatawan namun tetap berpegang pada kualitas yang baik. Karena pada dasarnya seni wisata harus mampu menjadi media informasi dan mempunyai daya tarik sedemikian rupa sehingga layak untuk dijual (Hadi, 2001: 4).
Pengembangan kesenian pariwisata sedapat mungkin mengutamakan keaslian, kekhasan, dan keunikan kesenian daerah dengan cara yang informatif, aktraktif, berdaya pikat tinggi, dan berdaya jangkau segmen pasar yang luas baik untuk pangsa pasar domestic maupun mancanegara, melalui kerja sama atas dasar saling menguntungkan dengan sejumlah pihak yang berkompeten secara bertahap, berkesinambungan, dan terencana sesuai dengan yang diharapkan. Di dalam penyusunan program pengembangan kesenian mutlak diperlukah pertimbangan yang berwawasan ke depan (visioner) mengingat setiap jenis kesenian dalam kontek kepariwisataan termasuk seni pertunjukan masing-masing mempunyai keterbatasan dan kelebihan. Untuk itu perlu kiranya kita cermati dan mempertimbangkan bagaimana mengemasnya, karena apabila melalukan kesalahan akan berakibat fatal.
Soedarsono (1999) menawarkan sebuah teori pengemasan seni wisata, yaitu setidaknya  mempunyai lima ciri: (l) tiruan dari aslinya, (2) lebih singkat dari aslinya. (3) penuh variasi, 4) ditanggalka nilai magis dan sakralnya, (5) murah untuk ukuran nilai uang wisatawan. Dengan mengacu pemikiran tersebut paling tidak dapat membantu menentukan bentuk atau format dalam mengemas seni pertunjukan tradisional menjadi seni wisata.

Jejaring Mitrausaha
Dalam membangun kewirauhaan, disamping produk harus teruji dapat membaca pasar, yang tidak kalah pentingnya adalah membengun jejaring dengan mitra usaha. Karena era kini adalah era komunikasi, maka produsen harus mampu memperluah hubungan dan jejaring dengan siapa saja, konsumen lebih banyak berharap dari informasi, kecuali jika konsumen sudah tahu. Itupun prosentasenya sangat sedikit. Jejaring ini dibutuhkan secara timbal balik diantaranya; seniman dengan kreator, kreator dengan menejer, menejer dengan publik. Maka dibutuhkan kekompakan dan kebersamaan antar seniman, kreator maupun manejer. Seperti semboyan AREMA salam satu jiwa.

  
Rujukan:
Ardika, I Gede, Drs. 2001. Pengembangan dan Pemberbadayaan dakam Konteks Keariwisataan. Kertas kerja Serial Seminar Seni Pertunjukan Indonesia 1998 – 2001, seri VIII, tgl 7 dan 8 Februari 2001 di STSI Surakarta.
Ardika, I Gede, 1993. Kepariwisataan Bali, Rahasia Pembangunan Bali. Jakarta: Harian Suara Karya dan Cita Budaya.
Asita, I Nyoman, MA. 2001. Seni Pertunjukan dan Pariwisata di Bali, Hubungan Pariwisata Bengan Budaya Beserta Aspeknya. Kertas kerja Serial Seminar Seni Pertunjukan Indonesia 1998 – 2001, seri VIII, tgl 7 dan 8 Februari 2001 di STSI Surakarta.
Hadi, Sri, S.Kar. 2001. Mencari Format Seni Pertunjukan Wisata. Kertas kerja Serial Seminar Seni Pertunjukan Indonesia 1998 – 2001, seri VIII, tgl 7 dan 8 Februari 2001 di STSI Surakarta.
Hoemardani, SD. tanpa tahun. Kumpulan Kertas tentang Kesenian. Surakarta: Sub Proyek ASKI Surakarta.
Soedarsono, RM. 1999. Seni Pertunjukan dan Pariwisata. Rangkuman Esai tentang seni pertunjukan Indonesia dan Pariwisata. Yogyakarta: Badan Penerbit ISI Yogyakarta.
Subroto, Edi. 1991. Kreativitas Seni dalam Perguruan Tinggi. Kertas Kerja Pekan Seni Mahasiswa di Surakarta.
Sukadijo, R.G. 1997. Anatomi Pariwisata: Memahami Pariwisata Sebagai “Systemic Linkage”. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Supanggah, Rahayu, Dr. S.Kar. 1994. Seni Tradisi Yang Modern. Kertas Kerja disajikan dalam rangka Pembinaan  Seniman se Jawa Timur th. 1994 di Kabupaten Kediri. Dinas P dan K Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur.
Sutopo, HB. 1991. Pendekatan Kritik Holistik. Kertas Kerja Seminar Metode Penelitian Seni di IKIP Malang, 12 Februari 1991.
Wido, Soerjo Minarto. 2006. Kajian Simbolik Tari Topeng Patih Pada Pertunjukan Dramatari  Wayang Topeng Malang Di Dusun Kedungmonggo Desa Karangpandan Kecamatan Pakisaji Kabupaten Malang . Kertas Kerja Seminar Kajian Seni Pertunjukan di UNNES Semarang, 8 Januari 2006.
Wido, Soerjo Minarto. 2007. Pengetahuan Seni Tari dan Teknik Dasar Menyusun Tari. Malang: Baghastari.



[*] Sebagian isi paper ini pernah disampaikan pada dialog budaya Dinas Parinkom Kota Malang
[†] Drs. Soerjo Wido Minarto, M.Pd adalah dosen Prodi Pendidikan Seni Tari Jur. Seni dan Desain Fak. Sastra Universitas Negeri Malang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar