MEMBANGUN
WIRAUSAHA DALAM KESENIAN TRADISIONAL DI MALANG RAYA[*]
Oleh: Cak Wido[†]
Pocung
Ngelmu iku
Kelakone kanti laku
Lekase lawan kas
Tegese kas nyantosani
Setya bodya pangekesing durangkara
Latar Belakang
Malang
sebagai wilayah geografi, semula adalah satu wilayah administratif, yaitu
Kadipaten Malang yang sekaligus wilayah geografi budaya. Pada perkembangan
terakhir daerah Malang ini dibagi mejadi tiga wilayah administratif, yaitu :
1. Kabupaten Malang
2. Kota Malang
3. Kota Batu
Ketiga wilayah administratif tersebut lazim namai
MALANG RAYA, tetapi masih dalam satu wilayah geografi budaya MALANG. Hal ini
dapat dibuktikan dengan kesamaan perilaku budaya, seperti bahasa, tingkah laku,
logat umum, pakaian dan lain-lain termasuk rumpun keseniannya. Dengan demikian
di dalam teba kesenian Jawa Timur, Malang merupakan suatu kelompok etnis yang
memiliki spesifikasi tersendiri yang tidak dipunyai oleh etnik/daerah
lain. Kehidupan kebudayaan etnik/tradisi
daerah (termasuk seni tradisi) bertahan
dan berkembang karena mendapat dukungan masyarakatnya yang berupa kemampuan
untuk melakukan apresiasi dalam arti penghayatan dengan kesadaran estetiknya
(Sutopo, 1991). Hal ini dapat dipahami
karena budaya khususnya seni tradisi merupakan salah satu bagian esensial dari
presentasi histories akan masa lampau dari kelompok etnik tertentu (Edi
Subroto, 1991:4).
MALANG yang menurut tafsiran sejarah merupakan bekas
kerajaan besar (konon bernama Kajuruhan) dengan peninggalan artefak berupa
candi Badut yang berada di kelurahan Karangbesuki, kecamatan Sukun kota Malang.
Ditinjau dari kondisi empirik (kenyataan yang ada), di kota Malang terdapat akulturasi
tiga etnis besar, yaitu; (a) etnis Jawa tengahan, (b) etnis asli AREMA, (c)
etnis Madura. Disamping ke tiga etnis tersebut, masih ada beberapa etnis lain,
tetapi tidak terlalu memberikan pengaruh secara seknifikan, seperti Cina,
Sunda, Minang dan lain sebagainya. Ketiga etnis (Jawa Tengahan, Arema, Madura)
tersebut memiliki pengaruh terhadap semarak tumbuh dan perkembangan kesenian tradisional
di kota Malang
(Wido, 2006: 2 – 6).
Apakah Seni Itu?
Menurut teori mimesis seni
merupakan salinan atau tiruan alam. Maksudnya, seni adalah usaha untuk menyalin
“alam” ke dalam berbagai macam media. Kesenian yang tertinggi adalah yang
paling setia menyerupai alam (Abdullah, 1981:8).
Sedangkan salah satu pendapat yang cukup populer mengenai pengertian
seni, adalah “seni identik dengan keindahan”. Artinya, seni itu selalu
menampilkan keindahan, atau dengan rumusan lain, keindahan yang dibuat oleh manusia
adalah seni (Aj. Soehardjo, 1990:5).
Alexander Baumgarten, filosof yang hidup pada tahun 1714 sampai dengan
1762, berpendapat bahwa seni adalah keindahan. Ia tidak sependapat jika suatu
karya yang ekspresif itu melahirkan bentuk-bentuk wujud yang bertentangan
dengan rasa kesenangan dan keindahan.
Selanjutnya Benedetto Croce menegaskan bahwa seni adalah intuisi.
Penciptaan keindahan pada hakekatnya adalah proses kejiwaan. Pendapat ini
didukung oleh Ki Hadjar Dewantara yang mengatakan bahwa seni adalah: segala
perbuatan manusia yang timbul dari hidup perasaan yang bersifat indah hingga
dapat menggerakkan jiwa perasaan manusia.
Adapun menurut sastrawan ternama Sutan Takdir Ali Syahbana, seni adalah
penjelmaan riak alur dan gelombang perasaan. Pendapat ini ditegaskan oleh
Marsudi (1975) bahwa seni merupakan gelombang kalbu keindahan untuk memenuhi
kehendak manusia/perwujudan ide.
Di samping beberapa pendapat tersebut di atas,
masih banyak lagi pendapat dari para pakar/ilmuwan mengenai batasan seni
tersebut. Namun uraian tersebut di atas dapat dimengerti bahwa seni setidaknya
mengandung 5 (lima)
unsur, yaitu; karya manusia,
ekspresi/rasa, media, irama/keteraturan dan keindahan. Dengan demikian jika
diringkas, Seni adalah hasil (karya) ekspresi manusia yang diungkapkan
melalui media yang berirama dan indah. Sedangkan konsep keindahan
itu sendiri, adalah: sesuatu yang dapat menimbulkan getaran perasaan,
menikmatkan, menyenangkan, memuaskan, membahagiakan, pada orang lain.
Tradisional
Tradisi (yang melekat pada
seni) sering dihubungkan dengan pengertian adat, yang berkonotasi sesuatu
(peristiwa,kegiatan) yang berlaku berulang ulang, berlangsung sejak waktu yang
relatif lama dengan bentuk yang nyaris tidak berubah. Dengan kata lain, Tradisional adalah “sesuatu” yang berusia
panjang dan ditularkan secara turun temurun (Wido, 2007: 2-3). Maka Seni Tradisional adalah: Seni yang berusia panjang dan ditularkan
secara turun temurun Dari pernyataan tersebut tersirat beberapa unsur
pengertian, yaitu:
a.
Usia.
Seni tradisi biasanya
dilahirkan pada waktu yang relatif tua. Saking tuanya kadang kadang tidak
diketahui lagi kapan, dimana, bagaimana dan oleh siapa seni tersebut
dilahirkan.
b.
Mutu.
Berkaitan dengan usianya
yang relatif tua, kesenian ini mampu bertahan hidup melalui kristalisasi zaman
serta seleksi masyarakat yang ketat. Dengan demikian kesenian ini pada dasarnya
telah teruji mutunya.
c. Komunal.
Kesenian ini lahir
dilingkungan, diseleksi, didukung dan digunakan untuk kepentingan masyarakat
baik untuk keperluan yang berhubungan dengan agama, kepercayaan, upacara adat
dan acara keluarga (sebagai anggota masyarakat). Oleh sebab itu kesenian ini
sifatnya komunal, lebih dari pada individual.
d. Aturan.
Karena sifatnya yang
komunal, setiap warga merasa memiliki, menghidupi, mengubah, mengatur dan
menggunakannya secara bersama. Dengan mufakat (mungkin tidak tertulis maupun
terucap), pengaturan penggunaan ditentukan bersama oleh masyarakat, kesenian
ini tunduk pada aturan aturan tertentu, baik aturan tampil, penggunaan, aturan
estetis, dan sebagainya.
Menurut sifatnya seni tradisi dapat dikelompokkan ke dalam
beberapa genre:
- seni tradisi yang bersifat religius, yaitu seni yang kehadirannya terkait dengan acara religi, keagamaan atau kepercayaan. Seni ini dapat hadir sebagai kelengkapan upacara religi seperti: misa di gereja, mantra atau hymne agama Hindhu atau Budha, seni baca Al Quran, lukisan kaligrafi, lukisan asma’ dan sebagainya, atau dapat berupa sarana dawah atau penyebaran suatu agama/ kepercayaan, atau dapat juga berujud seni yang menyiratkan ajaran moral atau ajaran agama tertentu dan atau membesarkan atau memuja nama Tuhan. Karena sifat, fungsi dan kegunaannya yang demikian, warna atau karakter hiburan dari kesenian dalam jenis seni ini agak dikesampingkan. Kesenian ini pada dasarnya bukan tontonan, atau setidak tidaknya tidak begitu membutuhkan penonton. Yang hadir (menonton) biasanya juga merupakan bagian dari acara tersebut. Beberapa bentuk salawat, gamelan sekaten, wayang Wahyu, gamelan gong gedhe adalah beberapa contoh jenis kesenian dari kelompok ini.
- Seni tradisi yang bersifat kerakyatan. Kesenian ini lebih banyak berfungsi untuk mencukupi kebutuhan hiburan masyarakat (pedesaan, nelayan) disamping berfungsi sebagai kelengkapan upacara keluarga maupun upacara adat atau kegiatan lain yang berkaitan dengan kehidupan sehari hari dari sekelompok masyarakat. Upacara tersebut biasanya berhubungan dengan keselamatan, kesuburan, rejeki, syukuran dari seseorang atau masyarakat, ataupun beberapa hal lainnya yang berhubungan dengan kehidupan pertanian dan atau nelayan/ kelautan. Jenis seni ini memliki ciri spontanitas yang tinggi dan mementingkan kebersamaan. Batas pemain dan penonton sering tidak jelas, dalam arti penonton dapat mengambil bagian (sebagai 'pemain') dalam pertunjukan tersebut. Sehubungan dengan sifatnya yang demikian, kesenian ini tidak mementingkan tehnik seni yang rumit, yang tinggi, aturan yang ketat, kelengkapan (busana, aksesori, setting, dsb) yang remit berharga mahal, dsb. Pesan dan isi teks bertemakan masalah yang dekat dengan kehidupan keseharian mesyarakat pendukungnya, biasanya berceritera tentang dunia pertanian/ nelayan, keadaan lingkungan, persahabatan, pergaulan pria wanita, nasihat untuk berbuat baik disampaikan dengan bahasa dan cara yang sederhana (ngoko), menarik, lucu, langsung dan spontan. Bahkan banyak teks yang dibuat secara sesaat, langsung pada waktu pertunjukan. Ceritera yang dibawakannya juga memilih tema yang dekat dengan kehidupan keseharian, tokohnya akrab dengan masyarakat setempat, seperti legenda daerah, ceritera rakyat, dsb. Contoh: Tayub/tandakan, reog, Ludruk, kentrung, lukisan pemandangan, “lukisan, patung natural sederhana” dsb.
- Seni tradisi yang bersifat Istana/klasik. Belum ada istilah baku (tepat?) untuk menyebut kelompok seni ini. Klasik adalah istilah yang digunakan untuk menyebut jenis kesenian yang relatif tua dan yang memiliki mutu cukup tinggi. Dunia (etno) musikologi sering menyebut jenis seni (musik) ini sebagai music of high culture, - seni (musik) budaya tinggi. Jenis ini merujuk pada kesenian yang hidup, dan berkembang di lingkungan istana, walau mungkin tidak mesti harus dilahirkan di sana. Wayang, karawitan, tari klasik Jawa, adalah beberapa contoh untuk jenis kesenian ini. Kesenian ini (dulunya) selain digunakan sebagai kelengkapan upacara kerajaan dan keluarga raja, sebagai atribut keluarga raja, juga digunakan sebagai sarana pendidikan keluarga, pegawai dan rakyat, terutama untuk keperluan mengagungkan kerajaan. Sifat feodalismenya ini tercermin dalam keremitan (birokrasi) musikalnya, stratifikasi, tatakrama (halus, tenang, lembut, lirih, datar, anti kontras, penggunaan bahasa yang halus dan sopan dsb), hirarki, serta aturan aturan lainnya yang ketat.
Seni tradisi sangat erat hubungannya dengan
masyarakat pemiliknya. Ia merupakan atribut,
sarana ungkapan kejiwaan, komunikasi dari masyarakat kepada anggota
masyarakat lainnya maupun dengan Yang Diatas. Ia juga merupakan lambang dan
menyiratkan nilai nilai yang berlaku, juga merupakan bagian dari kehidupan dan
budaya masyarakat tertentu. Tetapi justru karena sifatnya yang komunal,
masyarakat merasa dekat dengan seni tradisi. Mereka merasa ikut membuat,
memelihara, mendukung kehidupannya, kemudian banyak anggota masyarakat merasa
tahu tentang seni tradisi, walaupun diluar wilayah budayanya. Dengan demikian
mereka berhak untuk menggunakannya, mengubahnya dan bahkan juga membuangnya
jika sekiranya tidak diperlukan lagi (Supanggah, 1994: 3-5). Hal ini yang
kadang menjadi masalah besar dan sering kita hadapi dalam pekerjaan kita sehari
hari.
Fungsi
Dilihat dari fungsinya, menurut Humardani (tanpa
tahun), seni dapat dibagi menjadi dua
yaitu; fungsi primer dan fungsi sekunder (Hoemardani, tanpa tahun: 2-9).
1. Fungsi
Primer:
Seni sebagai hayatan secara "umum", artinya
peristiwa kesenian itu terjadi dalam wadah kesenian itu sendiri. Dalam hal ini
peristiwa kesenian merupakan proses terjadinya komunikasi antara isi yang
tertuang di dalam karya seni dengan kemampuan pengalaman jiwa pada penghayat
sehingga melahirkan hayatan yang betul-betul mampu meraih saasaran ke wiiayah
nilai-nilai yang berlaku dalam kehidupan manusia berbudaya.
2. Fungsi
Skunder
Seni sebagai fungsi sekunder merupakan fungsi
tambahan, umpannya sebagai sarana upacara, pendidikan, penerangan, propaganda,
hiburan termasuk sebagai barang dagangan sarana investasi dan sebagainya
didalamnya termasuk seni wisata.
Jika
diskemakan fungsi seni sebagai berikut:

Kesenian Trdisional di Malang
Menurut
pengamatan saya sementara sampai saat ini, kesenian tradisional yang terdapat
di Malang, diantaranya adalah:
1.
Kelompok Jaranan, meliputi; Jaran Kepang, Jatilan, Jaranan
Jawa/Jaran dor, Reok Ponorogo.
2.
Kelompok Pencak Silat, meliputi; Pencak dor, Pencak obor,
Bantengan, Sakerahan.
3.
Kelompok Terbangan, meliputi; Terbang jidor, Hadrah, Terbang Banjari,
solawatan
4.
Kelompok Tari, meliputi; tari Beskalan, tari Rema, tari Topeng, tari Gambyong,
Karonsih, Gatutkoco dll.
5.
Kelompok Teater, meliputi; Ludruk, Wayang Topeng, Ketoprak, Wayang Wong,
Wayang Kulit (Jawa Tengahan dan Wayang Kulit Malangan),
6.
Kelompok Musik, meliputi; gamelan, Campursari, Kroncong,
macapat (Solo, Yogya dan Malangan)
Model Pelestarian
Di atas
telah diuraikan, bahwa sifat kesenian tradisional akan hidup jika didukung oleh
masyarakat pemangkunya. Karena kesenian tradisional ini merupakan
atribut, sarana ungkapan kejiwaan, komunikasi antar masyarakat dengan anggota
masyarakat maupun dengan Tuhannya, menyiratkan nilai nilai yang berlaku dan
sifatnya komunal. Maka masyarakat merasa ikut membuat, memelihara, mendukung
kehidupannya. Dengan demikian mereka berhak untuk menggunakannya, mengubahnya
dan bahkan juga membuangnya jika sekiranya tidak diperlukan lagi.
Maka model pelestarian adalah penularan budaya, yaitu memperkuat akar
nilai budaya setempat, sehingga seni diyakini bukan sekedar “tontonan”
tetapi juga “tuntunan” terlebih bagi generasi mudanya yang nota bene “jauh” dari tradisi. Lalu
bagaimana caranya? Inilah yang perlu kita diskusikan, lalu kita kerjakan bersama!!!!
Yang perlu saya ingatkan, bahwa kondisi sosial Bangsa Indonesia sedang
didera kisis mental, moral, dan budaya, di samping krisis ekonomi yang
berkepanjangan seperti sekarang ini, apa yang harus kita lakukan, wahai para
seniman budayawan? Tak lain dan tak bukan, saatnya kesenian baik dalam bentuk
proses maupun produk-produknya dijadikan benteng untuk memperkuat citra diri
bangsa sebagai bangsa yang
berbudaya.
Namun demikian kita harus berhati-hati sebab dalam pengembangan produk kesenian
akan timbul berbagai permasalahan yang antara lain:
1.
Lemahnya
Sumber Daya Manusia pelaku kesenian, yang akhirnya membawa pengaruh terhadap
kualitas produk kesenian itu sendiri.
2.
Lemahnya
perlindungan terhadap karya-karya seni, dalam hal ini terkait dengan Hak Atas
Kekayaan Intelektua (HAKI)-nya.
3.
Rendahnya
penghargaan terhadap para pelaku seni, khususnya yang terkait dengan standar
pemberian kompensasi yang layak serta memadai.
4.
Belum
adanya standarisasi proses dan produk kesenian Indonesia, dan beberapa
permasalahan lainnya.
5.
Kurang
mantapnya kelembagaan yang mendukung kegiatan berkesenian sehingga mengalami
banyak kendala di dalam kegiatan pemanfaatan maupun pelestarian (Ardika, 2001:
5-6).
Selagi masih belum
tertanganinya berbagai permasalahan di atas secara menyeluruh, berdampak pada maraknya
serbuan produk dan pelaku seni mancanegara ke Indonesia, yang dalam jangka
panjang akan menjadikan kesenian Indonesia tidak memiliki nilai tambah di dalam
negeri sendiri. Serbuan produk-produk mancanegara tersebut tidak mungkin dapat
dilarang sebagai akibat dari proses globalisasi, namun perlu dipikirkan upaya
untuk memperkecil dan mengurangi tingkat "impor' produk-produk kesenian di
Indonesia,
salah satunyaadalah melalui produk hukum yaitu undang-undang
kesenian, yang dalam
penjabarannya kelak diharapkan mampu memberikan acuan bagi pengembangan
Kesenian Indonesia,
sekaligus mengurangi masuknya produk-produk kesenian luar negeri.
Pengembangan
Seni Tradisional Sebagai Asset Pariwisata
Pariwisata itu ialah segala kegiatan dalam
masyarakat yang berhubungan dengan wistawan (Soekadijo 1999: 2). Kata “wisata”,
menyangkut pengertian perjalanan sedangkan "pariwisata" menyangkut
pengertian perjalanan ditambah dengan unsur jasa atau badan usaha, sementara
kepariwisataan tak lain mengandung aspek perjalanan, badan usaha dan fungsi
pemerintah (Ardika 1993 : 197). Pariwisata dan kepariwisataan adalah industri
modern yang kini berkembang dengan pesat. Perhatian dunia terhadap dunia
kepariwisataan sangat besar yang ditandai dengan kemajuan di bidang pembangunan
infrastruktur maupun suprastruktur baik di negara-negara maju maupun negara
berkembang. Kepariwisatan sebagai komoditas penghasil devisa hampir menjadi
andalan setiap negara di dalam meningkatkan income perkapita masyarakat melalui
keuntnngan yang bersurnber dari wisatawan lokal (domistik), maupun wisatawan
mancanegara (internasional).
Di dalam keterkaitan dan pelayanan jasa
pariwisata, koplementaritas dari mobilitas spasial yang meliputi, motif wisata,
kebutuhan wisata, atraksi wisata dan jasa wisata berhadapan dengan matra
sosial, terutama mengacu kepada peningkatan pelayanan yang sarat dengan
berbagai implikasi ekonomis. Faktor ekonomi sangat bahkan merupakan tujuan
seperti dikatakan oleh Soekadijo: "Pariwisata adalah suatu gejala social
yang sangat kompleks, yang menyangkut manusia seutuhnya dan memiliki berbagai
aspek: sosiologis, psikologis, ekonomis, ekoiogis dan sebagainya. Aspek yang
mendapat perhatian yang paling besar dan hampir merupakan satu-satunya yang
dianggap penting ialah aspek ekonomis (Asita, 2001: 2).
Mengapa Pariwisata? Dalih yang melatar belakangi makin
gencarnya program pariwisata ini, adalah ekonomi
(peningkatan pemasukan devisa negara dari sektor non migas) adalah merupakan
dalih utama. Ada dalih dalih lain, seperti perluasan lapangan kerja, pengenalan
budaya bangsa, pelestarian seni tradisi, peningkatan kesejahteraan seniman dan
sebagainya. Hal tersebut merupakan langkah yang tepat sekali, terutama apabila
dilandasi oleh pemahaman konsep yang tepat dan dapat melakukannya dengan benar.
Pengembangan fungsi dengan menjual seni sebagai salah satu aset ke pariwisataan
dengan pertimbangan seperti tersebut diatas memang merupakan langkah yang
bijaksana. Pertimbangan yang saling menguntungkan. Wisatawan mendapatkan
informasi dan suguhan kesenian yang bermutu; kesenian menjadi lebih berkembang,
seniman menjadi lebih berkwalitas, kreatif dan punya uang (karena seringnya
pentas); hotel, biro perialanan, guide, aurt beberapa sektor lain juga dapat
rejeki, Indonesia menjadi terkenal.
Seni wisata,
merupakan seni kemasan khusus yang sifatnya tiruan dari aslinya sehingga
sering disalah artikan bahwa seni wisata adalah seni murah dan berkualitas
rendah, sudah barang tentu tafsir yang demikian adalah tafsir yang salah. Seni
tiruan bukan berarti seni yang tidak berkwalitas, akan tetapi memang murah
dalam arti terjangkau untuk ukuran wisatawan namun tetap berpegang pada
kualitas yang baik. Karena pada dasarnya seni wisata harus mampu menjadi media
informasi dan mempunyai daya tarik sedemikian rupa sehingga layak untuk dijual
(Hadi, 2001: 4).
Pengembangan kesenian pariwisata sedapat mungkin
mengutamakan keaslian, kekhasan, dan
keunikan kesenian daerah dengan cara
yang informatif, aktraktif, berdaya pikat tinggi, dan berdaya jangkau segmen pasar yang luas
baik untuk pangsa pasar domestic maupun mancanegara, melalui kerja sama atas
dasar saling menguntungkan dengan sejumlah pihak yang berkompeten secara
bertahap, berkesinambungan, dan terencana sesuai dengan yang diharapkan. Di
dalam penyusunan program pengembangan kesenian mutlak diperlukah pertimbangan
yang berwawasan ke depan (visioner)
mengingat setiap jenis kesenian dalam kontek kepariwisataan termasuk seni
pertunjukan masing-masing mempunyai keterbatasan dan kelebihan. Untuk itu perlu
kiranya kita cermati dan mempertimbangkan bagaimana mengemasnya, karena apabila
melalukan kesalahan akan berakibat fatal.
Soedarsono (1999) menawarkan sebuah teori
pengemasan seni wisata, yaitu setidaknya
mempunyai lima ciri: (l) tiruan dari aslinya, (2) lebih singkat dari
aslinya. (3) penuh variasi, 4) ditanggalka nilai magis dan sakralnya, (5) murah
untuk ukuran nilai uang wisatawan. Dengan mengacu pemikiran tersebut paling
tidak dapat membantu menentukan bentuk atau format dalam mengemas seni
pertunjukan tradisional menjadi seni wisata.
Jejaring Mitrausaha
Dalam membangun kewirauhaan, disamping produk
harus teruji dapat membaca pasar, yang tidak kalah pentingnya adalah membengun
jejaring dengan mitra usaha. Karena era kini adalah era komunikasi, maka
produsen harus mampu memperluah hubungan dan jejaring dengan siapa saja,
konsumen lebih banyak berharap dari informasi, kecuali jika konsumen sudah
tahu. Itupun prosentasenya sangat sedikit. Jejaring ini dibutuhkan secara timbal
balik diantaranya; seniman dengan kreator, kreator dengan menejer, menejer
dengan publik. Maka dibutuhkan kekompakan dan kebersamaan antar seniman,
kreator maupun manejer. Seperti semboyan AREMA salam satu jiwa.
Rujukan:
Ardika,
I Gede, Drs. 2001. Pengembangan dan
Pemberbadayaan dakam Konteks Keariwisataan. Kertas kerja Serial Seminar
Seni Pertunjukan Indonesia 1998 – 2001, seri VIII, tgl 7 dan 8 Februari 2001 di
STSI Surakarta.
Ardika,
I Gede, 1993. Kepariwisataan
Bali, Rahasia Pembangunan Bali. Jakarta: Harian Suara Karya dan Cita
Budaya.
Asita,
I Nyoman, MA. 2001. Seni Pertunjukan dan
Pariwisata di Bali, Hubungan Pariwisata Bengan Budaya Beserta Aspeknya.
Kertas kerja Serial Seminar Seni Pertunjukan Indonesia 1998 – 2001, seri VIII,
tgl 7 dan 8 Februari 2001 di STSI Surakarta.
Hadi,
Sri, S.Kar. 2001. Mencari Format
Seni Pertunjukan Wisata. Kertas kerja Serial Seminar Seni
Pertunjukan Indonesia 1998 – 2001, seri VIII, tgl 7 dan 8 Februari 2001 di STSI
Surakarta.
Hoemardani,
SD. tanpa tahun. Kumpulan Kertas tentang
Kesenian. Surakarta: Sub Proyek ASKI Surakarta.
Soedarsono,
RM. 1999. Seni Pertunjukan dan
Pariwisata. Rangkuman Esai tentang seni pertunjukan Indonesia dan
Pariwisata. Yogyakarta: Badan Penerbit ISI Yogyakarta.
Subroto,
Edi. 1991. Kreativitas Seni dalam
Perguruan Tinggi. Kertas Kerja Pekan Seni Mahasiswa di Surakarta.
Sukadijo,
R.G. 1997. Anatomi Pariwisata: Memahami
Pariwisata Sebagai “Systemic Linkage”. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Supanggah,
Rahayu, Dr. S.Kar. 1994. Seni Tradisi
Yang Modern. Kertas Kerja disajikan dalam rangka Pembinaan Seniman se Jawa Timur th. 1994 di Kabupaten
Kediri. Dinas P dan K Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur.
Sutopo, HB. 1991. Pendekatan Kritik Holistik. Kertas Kerja Seminar Metode Penelitian
Seni di IKIP Malang, 12 Februari 1991.
Wido, Soerjo Minarto. 2006. Kajian Simbolik Tari Topeng Patih Pada Pertunjukan Dramatari Wayang Topeng Malang Di Dusun Kedungmonggo
Desa Karangpandan Kecamatan Pakisaji Kabupaten Malang . Kertas Kerja
Seminar Kajian Seni Pertunjukan di UNNES Semarang, 8 Januari 2006.
Wido, Soerjo Minarto. 2007. Pengetahuan Seni Tari dan Teknik Dasar
Menyusun Tari. Malang:
Baghastari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar