Selasa, 28 Januari 2014

Topeng Malang



TARI TOPENG PATIH PADA PRTUNJUKAN WAYANG TOPENG MALANG, MERUPAKAN SIMBOL SANGKAN PARAN

Oleh: Soerjo WidoMinarto dan R.M. Soedarsono[1]
Pertunjukan Dramatari Wayang Topeng Malang merupakan seni pertunjukan tradisional kerakyatan di daerah Malang. Kesenian ini diyakini oleh masyarakat Malang sebagai kelanjutan dari pertunjukan Topeng pada kerajaan Majapahit yang sangat popular mada masa Pemerintahan Raja Hayamwuruk yang dibuktikan dengan tulisan berjudul: Desawarnana atau popular Negara Kretagama oleh Mpu Prapanca (Pegeaud 1960). Tari Topeng Patih merupakan tarian pembuka yang tidak terkait dengan cerita dalam Wayang Topeng, namun keberadaannya mutlak harus ada. Hal ini disebabkan tarian ini merupakan symbol sangkan paran dalam kehidupan jagad Wayang Topeng yang merefleksikan kehidupan manusia dalam jagad gumelar.

Latar Belakang
Bunyi alunan musik tradisional Jawa yang lazim disebut gamelan telah menggema sekitar pukul delapan malam. Musik yang dibunyikan bertalu-talu tersebut dalam jagad pewayangan disebut gending talu[2] tanpa nyanyian (vocal) penyanyi atau sinden, dalam jagad Wayang Topeng lazim dinamakan gending giro[3]. Alunan bunyi gending-gending giro ini dilakukan selama kurang lebih satu jam, yang menampilkan sediktinya empat gending atau lagu, yaitu gending Eling-eling, Krangean/Sapujagad, Loro-loro dan diakhiri dengan gending Gondel. Madyaoutomo menjelaskan, bahwa gending-gending giro ini merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh panjak[4] atau pengrawit. Karena gending giro ini berfungsi untuk mengundang penonton, maka gending atau lagu yang dibunyikan merupakan suatu tanda atau simbol yang berisi pengharapan. Misalnya gending Eling-eling (artinya mengingat-ingat), merupakan simbol pengharapan agar masyarakat tidak lupa bahwa hari ini di tempat ini ada pertunjukan Wayang Topeng. Pada pergelaran siang hari, salah satu gending giro yang dibunyikan adalah gending Gagak ngarak. Gending inipun merupakan simbul pengharapan, agar tamu yang datang seperti karak-karakan maksudnya, tamu yang datang ke tempat hajadan tersebut amat banyak seperti karnaval (Madyoutomo: wawancara 12 Oktober 2006).
Di sisi lain, di dalam ruang persiapan atau ruang ganti yang sering disebut rombongan atau krombongan, semenjak gending giro pertama dibunyikan, dalang melakukan ritual dengan peralatan sajen (sesajian). Isi sesajian tersebut berupa nasi dengan lauk pauknya, gedang setangkep (dua sisir pisang), telor ayam, tape ketan hitam, jajan pasar (kue khas di pasar Jawa), sebutir kelapa beserta tempurungnya, tembakau, rokok klobot (rokok yang terbuat dari tembakau yang dibungkus kulit jagung), kendi (moci terbuat dari gerabah) berisi air putih dan sebatang dupa Cina (yuswa/hio), serta semua topeng yang akan dimainkan ditata di atas meja.  Dalang membakar kemenyan sambil membaca mantera yang ditujukan kepada makhluk halus penguasa desa yang sering disebut sing mbau reksa desa untuk meminta ijin serta membantu menyelamatkan hajad ini dari gangguan roh jahat pengganggu desa. Disamping itu juga ditujukan kepada yang punya hajad, yang main, yang nonton serta seluruh desa dimintakan selamat kepada Tuhan, agar tidak terjadi gangguan yang berarti, slamet gak ana apa-apa. Ritual ini menunjukkan hubungan transcendental antara dalang, mbahureksa desa (“roh moyang” yang menjaga dan menguasai desa), pemain Wayang Topeng (anak wayang, pengrawit, sinden dan pekerja panggung), rumah hajadan (yang punya hajad, biyada/sinoman [pembantu hajadan]) dan penonton termasuk masyarakat penduduk desa.
Mbahu reksa desa
(roh moyang)


 



Pemain Wayang Topeng                                                      Rumah hajadan



Penonton/masyarakat desa

Gambar 1: Hubungan transendental Dalang, mbahureksa, pemain, rumah          
                hajadan dan masyarakat
Dalam ritual tersebut, dalang juga memberikan penghormatan terhadap topeng yang akan dikenakan pemain. Masing topeng yang menjadi tokoh dalam cerita, seperti topeng Panji, topeng Kala, topeng sekartaji, Gunungsari, raksasa dan lain sebagainya dikutugi (diasapi dengan asap kemenyan). Khusus topeng Bahtara Kala (raja raksasa, dan segala makhluk halus yang jahat) dimantrai dan ditimang secara khusus dan lebih lama dari topeng yang lain. Menurut dalang Kik Soleh Adipramono, Bathara Kala adalah raja dari segala kejahatan yang tinggal di alam bekasaan[5], maka secara khusus diwanti-wanti (dipesan secara intensif) agar tidak mengganggu semua yang terlibat dalam kegiatan ini, bahkan diminta supaya membantu mengerahkan semua anak buahnya (jim, setan, ilu-ilu, banaspati) untuk bersukaria di sini. Ritual ini sebenarnya secara hakiki memelihara hubungan kehidupan antar alam, agar dapat saling hidup berdampingan, saling menjaga, agar diperoleh kehidupan yang keharmonisan (urip ayem tentrem).
Dalang
Alam inggil


 
Rumah hajadan dan masyarakat
Alam madya


 


Bathara Kala CS
Alam asor
Gambar 2: Hubungan timbal balik antara tiga alam
Setelah gending giro yang terakhir selesai, maka para panjak istirahat sejenak, tidak lama kemudian sinden (vocal wanita) memasuki arena gamelan dan biasanya disusul oleh dalang. Setelah istirahat dianggap cukup dan kesepakatan sudah dicapai, maka panjak bonang (salah satu alat musik tradisional Jawa) memberikan instruksi kepada para panjak dengan membunyikan instrument bonang sejenak, lazim disebut grambyangan. Kemudian pembonang memberikan aba-aba atau introduksi untuk membunyikan gending Beskalan, berikutnya disahut tepakan kendang, selanjutnya diikuti secara serentak instrumen gamelan lainnya.
 Sesaat gending Beskalan berbunyi, dalang membunyikan crecek atau kepyak[6]. Kemudian muncul dua orang penari yang mengenakan topeng “lucu” dan berpakaian sederhana, berikat kepala (udeng), terkadang menggunakan baju rompi, terkadang tidak berbaju, bercelana panjang sebatas sedikit di bawah lutut dan mengenakan kain panjang bentuk dasen (dibagian depan dilipat seperti dasi). Penari ini dinamakan ”demang” atau pembantu. Kedua demang ini menurut Karimoen bernama demang Mones dan demang Mundu. Mereka menari sejenak dengan iringan musik yang berirama sedikit lambat. Sejenak kemudian bunyi kendang memberikan tanda untuk mengajak mempercepat irama dengan volume sedikit lebih keras, lalu kelambu[7] back ground panggung digoyang-goyangkan oleh penari yang masih berada di dalam sambil membunyikan gongseng atau krincing (untaian genta kecil) yang dililitkan pada kaki kanan, seirama dengan irama kandang. Kelambu ini sekaligus berfungsi sabagai pintu keluar masuknya penari dari ruang ‘dalam’ (ruang rias/ganti busana) menuju arena pergelaran. Suara gongseng tersebut sangaja jelas terdengar dari balik kelambu, yang dibunyikan oleh dua orang penari yang mengawali pertunjukan Wayang Topeng Malang, khususnya Wayang Topeng Kedungmonggo, Jatiguwi dan Jambuwer, yaitu tari Patih. Setelah itu muncul seorang penari yang menggunakan topeng berwarna putih, lalu disusul penari yang menggunakan topeng berwarna merah. Bentuk dan karakter kedua topeng tersebut sama, hanya dibedakan dengan warna saja. Secara fisik, kedua penari tersebut relatif kembar, baik dari segi tata busana, tata gerak, karakter, warna busana, kecuali warna topengnya.
Menurut Karimoen, tari Topeng Patih ini dilakukan dalam berpasangan dua orang atau empat orang. Setiap pasang menggunakan bentuk topeng yang sama karakternya tetapi berbeda warnanya. Satu menggunakan topeng warna merah dan yang lain menggunakan topeng warna putih. Istilah ‘Patih’ lazimnya adalah ‘tangan kanan’ atau wakil raja. Namun istilah patih pada tari Topeng Patih ini tidak ada sangkut pautnya dengan raja atau kerajaan. Karimoen menjelaskan perihal bentuk fisik topeng patih, yang menurut tradisi dari ayahnya (Kiman), bahkan kakeknya (Serun). Penjelasan Karimoen sebagai berikut:
Lek nurut aturane Bapak biyen, Tari Patih ndisiki lakon dadi mesti ndik ngarep dewe. Tariane pasang-pasangan, lek gak loro ya papat apa enem. Biyen topeng sing digawe wernane abang karo putih. Sebab werna abang iku asale teka ibu lan putih iku asale teka bapak. Tapi saiki topeng sing abang jarang digawe mbuh apa sebabe, kelalen leke. Tapi lek wis dielingna ngene ya kudu digawe karo-karone. Dadi tari Patih iki nggambarna asal usule kedadeyane manungsa, asale teka campurane werna abang (saka ibu) lan werna putih (saka bapak).

Jika menurut aturan Bapak dahulu, Tari Patih itu mendahului cerita, maka selalu berada diwal pertunjukan. Tariannya selalu dilakukan secara berpasangan, bisa dua, empat, enam, dan seterusnya. Dulu warna topeng yang dikenakan selalu merah dan putih. Sebab merah itu dari Ibu dan putih itu dari Bapak. Tari Beskalan Patih ini melambangkan asal mulanya kejadian manusia. Tetapi sekarang topeng yang berwarna merah jarang digunakan, nggak tahu apa sebabnya, mungkin kelupaan. Tetapi jika sudah diingatkan seperti ini ya harus digunakan dua-duanya. Jadi tari Beskalan Patih itu menggambarkan kejadian manusia, asalnya dari campuran warna abang (dari Ibu) dan putih (dari Bapak).

(wawancara dengan Karimun, tgl. 2 Juli 2006, di rumahnya Jl. Prajurit Slamet Kedungmonggo Pakisaji, Kabupaten Malang. Penjelasan ini dilakukan berulang-ulang setiap wawancara, sejak tahun 1992, jawabannya tetap seperti tersebut).
Keterangan tersebut memang baru terkuak pada tahun 1993, artinya sebelum itu genarasi di bawah Karimoen tidak memahami makna bahkan pengertian nama tari Patih tersebut. Umumnya masyarakat melihat tari topeng Patih sekedar sebagai pembukaan pertunjukan Wayang Topeng. Dengan demikian jika tari Patih sudah keluar, penonton sudah mulai bersiap-siap mencari tempat duduk yang enak untuk mengikuti jalannya pertunjukan Wayang Topeng. Ketika peneliti melakukan penelitian tentang tari Beskalan Lanang, pada tahun 1992/1993, berkali-kali mendatangi narasumber Wayang Topeng khusunya Karimoen tokoh Wayang Topeng Kedungmonggo. Sampai kurang lebih tujuh bulan, masih belum didapatkan titik terang tentang makna dan pengertian tari Patih tersebut. Jika ditanyakan tentang pengertian tari Patih, karimun kelihatan kebingungan untuk menjelaskan. Ia menjawab:
Iya ya le, tari patih iku patihe sapa ya?! Soale tari patih iki gak duwe raja, ya gak duwe panggonan praja. Mongko patih iku kudune wakile raja. Kok dijenengna Patih apaa ya? (Karimun: dokumen wawancara, 26 Juni 1993).

Iya ya nak, tari patih itu patih (nya) siapa ya? Masalahnya, tari patih itu tidak mempunyai raja, ya tidak memiliki wilayah kerajaan. Padahal patih itu seharusnya wakil raja. Kenapa dinamakan Patih ya?!!    

Sampai pada suatu ketika, peneliti mengambil pesanan topeng pada Karimoen yang dijanjikan selesai hari itu, 8 September 1993, sore hari. Secara santai karimoen bercerita tentang urut-urutan pergelaran Wayang Topeng ketika ayahnya (Kiman) memimpin dan menyutradarai pertunjukan Wayang Topeng Kedungmonggo. Menurut tata aturan pertunjukan Wayang Topeng yang dipimpin oleh Kiman dulu adalah seperti yang dituturkan oleh karimoen, sebagai berikut:
Lek urutane main biyen nurut bapak, iku ngene: sakmarine giro, terus tari Patih. Maringono jejer sabrang, jogedan Klana, terus grebeg sabrang. Mari iku seligan tari Bapang. Marine Bapang terus jejer  2, isa jejer padepokan utawa jejer Jawa, praja Kediri utawa Jenggala. Lek jejer Jawa diterusna Grebeg Jawa, tapi lek pertapan ya gak. Maringono terus perang sore antarane bala sabrang karo prajurit Jawa. Maringono adegan Gunungsari Patrajaya, iki guyonane dalang karo Patrajaya, ndik kene isa njaluk lagu-lagu. Marine adegan Gunungsari Patrajaya terus perang pungkasan, perange Klana musuh Gunungsari, menang Gunungsari, Klana diuncalna diguwak, terus jejer pungkasan entek wis (Karimoen: dokumen wawancara 8 September 1993).

Menurut Bapak dulu, urutan pergelaran, sebagai berikut: setelah giro, terus tari Patih, kemudian jejer sabrang, tarian Klana, kemudian dilanjutkan grebeg (barisan prajurit) sabrang. Setelah itu selingan tari Bapang kemudian dilanjutkan dengan jejer 2, bisa padepokan (adegan pendeta) atau jejer Jawa, yaitu kerajaan Kediri atau Jenggala. Jika jejer Jawa dilanjutkan grebeg (barisan prajurit) Jawa. Kemudian adegan Gunungsari Patrajaya. Ini saat lawakan antara dalang dengan Patrajaya dan dapat minta lagu-lagu. Setelah
itu perang terakhir antara Klana melawan Gunungsari yang dimenangkan oleh Gunungsari, Klana dilempar[8] terus jejer terakhir (penutup), habis.

Berikutnya Karimoen menjelaskan tentang bentuk dan struktur tari Patih sesuai dengan aturan yang diberikan oleh Kiman (ayahnya). Semenjak itu (tahun 1994), maka masyarakat memahami tentang nama tari Patih,  bahwa istilah “patih” disini berasal dari warna topeng yang dikenakan penarinya. Masyarakat menyebutnya tari Bangtih. Lama kelamaan istilah bangtih ini lentur menjadi patih karena dianggap lebih mudah pengucapannya dan enak didengar serta diasumsikan memiliki prestise karena patih adalah wakil raja. Dengan demikian sampai sekarang istilah tari topeng Bangtih menjadi tari Topeng Patih (Wido 1994: 71).                                                                                                                                                                                                                                                             
Tarian ini sekalipun lepas dari ceritera, namun penampilannya merupakan keharusan dalam serangkaian pertunjukan Wayang Topeng Malang. Sebab kehadiran tarian ini sangat dibutuhkan baik secara struktur maupun makna. Secara struktur, tari Topeng Patih ini merupakan gabungan dari seluruh gerak baku (dasar) (Chattam: wawancara 19 Februari 2007). Sedangkan secara makna merupakan simbul dari kejadian manusia atau lambang sangkan paraning dumadi (Bachtiar. 1983).
Simbol-simbol sangkan paran pada seni pertunjukan tradisional yang identik dengan tari topeng Bangtih atau topeng Patih ini, terdapat pula pada pertunjukan Wayang Topeng Sumenep Madura. Tari pembukanya dinamakan tari Kelana Tunjung Seta. Menurut Masruna (65th) anak Supakra (almarhum) pimpinan Wayang Topeng Margi Rahayu, Kelana artinya sesuatu yang abstrak, tidak berjalan dan tidak berhenti, ada tetapi tidak ada. Sesuatu yang tidak bisa dilihat, diraba, didengar, tetapi bisa dirasakan. Sedangkan tunjung adalah nama bunga yang berwarna merah dan seta artinya putih. Dengan demikian, Kelana Tunjung Seta memiliki pengertian sesuatu yang mengawali, mengadakan kehidupan di jagad raya (jagad pewayangan topeng) melalui bersatunya tunjung dan seta atau merah dan putih (Masruna: dialog Wayang Topeng dan kesenian Madura, tgl. 15 Februari 2002 di Sumenep). Lebih lanjut Masruna menjelaskan, bahwa bersatunya tunjung dan seta atau merah dan putih, merupakan hukum alam sebagai kodrat Ilahi, seperti adanya laki-laki dan wanita, baik dan buruk, siang dan malam, kesemuanya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Dengan demikian perpaduan dua warna merah dan putih ini merupakan simbol sangkan paran seperti halnya topeng Bangtih.
Tarian yang mengawali suatu pertunjukan tradisional khususnya di Jawa, nampaknya memang dibutuhkan sebagai ritual penghormatan kepada penonton berupa ucapan selamat datang. Disamping itu merupakan tanda bahwa cerita dalam pertunjukan tersebut akan dimulai. Tarian ini terdapat pada seni pertunjukan tradisional hampir di semua wilayah khususnya Jawa, seperti tari Beskalan putri dari Malang, tari topeng Getak, tari Kelana Tunjungseta dari Madura, tari Klana dari Jombang, tari Rema dan tari Patih.
Dapat dicontohkan, tari Rema yang merupakan tari pembukaan pada pertunjukan Ludruk di Jawa Timur. Tarian ini merupakan tarian tunggal yang memiliki latar belakang ritual yang sangat dalam. Kelahiran tarian ini sejajar dengan kelahiran pertunjukan Ludruk itu sendiri, yang diawali dengan pertunjukan Lerok Besut.
Pelaku utama Lerok Besut di dalam teater ludruk pada tahun 1920-an ditandai dengan tradisi busana/kostum yang tetap yaitu Besut berkopyah/songkok merah Turki, bercelana hitam (saten hitam), tanpa baju atau berbaju putih, dan mengenakan kain penutup badan (bebed, Jawa) warna putih. Karena lahirnya pertunjukan Lerok Besut pada masa pergerakan nasional melawan penjajah Belanda. Maka rasa nasionalisme sangat tinggi. Maka Besut identik dengan merah putih.
Ketika Besut naik pentas dengan wajah ditutup mengucapkan mantra mengumumkan maksud pengundang (misalnya selamatan pesta penganten pesta sunatan atau melepas kaul). Besut kemudian melakukan penghormatan ke empat arah mata angin, setelah itu membuka penutup matanya dengan melakukan tarian rena-rena (Jawa)/bermacam-macam gaya di atas pentas dilengkapi dengan sesajian/sajen (Jawa).
James L. Peacock, adalah peneliti seni pertunjukan rakyat di Jawa Timur  berpendapat bahwa upacara ritus Besut tersebut dilakukan dengan tujuan untuk menghormati Danhyang. Danhyang ini merupakan kompleksitas kepercayaan orang abangan terhadap animisme yang terpadu dengan tradisi agama Hindu dan Budha (Peacock, 1968:35-36). Clifford Geertz (1983:17-18) berpendapat bahwa upacara ritus dalam bentuk selamatan (slametan: Jawa) bagi orang Jawa abangan adalah usaha untuk membina hubungan yang serasi antara manusia dengan roh moyang di sekitarnya, agar tidak mengganggu orang-orang yang bersangkutan. Selamatan itu dilengkapi dengan sesajian sebab roh moyang ikut memakan bau-bau makanan yang dihidangkan. Keadaan yang didambakan oleh kaum abangan ialah slamet gak ana apa-apa (selamat tidak ada apa-apa), ritus inilah yang oleh Geertz disebut ritus kaum abangan yang menganut agama Jawa, yaitu merupakan perpaduan unsur kepercayaan terhadap animisme, Hinduisme dan Budhaisme.
Harsya Bachtia (1973: 98-118) berpendapat bahwa ritus tersebut sebenarnya merupakan pemujaan terhadap sangkan paraning dumadi (dari mana manusia itu berersal, apa dan siapa dia pada masa kini, dan kearah tujuan hidup mana yang ditujunya). Prinsip kepercayaan ini berkaitan dengan dua konsep religi, yaitu:
a)      konsep mengenai eksistensi dan tempat manusia pada alam semesta beserta  segala isinya dan
b)       konsep segala hal yang berkaitan dengan lingkungan hidup. Bertitik tolak uraian di atas, dapat dipahami bahwa tari Rema yang semula ditarikan tokoh peranan Besut yang menari rena-rena  (bermacan-macam gaya) merupakan suatu ritus terhadap sangkan paraning dumadi, yaitu proses kelahiran menjadi “kehidupan” di dalam pertunjukan dan doa permohonan agar manusia di muka bumi ini selamat. Tari Rema merupakan simbolik harapan secara religi agar seluruh kejadian di atas pentas, baik yang mengundang, yang menonton, yang main semuanya dalam keadaan selamat dan sejehtera.

Anasir Abang Putih (Merah Putih)
Kepercayaan dan penghormatan terhadap warna merah dan putih ini sudah ada semenjak ribuan tahun yang lalu. Menurut catatan Yamin (1954: 17-31), awal mula kepercayaan dan penghormatan kepada warna merah dan putih ini berkisar 6000 tahun yang lalu, adalah pada masa aditya candra, yakni penghormatan kepada aditya (matahari) yang berwarna merah dan candra (rembulan) yang berwarna putih. Adapun cerita tentang mitos dan legenda aditia candara dapat diketahui melalui cerita, dongeng, kepercayaan dan kesusastraan merah putih di seluruh Indonesia. Terutama tentang cerita kelahiran surya candra dapat diperhatikan melalui cerita Panji-Candrakirana yang sudah terkenal berabad-abad lamanya  di Asia Tenggara. Pada pembabakan yang lebih muda, yaitu berkembang sekitar 4000 tahun, berupa kepercayaan warna merah dan putih melalui zat-zat hidup, seperti darah merah dan getah tumbuh-tumbuhan putih. Maka menjadi kata majemuk getih-getah, getah-getih.

1.  Warna Merah
Kata merah dipakai dalam beberapa bahasa sebagai anggota rumpun bahasa Austronesia. Yang menjadi akar kata dari bermacam-macam sebutan seperti merah (Indonesia), sirah (Minangkabau), rara (Toba), magang (Bisaya), ialah ra atau –rah, yang berarti warna darah yang merupakan benda cair dalam batang tubuh manusia. Di bawah ini akan ditinjau lebih lanjut, bahwa warna merah itu barulah pada suatu ketika menjadi kata perbandingan dengan rupa darah, dan pada mula-mulanya kata –rah atau –ra ialah kata perumpamaan bagi pernyataan warna cahaya matahari.
Bagaimana rapinya hubungan antara darah dengan warna merah dapatlah ditinjau dalam bahasa Batak yang memakai dua kata yang berlainan, tetapi hampir sama asal usul akar katanya. Dalam bahasa itu darah dinamai daro, sedangkan rara artinya merah; bandingan kedua kata ini hampir sama dengan kata rata dan datar, yang hampir sama bunyi dan maknanya. Bandingkan pula kata Indonesia sirih (agaknya berasal dari sedeh atau sereh) dengan kata sedah dalam bahasa Jawa. Kata Jawa Kuno sero melahirkan kata suruh (Jawa baru). Adapun nama warna seperti bang dan putih dipakai dalam bahasa Kawi sebagai nama benda atau nama sifat. Keadaan yang sedemikian berlaku pula pada bahasa Toba dengan memakai rara atau marara. Contoh dalam kitab Sutasoma: bang wedihan ira (pakaian merah) atau masemu bang dan hidu bang dalam kitab Bharatayuddha.

2.  Warna Putih
Kata Putih hampir sama bunyinya dengan beberapa bahasa Austronesia, begitu juga dalam bahasa Jawa kuno dan baru. Dalam bahasa Bali kata itu disalin menjadi; petak, tedas, çudhha, putus (suci), dan dhwala. Diberi awalan ma- atau a- kata itu menjadi maputih atau aputih. Keputihan berarti putih menjadi pucat, dalam bahasa Bali: kapungut. Menurut piagam Airlangga, yang disimpan di Kota Kalkuta dan memakai tahun Syaka 963 (T.M. 1041), maka kata putih disalin dengan kata apinghay, sama dengan kata Sansekerta, pandarin. Kata putih dipakai dalam piagam dan dalam beberapa buku Jawa kuno, seperti; Ramayana (II, 2, 16; VII, 32, XVI, 17; XXII, 53); Pararaton (20). Kata petak ialah bentukan krama (bahasa halus) bagi putih dan perkataan itu sama asalnya dengan perkataan perak.
Dalam bahasa Indonesia awalan pu- yang berarti dimuliakan itu hanyalah dipakai pada perkataan pu-tih, tetapi tidak dipakai pada awalan kata –rah yang dimuliakan sebagai getah hidup. Walaupun pada perkataan merah, tidak dipakai awalan honorifik itu, tetapi pada kata pu-tih dan da-rah memang kedua awalan pu- dan da- ialah awalan honorofik. Sebelum bangsa Austronesia bertebaran ke lautan Pasifik memang rupanya sudah ada bentukan pu-rah yang berarti merah, karena sesungguhnya ada beberapa bahasa Austronesia yang mengenal kata itu.
Sungguh amat indah pasangan kedua warna menurut mythology, suryacandra yang diungkapkan dalam cerita Panji menurut kesusastraan Jawa, Kamboja, Siam, dan dalam bahasa Indonesia, bagi daerah Semenanjung, Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan lain-lainnya. Sebenarnya cerita Panji ialah cerita corak dan warna, sedangkan panji sendiri berarti pula bendera. Dalam cerita itu yang dilambangkan menjadi sinar cahaya merah matahari ialah pahlawan Inu Kertapati, putera tanah Koripan, serta yang dilambangkan menjadi sinar putih rembulan ialah puteri Candra Kirana. Cerita Panji tersebut merupakan perpaduan antara dua warna Merah Putih dijadikan bahan pokok cerita, dengan memasukkan beberapa peristiwa sejarah Indonesia sampai jatuhnya kerajaan Majapahit. Beberapa situasi serta para tokoh di dalam cerita itu dihubungkan pula dengan permainan warna cahaya aditiacandra. Hubungan Inu Kertapati dengan Candra Kirana ialah hubungan cinta birahi, dan kedua pahlawan cerita Panji itu merupakan pasangan yang tak dapat dipisah-pisahkan. Keduanya harus menjadi satu kesatuan diantara merah dan putih.
Di dalam kepercayaan Jawa, melalui pewayangan, diyakini bahwa dewa asmara bagi orang Jawa adalah Kamajaya dan dewi Ratih. Kamajaya –Ratih juga merupakan simbol persatuan antara warna merah dan putih. Kamajaya –Ratih merupakan akronim dari kata: kama (sperma) dan jaya (kuat, kukuh),  Ra (merah/abang) dan tih (putih). Maka sperma bisa “jadi” janin jika terjadi percampuran/kesatuan antara ra (merah/abang) yang berasal dari perempuan atau ibu, dan tih (putih) yang berasal dari laki-laki atau bapak.
Dalam persepsi kosmologis Jawa, masyarakat berkeyakinan bahwa sebelum adanya alam semesta terdapat dualisme kosmis, yaitu Shiva dan Shakti atau kutub negatif dan kutub Positif. Penyatuan keduanya akan membentuk alam semesta. Konsep penyatuan tersebut dilambangkan dengan Lingga – Yoni, dimana Lingga melambangkan Shiva dan Yoni melambangkan Shakti. Pada era berikutnya, istilah Shiva dan Sakthi bergeser menjadi Bapa Akasa dan Ibu Bumi. Penggambaran penyatuan kosmis tersebut membangkitkan kembali memori primitif orang yang menyaksikannya ke awal penciptaan alam semesta yang teratur atau Kosmos. Sebelum terbentuknya Kosmos alam semesta ini berupa Khaos atau ketidakteraturan, karena penyatuan suci tersebutlah yang menghasilkan empat anasir alam dan kemudian mendorongkan daya kehidupan  (Jw : Urip) sehingga tercipta keteraturan atau Kosmos (Eliade, 2002: 23-26). Hal tersebutlah yang mengandung nilai sakral, dimana saat pertama kali penyatuan ini diyakini terjadi atas Shiva,  energi maskulin atau positif, dan Shakti, energi feminim atau negatif yang disimbolkan dengan Lingga dan Yoni, atau diwujutkan dalam cahaya putih dan merah. Dengan demikian, bersatunya antara  Shiva dan Shakti atau lingga dan yoni atau putih dan abang, merupakan “awal mula” terjadinya sesuatu termasuk dunia seisinya yang semula “tidak ada” menjadi “ada”, yaitu kehidupan (hurip).
Tari Topeng Patih ini tersebar di seluruh perkumpulan Wayang Topeng Malang khususnya di wilayah Malang Selatan, seperti Jatiguwi, Senggreng, Jambuwer, Kedungmonggo. Sedangkan perkumpulan Wayang Topeng Malang wilayah Timur dan Utara, seperti Jabung, Precet, Glagahdawa, Duwet dan Gubugklakah, kini penampilan tari Patih diganti dengan tari Beskalan atau tari Rema. Menurut beberapa pendapat nara sumber, hal tersebut disebabkan selera penonton lebih suka tari Rema atau Beskalan Putri. Kronologisnya menurut cerita Rasimun (Maestro penari Topeng pada Wayang Topeng Glagahdowo)[9] sebagai berikut, sekitar tahun 1950-an, jika ada tari Rema atau Beskalan, penonton langsung banyak yang datang, dibandingkan dengan pembukaan tari Patih. Semula tari Rema dan Beskalan adalah tari Pembukaan pada pertunjukan Ludruk di Malang. Disamping pertunjukan Wayang Topeng, pertunjukan Ludruk juga sangat popular di kalangan masyarakat Malang, bahkan popularitasnya melebihi pertunjukan Wayang Topeng. Karena masyarakat sangat memahami bahwa salah satu daya tarik pertunjukan Ludruk adalah tarian pembukanya, yakni Rema atau Beskalan, maka pertunjukan Wayang Topeng mencoba memberikan awalan dengan tarian tersebut. Ternyata sangat diterima oleh masyarakat penikmatnya,  maka banyak perkumpulan Wayang Topeng di daerah ini memberikan tari pembukaannya adalah tari Rema atau tari Beskalan.
Perubahan tari pembuka dari tari Patih menjadi tari Rema atau Beskalan ini, bukan semata-mata kehendak penonton pada waktu itu, melainkan juga permintaan tuan rumah yang punya hajad atau penanggap. Lama kelamaan tari Rema dan Beskalan ini menjadi sangat populer sebagai pembukaan Wayang Topeng. Salah satu keistimewaan kedua tarian ini adalah pada tembang Wetanan  (nyanyian tradisional Jawa Timur), yang lazim disebut kidungan. Nyanyian/kidungan ini dilakukan oleh penarinya sendiri pada frase tertentu, yang bentuk syairnya berupa parikan, isinya antara lain doa selamat, pendidikan sosial maupun sindiran-sindiran bagi kehidupan sehari-hari masyarakat setempat.  Karena begitu populernya tari Rema dan Beskalan sebagai tari pembuka pada Wayang Topeng, maka lama kelamaan tari Patih dilupakan. Sampai sekarang perkumpulan Wayang Topeng diwilayah Malang Timur dan utara, tidak lagi menggunakan tari Patih sebagai tarian pembuka.

Karakter Tari Topeng Patih
            Bentuk Topeng yang digunakan pada tari Topeng patih adalah topeng yang berkarakter gagah, serupa tapi berbeda warna. Dengan demikian jika dicermati sebenarnya bentuk kedua topeng tersebut satu yang di ”duakan”. Dengan kata lain, “satu di dalam dua” atau dua sebenarnya satu, dua raga satu jiwa. Perhatikan gambar bentuk topeng Patih di bawah ini;

Gambar 3: Topeng Bang (abang) (fato: Robby)

Warna              : merah                                               Bentuk muka   : bulat telur                                                      Bentuk urna    : permata emas                                                      Bentuk alis      : Blarak sineret                                                      Bentuk mata    : Telongan                                                      Sudut mata      : trate sinigar                                                      Bentuk hidung            : mangot                                                      Bentuk kumis  : ketunggeng ngentup                                                      Bentuk mulut  : mingkem
            
Gambar 4: Topeng Tih (putih)  (fato: Robby)
Warna              : putih                                              Bentuk muka   : bulat telur                                                      Bentuk urna    : permata emas                                                      Bentuk alis      : Blarak sineret                                                      Bentuk mata    : Telongan                                                      Sudut mata      : trate sinigar                                                      Bentuk hidung            : mangot                                                      Bentuk kumis  : ketunggeng ngentup                                                      Bentuk mulut  : mingkem

Jika diperhatikan dari bentuk topeng patih tersebut, maka dapat diketahui bahwa topeng tersebut berkarakter gagah. Namun jika dilihat dari warna topengnya, yaitu yang berwarna merah berkesan gagah kasar (cenderung kepada tokoh sabrang) dan yang berwarna putih berkarakter gagah halus/bijak (cenderung kepada tokoh Jawa). Di dalam hal ini memiliki makna, bahwa di dalam diri manusia selalu terdapat dua sifat yang saling bertentangan, seperti sabar kejam, ramah sombong, jujur curang, taat ingkar, dan sebagainya. Karakter gagah ini terutama dapat diperhatikan dan dilihat dari bentuk mata, hidung, alis mata, dan mulut. Mata telongan yang berbentuk bulat dan berkesan melotot serta ditegaskan dengan alis blarak sineret yang berbulu tebal dan sedikit naik, memberikan kesan maskulin atau kejantanan.

Tata Busana Tari Topeng Patih.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    
Secara prinsip tata busana tari topeng Patih tidak terlalu berbeda dengan busana beberapa tokoh prajurit dalam dramatari Wayang Topeng. Tata busana yang dikenakan oleh dua penari Patih ini sama dan sebangun, kecuali warna topengnya saja yang berbeda, satu menggunakan topeng warna putih dan yang lain menggunakan warna merah, namun demikian  karakter wajahnya sama. Adapun busana yang dikenakan oleh tarian ini adalah:
1)      Bagian atas (hiasan kepala) pada tari Patih perkumpulan Wayang Topeng Kedungmonggo menggunakan jamang gelung yang dihiasi kancing gelung, menunjukkan karakter gagah, sedangkan jamang gelung yang digunakan oleh tokoh Panji dan Gunungsari yang berkarakter halus, tidak menggunakan kancing gelung. Di bagian sisi kiri dan kanan diikatkan roncen koncer, yaitu bunga tiruan yang terbuat dari benang siet yang berwarna-warni dan disusun sedemikian rupa. Sehingga membentuk untaian (roncen) bunga yang berwarna-warni sebagai aksesoris yang sekaligus digunakan properti tari. Adapun tari Topeng Patih yang dilakukan oleh perkumpulan Wayang Topeng Jambuwer,  hiasan kepalanya tidak menggunakan jamang gelung, tetapi menggunakan jamang bledekan.
2)      Bagian belakang kepala menggunakan rambut palsu, bisa menggunakan wig atau udalan. Rambut palsu ini memberikan kesan proporsi yang seimbang, sebab jika tidak menggunakan rambut palsu, maka kepala kesannya memanjang, karena jamang hanya sedikit menumpang di atas kepala, tidak seperti jika menggunakan songkok, udeng atau ikat kepala
3)      Hiasan leher menggunakan kalung kace panjang. Terbuat dari bahan kain beludru hitam yang disulam dengan manik-manik berwarna emas. kace pada busana Wayang Topeng ada simbar bordirnya.
4)      Sebagai properti tari pada lehernya dikalungkan sampur/selendang. Disamping dikalungkan, sampur terkadang ditambahkan dengan diikatkan di bagian sabuk sebagai hiasan, tetapi ini tidak mutlak.
5)      Hiasan tangan, di bagian bahu menggunakan gelang bahu, lazim dinamakan klat bahu. Sedangkan di pergelangan tangan dihiasi pols decker (gelang dari kain yang sewarna dengan rapek maupun celananya).
6)      Bagian bawah mengenakan celana bordir hitam, dengan panjang sedikit di bawah lutut. Celana ini terbuat dari kain beldru yang disulam dengan manik-manik berwarna emas. Secara tradisional, manik-manik ini dinamakan monte dan burci. 
7)      Hiasan penutup bagian depan dan belakang, dinamakan rapek (ada yang menamai sembong). Ada rapek ngarep (depan) dan rapek mburi(belakang) yang pertemuan di kanan dan kiri dilengkapi dengan pedangan sebagai hiasan sekaligus penutup bagian samping. Rapek ini juga terbuat dari kain beludru yang disulam dengan manik-manik berwarna emas.
8)      Untuk mengikat rapek, celana dan pedangan agar rapi digunakan stagen atau centing, yaitu kain pengikat yang lebar kira-kira 20 cm dan panjang 2,5 – 3 meter.
9)      Di bagian punggung penari dihiasi, badong (semacam sayap, Surakarta menamakan praba), sebagai simbol kebesaran/prestice.
10)  Kelengkapan aksesoris manusia Jawa adalah pusaka yang berwujut keris dan dipasang di pinggang sebelah kanan.
11)  Hiasan kaki menggunakan kaos kaki, di pergelangan kaki kanan dipasang gongseng/krincing[10], sebagai penguat daya hidup tarian. Gongseng merupakan salah satu ciri khas tari-tarian tradisional Jawa Timur, khususnya  tari tradisional Malang.  Untuk lebih jelasnya, perhatikan gambar busan tari topeng Patih.
Gambar 5: Tata busana tari Topeng Patih (Foto: Wido)
Bentuk Pemanggungan
Bentuk pemanggungan atau pementasan tari topeng Patih, sama seperti bentuk pemanggungan Wayang Topeng Malang. Menurut penjelasan beberapa informan, seperti Karimoen, Rasimoen (alm), Madyoutomo (alm) dan Munawi, sampai dengan tahun 1960 -1970-an masih sering dipentaskan di plataran, yaitu halaman rumah yang memiliki lahan relative luas. Dalam bentuk pemanggungan seperti ini, penonton secara otomatis membentuk setengah lingkaran. Ruang ganti (rombongan) berada di dalam rumah, yang dibatasi dengan kain (berfungsi sebagai back drop/back ground) dengan arena permainan. sedangkan pengrawit/panjak atau pemusik berada di sisi kiri atau kanan arena permainan.

Rumah

rombongan”/ruang ganti




Penonton

Daerah Permainan
di atas tanah
tanpa panggung
Dalang     pemusik/
Pengrawit

Penonton          

Penonton
Gambar 6: Denah panggung plataran
Semenjak tahun 1970-an, sudah sangat jarang orang mempergelarkan pertunjukan Wayang Topeng di halaman depan rumah dengan bentuk panggung plataran tersebut, akan tetapi pertunjukan Jaran kepang atau kuda lumping masih sering dipertunjukkan. Sedangkan pertunjukan Wayang Topeng selalu menggunakan panggung darurat, lazim masyarakat menamakan genjot[11]  Seperti halnya panggung plataran, genjot juga dibatasi oleh kain yang dipasang dari kiri ke kanan dan dari kanan ke kiri, sehingga membentuk pertemuan di tengah (kupu tarung). Panggung dalam bentuk genjot ini, letak pengrawit/panjak biasanya di sebelah kiri, atau kanan panggung. Namun jika terpaksa bisa diletakkan di depan panggung, atau bahkan di belakang arena permaian.

Ruang rias/ganti atau
Rombongan/krombongan



Penonton


Panggung genjot dengan ukuran tinggi 1 – 1,5 meter, panjang 6 meter dan lebar 4 meter.
Pemusik/
Pengra wit dan dalang.



Penonton
             
             Penonton       









                                                                                           





Gambar 7: Denah Panggung genjot.
panggung dan panjak
Gambar 8: Panggung genjot dengan posisi pengrawit/panjak di sisi kiri, diambil ketika Wayang Topeng Galuh Candrakirana main di dukuh Rekesan desa Jambuwer Kecamatan Kromengan, pada tanggal 16 Desember 2007.  (foto: Wido).


Daftar Rujukan:
Abdullah, 1978. Paguyuban Ngesti Tunggal. Tanpa kota penerbit,
Adi Pramono, Moh Soleh, 1984. Tari Beskalan Sebagai Tarian Kesuburan, Makalah disampaikan pada Seminar Tari di IKIP MALANG.
Bachtiar, Harsya W. 1980/1981. Kreativitas: Usaha Memelihara Kehidupan Budaya, Analisis Kebudayaan. 2: 13-18
_____________ 1985. Sistem Budaya di Indonesia. Dalam Bachtiar Harsya W., (Eds). Budaya dan Manusia di Indonesia. Yogyakarta: PT Hinindita.
Buku Profil Kabupaten Malang th. 2003. Malang: Pemerintah Daerah Kabupaten Malang.
Cremers, Agus. 1997. Antara Alam dan Mitos. Flores: Nusa Indah.
Geerts, Clifford. 1992. The Religion of Java. Terj. Aswab Mahasin (cetakan ke 3). Abangan Santri Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya.
Hadi, Sumandiyo, Y, 2006. Seni dalam Ritual Agama. Yogyakarta: PUSTAKA.
Hardjowardojo, Pitono. 1965. Pararaton. Jakarta: Bharata.
Hidayat, Robby. 2004. Wayang Topeng Malang, Kajian Strukturalisme Simbolik. Thesis Magister Seni: Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta.
Kadir, Abdul. (Penterjemah). Diktat Estetika. Jilid I. Yogyakarta: Akademi Seni Rupa Indonesia.
Kayam, Umar. 1981. Seni, Tradisi, Masyarakat. (seri Esni No. 3) Jakarta: Sinar Harapan.
Koentjaraningrat. 1980.  Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru
_____________  (ed) 1981. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan
_____________  1985. Ritus Peralihan di Indonesia. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Kusumadilaga, K.P.A. 1930. Serat Sastramiroeda. Soerakarta: De Bliksem.
Lindsay, Jennifer. 1991. Klasik, Kitsch, Kontemporer. (terjemahan: Nin Bakdi Sumanto). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Murgiyanto, Sal dan AM. Munardi. 1979/1980. Topeng Malang. Jakarta: Departemen Pandidikan dan Kabudayaan.
Mustopo, Habib (dkk), 1984. Dari Pua Kanjuruhan Menuju Kabupaten Malang.; Tanjauan Sejarah Hari Jadi Kabupaten Malang. Malang: Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Malang.
Ong Hokham: Topeng Malang Topeng Perkasa dalam Majalah Mutiara, no. 279, tgl. 13 Oktober 1982.
Peacock, L. James. 1968. Rites of Modernization (Simbolic and Social Aspects of Indonesia Proletarian Drama). Chicago: The University of Chicago.
Pigeaud, Th., Java In The Fourtheenth Century, a Studi in Cultural History: The Nāgara Kěrtāgama by Rakawi Prapanca of Majapahit, 1335 A.D. Vol. 1. Edisi ketiga yang diperbaiki dan diperluas The Hague: Martinus Nijhoff, 1960-1963.
________, Javaanse Volksvertoningen  Bijdrage tot de Beschrijving van Land En Volk. Batavia: Volkslectuur, 1938.
Poerwanto, Hari. 2000. Kebudayaan dan Lingkungan: Dalam Perspektif Antropologi.  Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Purwanto. 2005. Kosmologi Gunungan Jawa. Jurnal Seni Imajinasi. Volume 2 Januari 2005. Semarang: Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang.
Slametmulyana. 1979. Negara Kretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhatara Karya Aksara.
Soedarso 1998. Seni dan Keindahan, dalam Pidato Ilmiah. Pengukuhan Guru Besar Tetap pada Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta. Yogyakarta: 30 Mei 1998.
Soedarsono. 1997. Wayang Wong Dramatari Ritual Kenegaraan di Keraton Yogyakarta.  Yogyakarta: Gajahmada University Press.
Supriyanto, Henricus. 1992. Lakon Ludruk Jawa Timur. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
_____________ dan Soleh Adipramono, Moch. 1995. Wayang Topeng Malang.Malang: Padepokan Mangun Darmo.
Tim Penyusun Balai Bahasa Yogyakarta. 2001. Kamus Bahasa Jawa (Bausastra Jawa). Yogyakarta: Kanisius.
Timoer, Soenarto. 1989. Asal-usul dan Identitas Pertunjukan Wayang Topeng di  Jawa Timur. Makalah Temu Budaya 27 – 28 Februari 1989 di Surabaya. Kanwil Departemen P dan K.
Wido, Soerjo Minarto. 1993. Studi Analisis Motif Gerak Tari Beskalan Lanang Pada Wayang Topeng Dusun Kedungmonggo desa Karangpandan Kecamatan Pakisaji Kabupaten Malang. Laporan Penelitian IKIP Malang (tidak diterbitkan).
_____________ 1992. Studi Analisis Gerak Tari Grebeg Jawa Pada Wayang Topeng Dusun Kedungmonggo desa Karangpandan Kecamatan Pakisaji Kabupaten Malang. Laporan Penelitian IKIP Malang (tidak diterbitkan).
Yamin, Muhammad, Mr. 1954. 6000 tahun Sang MERAH PUTIH. Tanpa kota: Siguntang







[1]  Soerjo Wido Minarto adalah tenaga pengajar pada Prodi Pendidikan Seni Tari Universitas Negeri Malang. R.M. Soedarsono adalah Guru Besar pada Prodi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Sekolah Pascasarjana Universitas Gajahmada Yogyakarta.
[2] Talu adalah istilah musik tradisional Jawa Solo/Yogya, yaitu uyon-uyon ngarepake jejer wayang (membunyikan orkestrasi musik gamelan menjelang jejer atau awal pertunjukan wayang) (Tim Penyusun Balai Bahasa Yogyakarta, 2002: 757)
[3] Menurut kamus Basa Jawa (Bausastra Jawa) yang disusun oleh Tim Penyusun Balai Bahasa Yogyakarta 2002, giro artinya  mbengok (berteriak). Dengan demikian dibunyikannya gending giro bermaksud berteriak memanggil penonton.
[4] Panjak atau lebih halus disebut pengrawit adalah orang yang bertugas membunyikan instrument gamelan jawa.
[5] Menurut konsep transendensi manusia Jawa, alam dapat dibagi menjadi 3, yaitu alam inggil atau alam agung, tempat para Dewa atau manusia yang mendapat derajat tinggi (karomah) dari Tuhan, kedua alam madya, yaitu alam dunia yang kasat mata, dan ketiga alam andap/asor, yaitu alam para makhluk bekasaan  (makhluk halus yang jahat/jelek) seperti setan, iblis, gendruwo,banaspati dan lain-lain.  Akan tetapi ketiga alam tersebut harus dapat saling menjaga hubungan yang serasi, sehingga tidak saling mengganggu.
[6] Masyarakat Malang pada umumnya menyebut alat bunyi ini crecek atau cek-cek karena sesuai dengan bunyinya; crek-crek. Dalam istilah pewayangan Surakarta dinamakan kepyak, yaitu lempengan besi atau perunggu yang ukurannya kurang labih 15 X 20 cm, tebalnya sekitar 0,8 cm. lebih dari satu ditumpuk dan dipukul. Benda ini akan mengeluarkan bunyi crek.
[7] Di dalam pergelaran wayang topeng, secara tradisional panggung menggunakan back ground dua lembar kain kelambu yang dipasang di kanan dan kiri, pertemuan kain tersebut berada di tengah. Pertemuan kelambu ini sebagai pintu utama keluar masunya penari antara ruang rias (rombongan/krombongan) dan arena permainan (lihat Murgiyanto dan Munardi, 1979/1980, Supriyanto dan Adipramono, 1995: 82, Hidayat, 2004: 103-105).
[8] Peperangan dalam wayang topeng yang kalah tidak dibunuh, melainkan dibuang, dilempar. Filsafatnya, bahwa kejelekan tidak akan mati, selalu berdampingan dengan kebaikan. Kejelekan hanya dapat ditekan dan disingkirkan, tapi tidak dapat hilang. (Chattam: wawancara 19 Februari 2007)
[9] Wawancara dengan Rasimun (meninggal tahun 2007 dalam usia 91 th.) tg. 21 Juli 2000.
[10] Untaian genta kecil atau gongseng terdapat di suku-suku primitive hampir diseluruh Asia dan Afrika, sisa-sisa paham Samanisme. Bunyi genta ini yang identik dengan bunyi gemericik tulang dan gigi yang diikatkan pada alat-alat perang suku primitive seperti mandau, tombak, panah, sumpit dan lain-lain, merupakan musik magis yang memberikan kekuatan daya hidup kepada pemakainya, bahkan berfungsi untuk mengundang dan mengusir “roh moyang”. 

[11] Genjot adalah panggung darurat yang dipasang hanya pada saat ada pertunjukan, baik hajadan maupun tujuhbelasan”. Panggung ini terbuat dari kayu atau bambu, setinggi kurang lebih satu meter, panjang 6 meter dan lebar 4 meter. Genjot memiliki 3 arah pandang, yaitu sisi kiri, depan dan sisi kanan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar