TARI TOPENG PATIH PADA PRTUNJUKAN WAYANG
TOPENG MALANG, MERUPAKAN SIMBOL SANGKAN
PARAN
Oleh:
Soerjo WidoMinarto dan R.M. Soedarsono[1]
Pertunjukan
Dramatari Wayang Topeng Malang merupakan seni pertunjukan tradisional
kerakyatan di daerah Malang. Kesenian ini diyakini oleh masyarakat Malang
sebagai kelanjutan dari pertunjukan Topeng pada kerajaan Majapahit yang sangat
popular mada masa Pemerintahan Raja Hayamwuruk yang dibuktikan dengan tulisan
berjudul: Desawarnana atau popular Negara Kretagama oleh Mpu Prapanca (Pegeaud
1960). Tari Topeng Patih merupakan tarian pembuka yang tidak terkait dengan
cerita dalam Wayang Topeng, namun keberadaannya mutlak harus ada. Hal ini
disebabkan tarian ini merupakan symbol sangkan
paran dalam kehidupan jagad Wayang Topeng yang merefleksikan kehidupan
manusia dalam jagad gumelar.
Latar Belakang
Bunyi alunan musik
tradisional Jawa yang lazim disebut gamelan telah menggema sekitar pukul
delapan malam. Musik yang dibunyikan bertalu-talu tersebut dalam jagad
pewayangan disebut gending talu[2] tanpa
nyanyian (vocal) penyanyi atau sinden,
dalam jagad Wayang Topeng lazim dinamakan gending
giro[3].
Alunan bunyi gending-gending giro ini
dilakukan selama kurang lebih satu jam, yang menampilkan sediktinya empat gending atau lagu, yaitu gending Eling-eling, Krangean/Sapujagad, Loro-loro
dan diakhiri dengan gending Gondel.
Madyaoutomo menjelaskan, bahwa gending-gending giro ini merupakan suatu
kewajiban yang harus dilaksanakan oleh panjak[4]
atau pengrawit. Karena gending giro ini berfungsi untuk mengundang penonton,
maka gending atau lagu yang dibunyikan merupakan suatu tanda atau simbol yang
berisi pengharapan. Misalnya gending Eling-eling
(artinya mengingat-ingat), merupakan
simbol pengharapan agar masyarakat tidak lupa bahwa hari ini di tempat ini ada
pertunjukan Wayang Topeng. Pada pergelaran siang hari, salah satu gending giro
yang dibunyikan adalah gending Gagak
ngarak. Gending inipun merupakan simbul pengharapan, agar tamu yang datang
seperti karak-karakan maksudnya, tamu
yang datang ke tempat hajadan tersebut amat banyak seperti karnaval
(Madyoutomo: wawancara 12 Oktober 2006).
Di sisi lain, di dalam
ruang persiapan atau ruang ganti yang sering disebut rombongan atau krombongan,
semenjak gending giro pertama
dibunyikan, dalang melakukan ritual dengan peralatan sajen (sesajian). Isi sesajian tersebut berupa nasi dengan lauk
pauknya, gedang setangkep (dua sisir
pisang), telor ayam, tape ketan hitam, jajan
pasar (kue khas di pasar Jawa), sebutir kelapa beserta tempurungnya,
tembakau, rokok klobot (rokok yang
terbuat dari tembakau yang dibungkus kulit jagung), kendi (moci terbuat dari gerabah) berisi air putih dan sebatang
dupa Cina (yuswa/hio), serta semua topeng yang akan dimainkan ditata di atas
meja. Dalang membakar kemenyan sambil
membaca mantera yang ditujukan kepada makhluk halus penguasa desa yang sering
disebut sing mbau reksa desa untuk
meminta ijin serta membantu menyelamatkan hajad ini dari gangguan roh jahat
pengganggu desa. Disamping itu juga ditujukan kepada yang punya hajad, yang
main, yang nonton serta seluruh desa dimintakan selamat kepada Tuhan, agar
tidak terjadi gangguan yang berarti, slamet
gak ana apa-apa. Ritual ini menunjukkan hubungan transcendental antara dalang, mbahureksa
desa (“roh moyang” yang menjaga
dan menguasai desa), pemain Wayang Topeng (anak wayang, pengrawit, sinden dan
pekerja panggung), rumah hajadan (yang punya hajad, biyada/sinoman [pembantu hajadan]) dan penonton termasuk masyarakat
penduduk desa.
Mbahu reksa desa
(roh moyang)
![]() |
Pemain Wayang Topeng
Rumah hajadan
Penonton/masyarakat desa
Gambar 1:
Hubungan transendental Dalang, mbahureksa,
pemain, rumah
hajadan dan masyarakat


Alam inggil
![]() |
Rumah hajadan dan masyarakat
Alam madya
![]() |
Bathara Kala CS
Alam asor
Gambar 2: Hubungan timbal balik antara tiga alam
Setelah gending giro yang
terakhir selesai, maka para panjak
istirahat sejenak, tidak lama kemudian sinden (vocal wanita) memasuki arena
gamelan dan biasanya disusul oleh dalang. Setelah istirahat dianggap cukup dan
kesepakatan sudah dicapai, maka panjak
bonang (salah satu alat musik tradisional Jawa) memberikan instruksi kepada
para panjak dengan membunyikan
instrument bonang sejenak, lazim disebut grambyangan.
Kemudian pembonang memberikan aba-aba atau introduksi untuk membunyikan gending
Beskalan, berikutnya disahut tepakan kendang,
selanjutnya diikuti secara serentak instrumen gamelan lainnya.
Sesaat gending Beskalan berbunyi, dalang
membunyikan crecek atau kepyak[6].
Kemudian muncul dua orang penari yang mengenakan topeng “lucu” dan berpakaian
sederhana, berikat kepala (udeng),
terkadang menggunakan baju rompi, terkadang tidak berbaju, bercelana panjang
sebatas sedikit di bawah lutut dan mengenakan kain panjang bentuk dasen (dibagian depan dilipat seperti
dasi). Penari ini dinamakan ”demang”
atau pembantu. Kedua demang ini menurut Karimoen bernama demang Mones dan
demang Mundu. Mereka menari sejenak dengan iringan musik yang berirama sedikit
lambat. Sejenak kemudian bunyi kendang memberikan tanda untuk mengajak
mempercepat irama dengan volume sedikit lebih keras, lalu kelambu[7] back ground panggung digoyang-goyangkan
oleh penari yang masih berada di dalam sambil membunyikan gongseng atau krincing (untaian
genta kecil) yang dililitkan pada kaki kanan, seirama dengan irama kandang.
Kelambu ini sekaligus berfungsi sabagai pintu keluar masuknya penari dari ruang
‘dalam’ (ruang rias/ganti busana) menuju arena pergelaran. Suara gongseng tersebut sangaja jelas
terdengar dari balik kelambu, yang dibunyikan oleh dua orang penari yang
mengawali pertunjukan Wayang Topeng Malang, khususnya Wayang Topeng
Kedungmonggo, Jatiguwi dan Jambuwer, yaitu tari ‘Patih’. Setelah
itu muncul seorang penari yang menggunakan topeng berwarna putih, lalu disusul
penari yang menggunakan topeng berwarna merah. Bentuk dan karakter kedua topeng
tersebut sama, hanya dibedakan dengan warna saja. Secara fisik, kedua penari
tersebut relatif kembar, baik dari segi tata busana, tata gerak, karakter,
warna busana, kecuali warna topengnya.
Menurut Karimoen, tari Topeng Patih ini dilakukan dalam berpasangan dua
orang atau empat orang. Setiap pasang menggunakan bentuk topeng yang sama
karakternya tetapi berbeda warnanya. Satu menggunakan topeng warna ‘merah’ dan yang lain menggunakan topeng warna ‘putih’.
Istilah ‘Patih’ lazimnya adalah ‘tangan kanan’ atau wakil raja. Namun istilah patih
pada tari Topeng Patih ini tidak ada sangkut pautnya dengan raja atau kerajaan.
Karimoen menjelaskan perihal bentuk fisik topeng patih, yang menurut tradisi
dari ayahnya (Kiman), bahkan kakeknya (Serun). Penjelasan Karimoen sebagai
berikut:
Lek nurut
aturane Bapak biyen, Tari Patih ndisiki lakon dadi mesti ndik ngarep dewe.
Tariane pasang-pasangan, lek gak loro ya papat apa enem. Biyen topeng sing
digawe wernane abang karo putih. Sebab werna abang iku asale teka ibu lan putih
iku asale teka bapak. Tapi saiki topeng sing abang jarang digawe mbuh apa
sebabe, kelalen leke. Tapi lek wis
dielingna ngene ya kudu digawe karo-karone. Dadi tari Patih iki nggambarna asal
usule kedadeyane manungsa, asale teka campurane werna abang (saka ibu) lan
werna putih (saka bapak).
Jika menurut
aturan Bapak dahulu, Tari Patih itu mendahului cerita, maka selalu berada diwal
pertunjukan. Tariannya selalu dilakukan secara berpasangan, bisa dua, empat,
enam, dan seterusnya. Dulu warna topeng yang dikenakan selalu merah dan putih.
Sebab merah itu dari Ibu dan putih itu dari Bapak. Tari Beskalan Patih ini
melambangkan asal mulanya kejadian manusia. Tetapi sekarang topeng yang berwarna
merah jarang digunakan, nggak tahu apa sebabnya, mungkin kelupaan. Tetapi jika
sudah diingatkan seperti ini ya harus digunakan dua-duanya. Jadi tari Beskalan
Patih itu menggambarkan kejadian manusia, asalnya dari campuran warna abang
(dari Ibu) dan putih (dari Bapak).
(wawancara dengan
Karimun, tgl. 2 Juli 2006, di
rumahnya Jl. Prajurit Slamet Kedungmonggo Pakisaji, Kabupaten Malang.
Penjelasan ini dilakukan berulang-ulang setiap wawancara, sejak tahun 1992,
jawabannya tetap seperti tersebut).
Keterangan tersebut memang baru terkuak pada tahun 1993, artinya sebelum
itu genarasi di bawah Karimoen tidak memahami makna bahkan pengertian nama tari
Patih tersebut. Umumnya masyarakat melihat tari topeng Patih sekedar sebagai
pembukaan pertunjukan Wayang Topeng. Dengan demikian jika tari Patih sudah
keluar, penonton sudah mulai bersiap-siap mencari tempat duduk yang enak untuk
mengikuti jalannya pertunjukan Wayang Topeng. Ketika peneliti melakukan
penelitian tentang tari Beskalan Lanang, pada tahun 1992/1993, berkali-kali
mendatangi narasumber Wayang Topeng khusunya Karimoen tokoh Wayang Topeng
Kedungmonggo. Sampai kurang lebih tujuh bulan, masih belum didapatkan titik
terang tentang makna dan pengertian tari Patih tersebut. Jika ditanyakan
tentang pengertian tari Patih, karimun kelihatan kebingungan untuk menjelaskan.
Ia menjawab:
Iya ya le, tari patih iku patihe sapa ya?!
Soale tari patih iki gak duwe raja, ya gak duwe panggonan praja. Mongko patih
iku kudune wakile raja. Kok dijenengna Patih apaa ya? (Karimun: dokumen
wawancara, 26 Juni 1993).
Iya ya nak,
tari patih itu patih (nya) siapa ya? Masalahnya, tari patih itu tidak mempunyai
raja, ya tidak memiliki wilayah kerajaan. Padahal patih itu seharusnya wakil
raja. Kenapa dinamakan Patih ya?!!
Sampai pada suatu ketika, peneliti mengambil pesanan topeng pada Karimoen
yang dijanjikan selesai hari itu, 8 September 1993, sore hari. Secara santai
karimoen bercerita tentang urut-urutan pergelaran Wayang Topeng ketika ayahnya
(Kiman) memimpin dan menyutradarai pertunjukan Wayang Topeng Kedungmonggo.
Menurut tata aturan pertunjukan Wayang Topeng yang dipimpin oleh Kiman dulu
adalah seperti yang dituturkan oleh karimoen, sebagai berikut:
Lek urutane main biyen nurut bapak, iku
ngene: sakmarine giro, terus tari Patih. Maringono jejer sabrang, jogedan
Klana, terus grebeg sabrang. Mari iku seligan tari Bapang. Marine Bapang terus
jejer 2, isa jejer padepokan utawa jejer Jawa, praja Kediri utawa Jenggala. Lek jejer Jawa
diterusna Grebeg Jawa, tapi lek pertapan ya gak. Maringono terus perang sore
antarane bala sabrang karo prajurit Jawa.
Maringono adegan Gunungsari Patrajaya, iki guyonane dalang karo Patrajaya, ndik
kene isa njaluk lagu-lagu. Marine adegan Gunungsari Patrajaya terus perang
pungkasan, perange Klana musuh Gunungsari, menang Gunungsari, Klana diuncalna
diguwak, terus jejer pungkasan entek wis
(Karimoen: dokumen wawancara 8 September 1993).
Menurut Bapak
dulu, urutan pergelaran, sebagai berikut: setelah giro, terus tari Patih,
kemudian jejer sabrang, tarian Klana, kemudian dilanjutkan grebeg (barisan
prajurit) sabrang. Setelah itu selingan tari Bapang kemudian dilanjutkan dengan
jejer 2, bisa padepokan (adegan pendeta) atau jejer Jawa, yaitu kerajaan Kediri atau Jenggala. Jika
jejer Jawa dilanjutkan grebeg (barisan prajurit) Jawa. Kemudian adegan
Gunungsari Patrajaya. Ini saat lawakan antara dalang dengan Patrajaya dan dapat
minta lagu-lagu. Setelah
itu perang terakhir antara Klana melawan
Gunungsari yang dimenangkan oleh Gunungsari, Klana dilempar[8]
terus jejer terakhir (penutup), habis.
Berikutnya Karimoen menjelaskan tentang bentuk dan struktur tari Patih
sesuai dengan aturan yang diberikan oleh Kiman (ayahnya). Semenjak itu (tahun
1994), maka masyarakat memahami tentang nama tari Patih, bahwa istilah “patih” disini berasal dari
warna topeng yang dikenakan penarinya. Masyarakat menyebutnya tari ‘Bangtih’. Lama kelamaan istilah bangtih ini lentur
menjadi ‘patih’ karena dianggap lebih mudah pengucapannya
dan enak didengar serta diasumsikan memiliki prestise karena patih adalah wakil
raja. Dengan demikian sampai sekarang istilah tari topeng Bangtih menjadi tari Topeng Patih (Wido 1994: 71).
Tarian ini sekalipun lepas dari ceritera, namun penampilannya merupakan keharusan dalam serangkaian pertunjukan Wayang
Topeng Malang. Sebab kehadiran tarian ini sangat dibutuhkan baik secara
struktur maupun makna. Secara struktur, tari Topeng Patih ini merupakan
gabungan dari seluruh gerak baku
(dasar) (Chattam: wawancara 19 Februari 2007). Sedangkan secara makna merupakan
simbul dari kejadian manusia atau lambang sangkan
paraning dumadi (Bachtiar. 1983).
Simbol-simbol sangkan paran pada
seni pertunjukan tradisional yang identik dengan tari topeng Bangtih atau topeng Patih ini, terdapat pula
pada pertunjukan Wayang Topeng Sumenep Madura. Tari pembukanya dinamakan tari ‘Kelana Tunjung Seta’. Menurut Masruna (65th) anak Supakra
(almarhum) pimpinan Wayang Topeng Margi Rahayu, Kelana artinya sesuatu yang
abstrak, tidak berjalan dan tidak berhenti, ada tetapi tidak ada. Sesuatu yang
tidak bisa dilihat, diraba, didengar, tetapi bisa dirasakan. Sedangkan tunjung adalah nama bunga yang berwarna
merah dan seta artinya putih. Dengan
demikian, Kelana Tunjung Seta memiliki pengertian sesuatu yang mengawali,
mengadakan kehidupan di jagad raya (jagad pewayangan topeng) melalui bersatunya
tunjung dan seta atau merah dan putih (Masruna: dialog Wayang Topeng dan
kesenian Madura, tgl. 15 Februari 2002 di Sumenep). Lebih lanjut Masruna
menjelaskan, bahwa bersatunya tunjung
dan seta atau merah dan putih,
merupakan hukum alam sebagai kodrat Ilahi, seperti adanya laki-laki dan wanita,
baik dan buruk, siang dan malam, kesemuanya merupakan satu kesatuan yang tidak
dapat dipisah-pisahkan. Dengan demikian perpaduan dua warna merah dan putih ini
merupakan simbol sangkan paran
seperti halnya topeng Bangtih.
Tarian yang mengawali suatu pertunjukan tradisional khususnya di Jawa,
nampaknya memang dibutuhkan sebagai ritual penghormatan kepada penonton berupa
ucapan selamat datang. Disamping itu merupakan tanda bahwa cerita dalam
pertunjukan tersebut akan dimulai. Tarian ini terdapat pada seni pertunjukan
tradisional hampir di semua wilayah khususnya Jawa, seperti tari Beskalan putri
dari Malang, tari topeng Getak, tari Kelana Tunjungseta dari Madura, tari Klana
dari Jombang, tari Rema dan tari Patih.
Dapat dicontohkan, tari Rema yang merupakan tari pembukaan pada
pertunjukan Ludruk di Jawa Timur. Tarian ini merupakan tarian tunggal yang
memiliki latar belakang ritual yang sangat dalam. Kelahiran tarian ini sejajar
dengan kelahiran pertunjukan Ludruk itu sendiri, yang diawali dengan
pertunjukan Lerok Besut.
Pelaku utama Lerok Besut
di dalam teater ludruk pada tahun 1920-an ditandai dengan tradisi busana/kostum
yang tetap yaitu Besut berkopyah/songkok merah Turki, bercelana hitam (saten
hitam), tanpa baju atau berbaju putih, dan mengenakan kain penutup badan (bebed, Jawa) warna ‘putih’. Karena lahirnya pertunjukan Lerok Besut pada masa pergerakan
nasional melawan penjajah Belanda. Maka rasa nasionalisme sangat tinggi. Maka Besut
identik dengan merah putih.
Ketika Besut naik pentas
dengan wajah ditutup mengucapkan mantra mengumumkan maksud pengundang (misalnya
selamatan pesta penganten pesta sunatan atau melepas kaul). Besut kemudian
melakukan penghormatan ke empat arah mata angin, setelah itu membuka penutup
matanya dengan melakukan tarian rena-rena
(Jawa)/bermacam-macam gaya
di atas pentas dilengkapi dengan sesajian/sajen
(Jawa).
James L. Peacock, adalah
peneliti seni pertunjukan rakyat di Jawa Timur berpendapat bahwa upacara ritus Besut tersebut
dilakukan dengan tujuan untuk menghormati Danhyang.
Danhyang ini merupakan kompleksitas kepercayaan
orang abangan terhadap animisme yang terpadu dengan tradisi agama Hindu dan
Budha (Peacock, 1968:35-36). Clifford Geertz (1983:17-18) berpendapat bahwa
upacara ritus dalam bentuk selamatan (slametan:
Jawa) bagi orang Jawa abangan adalah usaha untuk membina hubungan yang serasi
antara manusia dengan roh moyang di
sekitarnya, agar tidak mengganggu orang-orang yang bersangkutan. Selamatan itu
dilengkapi dengan sesajian sebab roh
moyang ikut memakan bau-bau makanan yang dihidangkan. Keadaan yang
didambakan oleh kaum abangan ialah slamet
gak ana apa-apa (selamat tidak ada apa-apa), ritus inilah yang oleh Geertz
disebut ritus kaum abangan yang menganut agama Jawa, yaitu merupakan perpaduan
unsur kepercayaan terhadap animisme, Hinduisme dan Budhaisme.
Harsya Bachtia (1973: 98-118)
berpendapat bahwa ritus tersebut sebenarnya merupakan pemujaan terhadap sangkan paraning dumadi (dari mana manusia
itu berersal, apa dan siapa dia pada masa kini, dan kearah tujuan hidup mana
yang ditujunya). Prinsip kepercayaan ini berkaitan dengan dua konsep religi, yaitu:
a) konsep
mengenai eksistensi dan tempat manusia pada alam semesta beserta segala isinya dan
b) konsep segala hal yang berkaitan dengan
lingkungan hidup. Bertitik tolak uraian di atas, dapat dipahami bahwa tari Rema
yang semula ditarikan tokoh peranan Besut yang menari rena-rena (bermacan-macam
gaya) merupakan suatu ritus terhadap sangkan
paraning dumadi, yaitu proses kelahiran menjadi “kehidupan” di dalam pertunjukan
dan doa permohonan agar manusia di muka bumi ini selamat. Tari Rema merupakan simbolik
harapan secara religi agar seluruh kejadian di atas pentas, baik yang
mengundang, yang menonton, yang main semuanya dalam keadaan selamat dan
sejehtera.
Anasir Abang
Putih (Merah Putih)
Kepercayaan dan penghormatan terhadap warna merah dan putih ini sudah ada
semenjak ribuan tahun yang lalu. Menurut catatan Yamin (1954: 17-31), awal mula
kepercayaan dan penghormatan kepada warna merah dan putih ini berkisar 6000
tahun yang lalu, adalah pada masa aditya
candra, yakni penghormatan
kepada aditya (matahari) yang
berwarna merah dan candra (rembulan)
yang berwarna putih. Adapun cerita tentang mitos dan legenda aditia candara dapat diketahui melalui
cerita, dongeng, kepercayaan dan kesusastraan merah putih di seluruh Indonesia.
Terutama tentang cerita kelahiran surya
candra dapat diperhatikan melalui cerita Panji-Candrakirana yang sudah
terkenal berabad-abad lamanya di Asia
Tenggara. Pada pembabakan yang lebih muda, yaitu berkembang sekitar 4000 tahun,
berupa kepercayaan warna merah dan putih melalui zat-zat hidup, seperti darah
merah dan getah tumbuh-tumbuhan putih. Maka menjadi kata majemuk getih-getah, getah-getih.
1. Warna Merah
Kata merah dipakai dalam beberapa
bahasa sebagai anggota rumpun bahasa Austronesia.
Yang menjadi akar kata dari bermacam-macam sebutan seperti merah (Indonesia),
sirah (Minangkabau), rara (Toba), magang (Bisaya), ialah ra
atau –rah, yang berarti warna darah yang merupakan benda cair
dalam batang tubuh manusia. Di bawah ini akan ditinjau lebih lanjut, bahwa
warna merah itu barulah pada suatu ketika menjadi kata perbandingan
dengan rupa darah, dan pada mula-mulanya kata –rah atau –ra ialah
kata perumpamaan bagi pernyataan warna cahaya matahari.
Bagaimana rapinya hubungan antara darah dengan warna merah dapatlah
ditinjau dalam bahasa Batak yang memakai dua kata yang berlainan, tetapi hampir
sama asal usul akar katanya. Dalam bahasa itu darah dinamai daro,
sedangkan rara artinya merah; bandingan kedua kata ini hampir sama
dengan kata rata dan datar, yang hampir sama bunyi dan maknanya.
Bandingkan pula kata Indonesia
sirih (agaknya berasal dari sedeh atau sereh) dengan kata sedah
dalam bahasa Jawa. Kata Jawa Kuno sero melahirkan kata suruh
(Jawa baru). Adapun nama warna seperti bang dan putih dipakai
dalam bahasa Kawi sebagai nama benda atau nama sifat. Keadaan yang sedemikian
berlaku pula pada bahasa Toba dengan memakai rara atau marara.
Contoh dalam kitab Sutasoma: bang
wedihan ira (pakaian merah) atau masemu bang dan hidu bang
dalam kitab Bharatayuddha.
2. Warna Putih
Kata Putih hampir sama bunyinya dengan beberapa bahasa Austronesia,
begitu juga dalam bahasa Jawa kuno dan baru. Dalam bahasa Bali
kata itu disalin menjadi; petak, tedas, çudhha,
putus (suci), dan dhwala. Diberi awalan ma- atau a-
kata itu menjadi maputih atau aputih. Keputihan berarti
putih menjadi pucat, dalam bahasa Bali: kapungut.
Menurut piagam Airlangga, yang disimpan di Kota Kalkuta dan memakai tahun Syaka
963 (T.M. 1041), maka kata putih disalin dengan kata apinghay, sama
dengan kata Sansekerta, pandarin. Kata putih dipakai dalam piagam dan
dalam beberapa buku Jawa kuno, seperti; Ramayana (II, 2, 16; VII, 32, XVI,
17; XXII, 53); Pararaton (20). Kata petak ialah bentukan krama (bahasa halus) bagi putih dan
perkataan itu sama asalnya dengan perkataan perak.
Dalam bahasa Indonesia
awalan pu- yang berarti dimuliakan itu hanyalah dipakai pada perkataan pu-tih,
tetapi tidak dipakai pada awalan kata –rah yang dimuliakan sebagai getah
hidup. Walaupun pada perkataan merah, tidak dipakai awalan honorifik itu, tetapi pada kata pu-tih
dan da-rah memang kedua awalan pu- dan da- ialah awalan honorofik. Sebelum bangsa Austronesia
bertebaran ke lautan Pasifik memang rupanya sudah ada bentukan pu-rah
yang berarti merah, karena sesungguhnya ada beberapa bahasa Austronesia yang mengenal kata itu.
Sungguh amat indah pasangan kedua warna menurut mythology, suryacandra yang diungkapkan dalam
cerita Panji menurut kesusastraan Jawa, Kamboja, Siam, dan dalam bahasa
Indonesia, bagi daerah Semenanjung, Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan
lain-lainnya. Sebenarnya cerita Panji ialah cerita corak dan warna, sedangkan
panji sendiri berarti pula bendera. Dalam cerita itu yang dilambangkan menjadi
sinar cahaya merah matahari ialah pahlawan Inu Kertapati, putera tanah
Koripan, serta yang dilambangkan menjadi sinar putih rembulan ialah puteri Candra
Kirana. Cerita Panji tersebut merupakan perpaduan antara dua warna Merah
Putih dijadikan bahan pokok cerita, dengan memasukkan beberapa peristiwa
sejarah Indonesia
sampai jatuhnya kerajaan Majapahit. Beberapa situasi serta para tokoh di dalam
cerita itu dihubungkan pula dengan permainan warna cahaya aditiacandra. Hubungan Inu Kertapati dengan Candra Kirana ialah
hubungan cinta birahi, dan kedua pahlawan cerita Panji itu merupakan pasangan
yang tak dapat dipisah-pisahkan. Keduanya harus menjadi satu kesatuan diantara
merah dan putih.
Di dalam kepercayaan Jawa, melalui pewayangan, diyakini bahwa dewa asmara bagi orang Jawa
adalah Kamajaya dan dewi Ratih. Kamajaya
–Ratih juga merupakan simbol persatuan antara warna merah dan putih. Kamajaya –Ratih merupakan akronim dari
kata: kama
(sperma) dan jaya (kuat, kukuh), Ra
(merah/abang) dan tih (putih). Maka sperma bisa “jadi”
janin jika terjadi percampuran/kesatuan antara ra (merah/abang) yang
berasal dari perempuan atau ibu, dan tih (putih)
yang berasal dari laki-laki atau bapak.
Dalam persepsi kosmologis Jawa, masyarakat berkeyakinan bahwa sebelum
adanya alam semesta terdapat dualisme
kosmis, yaitu Shiva dan Shakti atau kutub negatif dan kutub Positif.
Penyatuan keduanya akan membentuk alam semesta. Konsep penyatuan tersebut
dilambangkan dengan Lingga – Yoni,
dimana Lingga melambangkan Shiva dan Yoni melambangkan Shakti. Pada era
berikutnya, istilah Shiva dan Sakthi bergeser menjadi ‘Bapa Akasa’ dan ‘Ibu Bumi’. Penggambaran penyatuan kosmis
tersebut membangkitkan kembali memori primitif orang yang menyaksikannya ke awal
penciptaan alam semesta yang teratur atau Kosmos. Sebelum terbentuknya Kosmos
alam semesta ini berupa Khaos atau ketidakteraturan, karena penyatuan suci
tersebutlah yang menghasilkan empat anasir alam dan kemudian mendorongkan daya
kehidupan (Jw : Urip) sehingga tercipta keteraturan atau Kosmos (Eliade, 2002:
23-26). Hal tersebutlah yang mengandung nilai sakral, dimana saat pertama kali
penyatuan ini diyakini terjadi atas Shiva,
energi maskulin atau positif, dan Shakti, energi feminim atau negatif
yang disimbolkan dengan Lingga dan Yoni, atau diwujutkan dalam cahaya putih dan
merah. Dengan demikian, bersatunya antara
Shiva dan Shakti atau lingga dan yoni atau putih dan abang,
merupakan “awal mula” terjadinya sesuatu termasuk dunia seisinya yang semula “tidak
ada” menjadi “ada”, yaitu kehidupan (hurip).
Tari Topeng Patih ini tersebar di seluruh perkumpulan Wayang Topeng
Malang khususnya di wilayah Malang Selatan, seperti Jatiguwi, Senggreng,
Jambuwer, Kedungmonggo. Sedangkan perkumpulan Wayang Topeng Malang wilayah
Timur dan Utara, seperti Jabung, Precet, Glagahdawa, Duwet dan Gubugklakah,
kini penampilan tari Patih diganti dengan tari Beskalan atau tari Rema. Menurut
beberapa pendapat nara
sumber, hal tersebut disebabkan selera penonton lebih suka tari Rema atau
Beskalan Putri. Kronologisnya menurut cerita Rasimun (Maestro penari
Topeng pada Wayang Topeng Glagahdowo)[9]
sebagai berikut, sekitar tahun 1950-an, jika ada tari Rema atau Beskalan,
penonton langsung banyak yang datang, dibandingkan dengan pembukaan tari Patih.
Semula tari Rema dan Beskalan adalah tari Pembukaan pada pertunjukan Ludruk di
Malang. Disamping pertunjukan Wayang Topeng, pertunjukan Ludruk juga sangat
popular di kalangan masyarakat Malang,
bahkan popularitasnya melebihi pertunjukan Wayang Topeng. Karena masyarakat
sangat memahami bahwa salah satu daya tarik pertunjukan Ludruk adalah tarian
pembukanya, yakni Rema atau Beskalan, maka pertunjukan Wayang Topeng mencoba
memberikan awalan dengan tarian tersebut. Ternyata sangat diterima oleh masyarakat
penikmatnya, maka banyak perkumpulan Wayang Topeng di daerah
ini memberikan tari pembukaannya adalah tari Rema atau tari Beskalan.
Perubahan tari pembuka dari
tari Patih menjadi tari Rema atau Beskalan ini, bukan semata-mata kehendak
penonton pada waktu itu, melainkan juga permintaan tuan rumah yang punya hajad
atau penanggap. Lama kelamaan tari Rema dan Beskalan ini menjadi sangat populer
sebagai pembukaan Wayang Topeng. Salah satu keistimewaan kedua tarian ini
adalah pada tembang Wetanan (nyanyian tradisional Jawa Timur), yang lazim
disebut kidungan. Nyanyian/kidungan ini dilakukan oleh penarinya
sendiri pada frase tertentu, yang bentuk syairnya berupa parikan, isinya antara lain doa selamat, pendidikan sosial maupun
sindiran-sindiran bagi kehidupan sehari-hari masyarakat setempat. Karena begitu populernya tari Rema dan
Beskalan sebagai tari pembuka pada Wayang Topeng, maka lama kelamaan tari Patih
dilupakan. Sampai sekarang perkumpulan Wayang Topeng diwilayah Malang Timur dan
utara, tidak lagi menggunakan tari Patih sebagai tarian pembuka.
Karakter Tari Topeng Patih
Bentuk
Topeng yang digunakan pada tari Topeng patih adalah topeng yang berkarakter
gagah, serupa tapi berbeda warna. Dengan demikian jika dicermati sebenarnya
bentuk kedua topeng tersebut satu yang di ”duakan”. Dengan kata lain, “satu di
dalam dua” atau dua sebenarnya satu, dua raga satu jiwa. Perhatikan gambar
bentuk topeng Patih di bawah ini;
![]()
Gambar 3:
Topeng Bang (abang) (fato: Robby)
|
Warna : merah Bentuk muka : bulat telur
Bentuk urna : permata
emas
Bentuk alis : Blarak
sineret
Bentuk mata : Telongan
Sudut mata : trate
sinigar
Bentuk hidung :
mangot
Bentuk kumis : ketunggeng
ngentup
Bentuk mulut : mingkem
|
![]()
Gambar 4:
Topeng Tih (putih) (fato: Robby)
|
Warna : putih
Bentuk muka : bulat telur Bentuk
urna : permata emas
Bentuk alis : Blarak
sineret
Bentuk mata : Telongan Sudut mata : trate sinigar
Bentuk hidung :
mangot
Bentuk kumis : ketunggeng
ngentup
Bentuk mulut : mingkem
|
Jika diperhatikan dari bentuk topeng patih tersebut, maka dapat diketahui
bahwa topeng tersebut berkarakter gagah. Namun jika dilihat dari warna
topengnya, yaitu yang berwarna merah berkesan gagah kasar (cenderung
kepada tokoh sabrang) dan yang
berwarna putih berkarakter gagah halus/bijak (cenderung kepada tokoh Jawa). Di dalam hal ini memiliki makna,
bahwa di dalam diri manusia selalu terdapat dua sifat yang saling bertentangan,
seperti sabar kejam, ramah sombong, jujur curang, taat ingkar, dan sebagainya.
Karakter gagah ini terutama dapat diperhatikan dan dilihat dari bentuk mata,
hidung, alis mata, dan mulut. Mata telongan yang berbentuk bulat dan
berkesan melotot serta ditegaskan dengan alis blarak sineret yang
berbulu tebal dan sedikit naik, memberikan kesan maskulin atau kejantanan.
Tata Busana Tari Topeng Patih.
Secara prinsip tata busana
tari topeng Patih tidak terlalu berbeda dengan busana beberapa tokoh prajurit
dalam dramatari Wayang Topeng. Tata busana yang dikenakan oleh dua penari Patih
ini sama dan sebangun, kecuali warna topengnya saja yang berbeda, satu
menggunakan topeng warna putih dan yang lain menggunakan warna merah, namun
demikian karakter wajahnya sama. Adapun
busana yang dikenakan oleh tarian ini adalah:
1) Bagian atas (hiasan kepala) pada tari
Patih perkumpulan Wayang Topeng Kedungmonggo menggunakan jamang gelung yang
dihiasi kancing gelung, menunjukkan karakter gagah, sedangkan jamang gelung
yang digunakan oleh tokoh Panji dan Gunungsari yang berkarakter halus, tidak
menggunakan kancing gelung. Di bagian sisi kiri dan kanan diikatkan roncen koncer, yaitu bunga tiruan yang
terbuat dari benang siet yang berwarna-warni dan disusun sedemikian rupa.
Sehingga membentuk untaian (roncen)
bunga yang berwarna-warni sebagai aksesoris yang sekaligus digunakan properti
tari. Adapun tari Topeng Patih yang dilakukan oleh perkumpulan Wayang Topeng
Jambuwer, hiasan kepalanya tidak
menggunakan jamang gelung, tetapi
menggunakan jamang bledekan.
2) Bagian belakang kepala menggunakan rambut
palsu, bisa menggunakan wig atau udalan. Rambut palsu ini memberikan
kesan proporsi yang seimbang, sebab jika tidak menggunakan rambut palsu, maka
kepala kesannya memanjang, karena jamang hanya sedikit menumpang di atas
kepala, tidak seperti jika menggunakan songkok, udeng atau ikat kepala
3) Hiasan leher menggunakan kalung kace
panjang. Terbuat dari bahan kain beludru hitam yang disulam dengan manik-manik
berwarna emas. kace pada busana Wayang Topeng ada simbar bordirnya.
4) Sebagai properti tari pada lehernya
dikalungkan sampur/selendang.
Disamping dikalungkan, sampur terkadang ditambahkan dengan diikatkan di bagian
sabuk sebagai hiasan, tetapi ini tidak mutlak.
5) Hiasan tangan, di bagian bahu menggunakan
gelang bahu, lazim dinamakan klat bahu.
Sedangkan di pergelangan tangan dihiasi pols
decker (gelang dari kain yang sewarna dengan rapek maupun celananya).
6) Bagian bawah mengenakan celana bordir
hitam, dengan panjang sedikit di bawah lutut. Celana ini terbuat dari kain
beldru yang disulam dengan manik-manik berwarna emas. Secara tradisional,
manik-manik ini dinamakan monte dan burci.
7) Hiasan penutup bagian depan dan belakang,
dinamakan rapek (ada yang menamai sembong). Ada rapek ngarep (depan) dan rapek mburi(belakang) yang pertemuan di
kanan dan kiri dilengkapi dengan pedangan
sebagai hiasan sekaligus penutup bagian samping. Rapek ini juga terbuat dari kain beludru yang disulam dengan
manik-manik berwarna emas.
8) Untuk mengikat rapek, celana dan pedangan agar rapi digunakan stagen atau centing,
yaitu kain pengikat yang lebar kira-kira 20 cm dan panjang 2,5 – 3 meter.
9) Di bagian punggung penari dihiasi, badong (semacam sayap, Surakarta
menamakan praba), sebagai simbol
kebesaran/prestice.
10) Kelengkapan aksesoris manusia Jawa adalah
pusaka yang berwujut keris dan dipasang di pinggang sebelah kanan.
11)
Hiasan
kaki menggunakan kaos kaki, di pergelangan kaki kanan dipasang gongseng/krincing[10],
sebagai penguat daya hidup tarian. Gongseng
merupakan salah satu ciri khas tari-tarian tradisional Jawa Timur,
khususnya tari tradisional Malang. Untuk
lebih jelasnya, perhatikan gambar busan tari topeng Patih.



Gambar
5: Tata busana tari Topeng
Patih (Foto: Wido)
Bentuk Pemanggungan
Bentuk pemanggungan atau pementasan tari topeng Patih, sama seperti
bentuk pemanggungan Wayang Topeng Malang.
Menurut penjelasan beberapa informan, seperti Karimoen, Rasimoen (alm),
Madyoutomo (alm) dan Munawi, sampai dengan tahun 1960 -1970-an masih sering
dipentaskan di plataran, yaitu halaman
rumah yang memiliki lahan relative luas. Dalam bentuk pemanggungan seperti ini,
penonton secara otomatis membentuk setengah lingkaran. Ruang ganti (rombongan) berada di dalam rumah, yang
dibatasi dengan kain (berfungsi sebagai back
drop/back ground) dengan arena permainan. sedangkan pengrawit/panjak atau pemusik berada di sisi kiri atau kanan arena
permainan.
|
Rumah
|
|
“rombongan”/ruang ganti
|
||
Penonton
|
Daerah Permainan
di atas tanah
tanpa panggung
|
Dalang pemusik/
Pengrawit
|
Penonton
|
||
Penonton
|
Gambar 6: Denah
panggung plataran
Semenjak tahun 1970-an, sudah sangat jarang orang mempergelarkan
pertunjukan Wayang Topeng di halaman depan rumah dengan bentuk panggung plataran tersebut, akan tetapi
pertunjukan Jaran kepang atau kuda
lumping masih sering dipertunjukkan. Sedangkan pertunjukan Wayang Topeng selalu
menggunakan panggung darurat, lazim masyarakat menamakan genjot[11] Seperti halnya panggung plataran, genjot juga dibatasi oleh kain yang dipasang dari kiri ke
kanan dan dari kanan ke kiri, sehingga membentuk pertemuan di tengah (kupu tarung). Panggung dalam bentuk genjot ini, letak pengrawit/panjak biasanya di sebelah kiri, atau kanan panggung.
Namun jika terpaksa bisa diletakkan di depan panggung, atau bahkan di belakang
arena permaian.
|
Ruang rias/ganti atau
Rombongan/krombongan
|
|
|||
Penonton
|
|
Panggung genjot dengan ukuran tinggi 1 – 1,5 meter, panjang 6 meter dan lebar 4
meter.
|
Pemusik/
Pengra wit dan dalang.
|
Penonton
|
|
|
|||||
Penonton
|
|
|
|||
Gambar 7: Denah
Panggung genjot.

Gambar 8: Panggung genjot dengan posisi pengrawit/panjak
di sisi kiri, diambil ketika Wayang Topeng Galuh Candrakirana main di dukuh
Rekesan desa Jambuwer Kecamatan Kromengan, pada tanggal 16 Desember 2007. (foto: Wido).
Daftar Rujukan:
Abdullah, 1978. Paguyuban Ngesti Tunggal. Tanpa kota penerbit,
Adi Pramono, Moh
Soleh, 1984. Tari Beskalan Sebagai Tarian
Kesuburan, Makalah disampaikan pada Seminar Tari di IKIP MALANG.
Bachtiar, Harsya W.
1980/1981. Kreativitas: Usaha Memelihara Kehidupan Budaya, Analisis Kebudayaan. 2: 13-18
_____________ 1985.
Sistem Budaya di Indonesia. Dalam Bachtiar Harsya W., (Eds). Budaya dan Manusia di Indonesia. Yogyakarta: PT Hinindita.
Buku Profil Kabupaten Malang th. 2003. Malang: Pemerintah Daerah
Kabupaten Malang.
Cremers, Agus. 1997.
Antara Alam dan Mitos. Flores: Nusa
Indah.
Geerts, Clifford.
1992. The Religion of Java. Terj.
Aswab Mahasin (cetakan ke 3). Abangan
Santri Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya.
Hadi, Sumandiyo, Y,
2006. Seni dalam Ritual Agama. Yogyakarta: PUSTAKA.
Hardjowardojo,
Pitono. 1965. Pararaton. Jakarta:
Bharata.
Hidayat, Robby. 2004.
Wayang Topeng Malang, Kajian
Strukturalisme Simbolik. Thesis
Magister Seni: Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta.
Kadir, Abdul.
(Penterjemah). Diktat Estetika. Jilid I. Yogyakarta: Akademi Seni
Rupa Indonesia.
Kayam, Umar. 1981. Seni, Tradisi, Masyarakat. (seri Esni
No. 3) Jakarta: Sinar Harapan.
Koentjaraningrat.
1980. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta:
Aksara Baru
_____________ (ed) 1981. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan
_____________ 1985. Ritus
Peralihan di Indonesia. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Kusumadilaga, K.P.A.
1930. Serat Sastramiroeda.
Soerakarta: De Bliksem.
Lindsay, Jennifer.
1991. Klasik, Kitsch, Kontemporer.
(terjemahan: Nin Bakdi Sumanto). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Murgiyanto, Sal dan
AM. Munardi. 1979/1980. Topeng Malang.
Jakarta: Departemen Pandidikan dan Kabudayaan.
Mustopo, Habib
(dkk), 1984. Dari Pua Kanjuruhan Menuju
Kabupaten Malang.; Tanjauan Sejarah Hari Jadi Kabupaten Malang. Malang: Pemerintah Kabupaten
Daerah Tingkat II Malang.
Ong Hokham: Topeng Malang Topeng
Perkasa dalam Majalah Mutiara, no. 279, tgl. 13 Oktober 1982.
Peacock, L. James.
1968. Rites of Modernization (Simbolic
and Social Aspects of Indonesia
Proletarian Drama). Chicago: The University of Chicago.
Pigeaud, Th., Java In The Fourtheenth
Century, a Studi in Cultural History: The Nāgara Kěrtāgama by Rakawi
Prapanca of Majapahit, 1335 A.D. Vol. 1. Edisi ketiga
yang diperbaiki dan diperluas The Hague: Martinus Nijhoff, 1960-1963.
________, Javaanse
Volksvertoningen Bijdrage tot de Beschrijving van Land En Volk.
Batavia: Volkslectuur, 1938.
Poerwanto, Hari.
2000. Kebudayaan dan Lingkungan: Dalam
Perspektif Antropologi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Purwanto. 2005.
Kosmologi Gunungan Jawa. Jurnal Seni
Imajinasi. Volume 2 Januari 2005. Semarang: Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas Negeri Semarang.
Slametmulyana. 1979.
Negara Kretagama dan Tafsir Sejarahnya.
Jakarta: Bhatara Karya Aksara.
Soedarso 1998. Seni
dan Keindahan, dalam Pidato Ilmiah. Pengukuhan
Guru Besar Tetap pada Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta. Yogyakarta:
30 Mei 1998.
Soedarsono. 1997. Wayang Wong Dramatari Ritual Kenegaraan di
Keraton Yogyakarta. Yogyakarta: Gajahmada University Press.
Supriyanto,
Henricus. 1992. Lakon Ludruk Jawa Timur.
Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
_____________ dan
Soleh Adipramono, Moch. 1995. Wayang
Topeng Malang.Malang: Padepokan Mangun Darmo.
Tim Penyusun Balai
Bahasa Yogyakarta. 2001. Kamus Bahasa
Jawa (Bausastra Jawa). Yogyakarta: Kanisius.
Timoer, Soenarto.
1989. Asal-usul dan Identitas Pertunjukan
Wayang Topeng di Jawa Timur. Makalah
Temu Budaya 27 – 28 Februari 1989 di Surabaya. Kanwil Departemen P dan K.
Wido, Soerjo Minarto.
1993. Studi Analisis Motif Gerak Tari
Beskalan Lanang Pada Wayang Topeng Dusun Kedungmonggo desa Karangpandan
Kecamatan Pakisaji Kabupaten Malang.
Laporan Penelitian IKIP Malang (tidak diterbitkan).
_____________ 1992. Studi Analisis Gerak Tari Grebeg Jawa Pada
Wayang Topeng Dusun Kedungmonggo desa Karangpandan Kecamatan Pakisaji Kabupaten
Malang.
Laporan Penelitian IKIP Malang (tidak diterbitkan).
Yamin, Muhammad, Mr. 1954. 6000
tahun Sang MERAH PUTIH. Tanpa kota:
Siguntang
[1] Soerjo Wido Minarto adalah tenaga pengajar
pada Prodi Pendidikan Seni Tari Universitas Negeri Malang. R.M. Soedarsono
adalah Guru Besar pada Prodi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Sekolah
Pascasarjana Universitas Gajahmada Yogyakarta.
[2] Talu
adalah istilah musik tradisional Jawa Solo/Yogya, yaitu uyon-uyon ngarepake jejer wayang (membunyikan orkestrasi musik
gamelan menjelang jejer atau awal
pertunjukan wayang) (Tim Penyusun Balai Bahasa Yogyakarta, 2002: 757)
[3] Menurut
kamus Basa Jawa (Bausastra Jawa) yang disusun oleh Tim Penyusun Balai Bahasa
Yogyakarta 2002, giro artinya mbengok
(berteriak). Dengan demikian dibunyikannya gending giro bermaksud berteriak
memanggil penonton.
[4] Panjak atau lebih halus disebut pengrawit adalah orang yang bertugas
membunyikan instrument gamelan jawa.
[5] Menurut
konsep transendensi manusia Jawa, alam dapat dibagi menjadi 3, yaitu alam
inggil atau alam agung, tempat para Dewa atau manusia yang mendapat derajat
tinggi (karomah) dari Tuhan, kedua
alam madya, yaitu alam dunia yang
kasat mata, dan ketiga alam andap/asor,
yaitu alam para makhluk bekasaan (makhluk halus yang jahat/jelek) seperti
setan, iblis, gendruwo,banaspati dan lain-lain.
Akan tetapi ketiga alam tersebut harus dapat saling menjaga hubungan
yang serasi, sehingga tidak saling mengganggu.
[6]
Masyarakat Malang pada umumnya menyebut alat bunyi ini crecek atau cek-cek karena
sesuai dengan bunyinya; crek-crek. Dalam istilah pewayangan Surakarta dinamakan kepyak, yaitu lempengan besi atau perunggu yang ukurannya kurang
labih 15 X 20 cm, tebalnya sekitar 0,8 cm. lebih dari satu ditumpuk dan
dipukul. Benda ini akan mengeluarkan bunyi crek.
[7] Di dalam
pergelaran wayang topeng, secara tradisional panggung menggunakan back ground
dua lembar kain kelambu yang dipasang di kanan dan kiri, pertemuan kain
tersebut berada di tengah. Pertemuan kelambu ini sebagai pintu utama keluar
masunya penari antara ruang rias (rombongan/krombongan)
dan arena permainan (lihat Murgiyanto dan Munardi, 1979/1980, Supriyanto dan
Adipramono, 1995: 82, Hidayat, 2004: 103-105).
[8] Peperangan
dalam wayang topeng yang kalah tidak dibunuh, melainkan dibuang, dilempar.
Filsafatnya, bahwa kejelekan tidak akan mati, selalu berdampingan dengan
kebaikan. Kejelekan hanya dapat ditekan dan disingkirkan, tapi tidak dapat
hilang. (Chattam: wawancara 19 Februari 2007)
[9] Wawancara dengan Rasimun (meninggal tahun
2007 dalam usia 91 th.) tg. 21 Juli 2000.
[10] Untaian
genta kecil atau gongseng terdapat di
suku-suku primitive hampir diseluruh Asia dan
Afrika, sisa-sisa paham Samanisme. Bunyi genta ini yang identik dengan bunyi
gemericik tulang dan gigi yang diikatkan pada alat-alat perang suku primitive
seperti mandau, tombak, panah, sumpit dan lain-lain, merupakan musik magis yang
memberikan kekuatan daya hidup kepada pemakainya, bahkan berfungsi untuk
mengundang dan mengusir “roh moyang”.
[11] Genjot adalah panggung darurat yang
dipasang hanya pada saat ada pertunjukan, baik hajadan maupun tujuhbelasan”.
Panggung ini terbuat dari kayu atau bambu, setinggi kurang lebih satu meter,
panjang 6 meter dan lebar 4 meter. Genjot
memiliki 3 arah pandang, yaitu sisi kiri, depan dan sisi kanan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar