Selasa, 28 Januari 2014

TAHLIL SEBUAH SENI RITUAL KEMATIAN



TAHLIL SEBUAH  SENI RITUAL KEMATIAN PADA KEPERCAYAAN “ISLAM JAWA”
Tinjauan Teks  Dalam Konteks
Oleh: Soerjo Wido Minarto

Abstrak: Tahlil merupakan sebuah perhelatan doa secara bersama-sama oleh orang yang beragama Islam kelompok Nahdlatul Ulama berpaham Ahlussunnah wal jamaah. Tujuannya adalah untuk ritual kematian yang biasanya dilakukan pada waktu-waktu tertentu setelah hari kematian seseorang, seperti 3, 7, 40, 100, 1000 harinya dan seterusnya. Ditinjau dari wujudnya dan medianya, tahlil merupakan seni ritual yang memiliki simbul dan makna sebagai teks dalam konteks.

 

Kata Kunci: Tahlil, seni ritual Islam, ritual kematian.


Tahlil is a ceremonial pray done in groups by muslim’s Nahdlatul Ulama sensible Ahlussunnah wal Jamaah. Aims to death rituals done at certain times, like 3, 7, 40, 100, 1000 days dan so forth. Seen from the shape and media, tahlil is the ritual arts that has the symbol and meaning as the text in the context.

 

 Key words: Tahlil, Islamic ritual art, deat ritual.


 

Banyak cara untuk menyampaikan suatu ajaran tentang nilai-nilai luhur dalam kehidupan di alam fana ini oleh nenek moyang kita. Ajaran tersebut ditularkan melalui wejangan pitutur/petuah wujudnya antara lain berupa gerakan, lukisan, lambang/simbul, tulisan, tembang/syair dan pitutur yang bercerita atau dongeng. Upaya tersebut telah dapat dilihat dengan adanya kemajuan dalam berbagai bidang pembangunan yang kian pesat khususnya di bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. 
Negara kita adalah negara kesatuan yang berazaskan Pancasila dan UUD 1945, yang menjunjung tinggi pola gotong royong (patembayan). Dengan demikian salah satu komponen penting yang menunjang pembangunan adalah kualitas sosial kemasyarakatan yang meliputi: hubungan kekeluargaan, gotong royong/kerja sama, saling menghormati, nyaman hidup bertetangga di kampung “at home” dan rasa kebersamaan (familier) diantara sesama warga. Visualisasinya dapat diungkapkan melalui berbagai macam cara, diantaranya melalui perhelatan kegiatan tahlil[1] di dalam rangkaian ritual kematian.
Tahlil adalah upacara ritual keagamaan (Islam) dengan pembacaan ayat-ayat suci Al Quran, sholawat nabi dan do’a-do’a yang dilagukan disertai dengan gerakan-gerakan terencana dan spontanitas seirama dengan lagunya, sehingga menimbulkan rasa “nikmat” yang menghantarkan kekhusu’an di dalam ritual tersebut. Rasa khusu’ dan nikmat ini sebenarnya merupakan keindahan yang haqiqi didalam berkomunikasi antara makhluk dan khaliqnya. Jika dicermati, tahlil ini sebenarnya sebuah bentuk kegiatan kesenian yang bernuansa ritual, karena di dalamnya terdapat unsur musikal dari lagu-lagu yang dilantunkan, gerakan-gerakan “indah” yang structural dan sastra dari syair-sayairnya.
Di dalam pembicaraan ini kesenian tahlil dikaji melalui dua aspek kajian, yaitu kajian tekstual dan kontekstual. Kesenian tahlil sebagai tekstual yang relatif berdiri sendiri harus dibaca kemudian ditafsirkan, yang akan didekati dengan herminiotik (paradigma interpretative dan structural ala Levi-Strauss). Aspek yang ke dua memandang kesenian tahlil sebagai kontekstual yang lebih besar dan pendekatannya bersifat holistic atau menyeluruh. Maksudnya adalah, melihat keterkaitan kesenian tahlil dengan fenomena-fenomena lain dalam kebudayaan yang bersangkutan yang meliputi politik, ekonomi, sosial kemasyarakatan, teknologi, pariwisata bahkan perubahan-perubahan kondisi sosial.

PENGERTIAN DAN KONSEP TAHLIL
Tahlil adalah istilah yang digunakan untuk menamai sebuah kalimat toyyibah (indah/baik) wahyu dari tuhan Allah, yaitu kalimat “laailaaha illallah” artinya tiada tuhan selain Allah. Dengan demikian di dalam ritual tahlil, intinya adalah pada bacaan “laailaaha illallah”, yang dibaca sebanyak 100 kali atau lebih. Tentu saja disamping bacaan tersebut dalam ritual tahlil dilengkapi dengan bacaan cuplikan surat dari ayat-ayat suci Al Quran, solawat nabi dan do’a. struktur urutan bacaan di dalam ritual tahlil tidak ada tuntunan yang baku, karena ritual tahlil ini merupakan amalan yang diciptakan di Jawa, konon penciptanya adalah para wali yang popular dengan sebutan Wali Sanga.
Konsep tahlil ini intinya adalah berdzikir (mengingat) kepada Allah. Menurut Gus Qodir[2], sesungguhnya orang diperintahkan berdzikir atau selalu ingat kepada Allah, adalah untuk mengingat akan datangnya kematian. Jika orang selalu ingat kepada Allah dan kematian, maka perilakunya akan terkendali dan berusaha berbuat kebenaran dan kebaikan. Sebab kepercayaan Islam dan hampir semua agama meyakini adanya kehidupan setelah mati (dalam alam kubur dan alam akhir), adanya hari pembalasan, dan adanya akhir kebahagiaan (jannah, surga, nirwana) atau akhir kesengsaraan (naar, neraka). Tujuan akhir manusia (muslim) hidup adalah mati dalam kebahagiaan/kebaikan yang disebut husnul khotimah, sekaligus menghindari mati dalam kesengsaraan/keburukan yaitu suul khotimah.
Konon asal mula tahlil diadakan, bahwa ketika ada orang meninggal, yang melayat (ta’ziyah) datang ke rumah duka, di sana mereka ngobrol, atau nembang (macapat) atau bergurau ada yang main kartu bahkan berjudi dan mabuk-mabukan untuk mengusir rasa kantuk. Hal ini dilakukan tujuh malam berturut-turut, yang tidak jarang sering terjadi keributan bahkan perkelaian. Melihat sisi negatif ini, para wali bersepakat untuk berdakwah dan mengajak manusia untuk ikut membantu membahagiakan (ta’ziyah) yang tertimpa musibah dengan mendoakan yang meninggal dan yang ditinggalkan. Di samping itu ketika ada orang meninggal, sebanarnya merupakan peringatan bagi yang hidup agar senantiasa ingat (dzikir) kepada Sang Pencipta, dan ingat bahwa setiap manusia akan mengalami kematian. Untuk itu, dari pada main judi, minum-minuman keras, bergurau yang berlebihan lebih baik membantu membacakan do’a sambil berdzikir (ingat) pada Allah. Sebaik-baik berdzikir adalah membaca kalimat tahlil: “laailaaha illallah”. Dalam kebudayaan Jawa banyak mengungkapkan segala sesuatu melalui tembang (lagu), contohnya: semua karya sastra Jawa (semenjak Jawa kuno hingga Jawa baru) selalu diungkapkan melalui syair-syair tembang/kidung (umumnya tembang macapat). Mengapa dengan tembang? Sebab dengan tembang ini orang lebih mudah meresapi sehingga lebih memahami makna “sesuatu” dan lebih nikmat di dalam berkomunikasi, baik vertikal maupun horisontal. Tembang adalah bentuk media untuk mengungkapkan sesuatu melewati suara yang indah.  Demikian pula pembacaan tahlil, agar mudah memahami dan mudah berkomunikasi dengan yang dituju, maka diungkapkan melalui suara yang indah. Lama-kelamaan dakwah para wali ini menancap pada sanubari masyarakat dan dirasakan dalam hati menimbulkan kesejukan, kenikmatan dan intrans pada Sang Pencipta, maka ritual tahlil ini mentradisi hingga sekarang dengan penambahan fariasi di sana-sini. (penjelasan Imam Syafi’i dan Moch. Yusuf ta’mir masjid Asy Syuhada’ Malang).

TAHLIL SEBAGAI RITUAL KEMATIAN

Ritual merupakan suatu bentuk upacara yang berhubungan dengan beberapa kepercayaan atau agama dengan ditandai oleh sifat khusus yang menimbulkan rasa hormat yang luhur dalam arti merupakan pengalaman suci. (O’Dea, 1995:5-36 dalam Hadi, 2006: 31). Pengalaman tersebut mencakup segala sesuatu yang dibuat dan dipergunakan oleh manusia untuk menyatakan hubungan dengan Yang Maha Esa dalam alam transendendal. Hubungan atau perjumpaan tersebut bukan merupakan sesuatu yang umum atau biasa, tetapi sesuatu yang bersifat khusus dan istimewa, sehingga manusia membuat sesuatu cara yang pantas guna melaksanakan hubungan atau pertemuan tersebut, maka muncul berbagai bentuk ritual keagamaan, di antaranya adalah tahlil dalam ritual  kematian muslim. Inti dari ritual kepercayaan/keyakianan/agama merupakan ungkapan permohonan atau rasa syukur kepada yang dihormati atau yang berkuasa. Oleh karenanya, upacara ritual diselenggarakan pada waktu yang khusus, perbuatan yang luar biasa dengan dilengkapi berbagai peralatan ritus yang bersifat sakral (ubarampen sesaji).
Di dalam kebudayaan Jawa dikenal berbagai macam ritual, baik yang bersifat individu maupun kelompok. Adapun yang bersifat individu antara lain samadi yaitu berdiam diri berkomunikasi dengan sang Pencipta, sandingan weton yaitu ritual meletakkan sarana (benda ritual) bisaanya berupa bunga tiga macam yang lazim disebut kembang telon yang dimasukkan kedalam mangkok kecil atau gelas dan diberi air kemudian diletakkan di tempat khusus/di kamarnya pada saat hari dan pekan (pasaran) kelahirannya, misalnya Rabu Kliwon selama semalam suntuk. Sedangkan yang bersifat kelompok seperti bersih desa/nyadran yaitu ritual membersihkan kotoran yang mengganggu desa baik yang bersifat fisik seperti pencurian, perampokan dan lain-lain, maupun yang bersifat imajiner seperti gangguan roh jahat yang mengacau desa, visualnya bisa berupa wabah penyakit, bencana alam, banyak pertengkaran, perceraian, banyak orang mati dan lain-lain. Juga ritual kematian yang dilakukan secara bertahap sampai 1000 hari.
Semua aktifitas budaya orang Jawa selalu diyakini dan menggunakan perhitungan-perhitungan matematis yang berupa statistik/angka-angka. Masing-masing fenomena seperti hari, pasaran, suasana (masa), bulan, tahun dan lain-lain selalu diberi bobot angka. Pembobotan angka-angka ini bagi orang Jawa dinamakan neptu. Contoh hari Rabu bobot/neptu 8, Sabtu bobot/neptu 9, pasaran Kliwon, neptu/bobot 7, sedangkan pasaran Pahing, neptu/bobot 9. Masa (mangsa) di dalam keyakinan Jawa ada 12 sesuai dengan tahun, seperti mongsa ka-siji (kesatu), mongsa karo [loro (ke dua)], mongsa kasada  dan seterusnya.
Dalam ritual kematian juga dikenal perhitungan-perhitungan yang menyertai saat manusia mati (tiba gěblakke) dihitung hari pertama, kemudia hari ke tiga (tělung dinane), tujuh hari (pitung dinane), 40 hari (patang puluh dinane), seratus hari (satus dinane), satu taun (pěndhak sěpisan), dua tahun (pěndhak kapindho) dan seribu hari (sewu dinane). Bagi yang beragama Islam dan berfaham Nahdlatul Ulama, ahli sunnah wal jamaah (kelompok pengikut perilaku nabi), melaksanakan upacara kematian dengan perilaku ritual, yaitu selamatan (memberikan sedekah berupa makanan) kepada tetangga kanan kiri, dan pada malam harinya, semenjak hari ke satu sampai hari ke tujuh dilaksanakan ritual tahlil. Setelah hari ke tujuh tahlillan selesai, namun pada hari-hari tertentu yang sesuai dengan perhitungan, seperti 40 hari, 100 hari, tepat 1 tahun, tepat 2 tahun dan 1000 harinya selalu dilakukan selamatan dan pada malam harinya dilaksanakan ritual tahlil.

KESENIAN TAHLIL SEBAGAI TEKS

Ketika seorang peneliti sudah berada di lapangan, maka akan dihadapkan beberapa permasalahan yang terkadang sulit untuk mengambil keputusan secara tegas, lebih-lebih yang berkaitan dengan kategori-kategori yang yang bersifat, berkarakter, berbentuk, bermakna yang hampir sama. Ahimsa (1997:2) menjelaskan behwa para ahli antropologi merasa kesuliatan ketika berada di lapangan membedakan mana yang seni dan yang bukan seni, sebab kategori seni atau kesenian adalah kategori-kategori dari peneliti. Kategori-kategiri ini tidak selalu ada dalam bahasa atau kosa kata masyarakat yang diteliti. Di berbagai masyarakat non-Barat, seperti India, Tailan Cina, Afrika, Indonesia dan lain-lain, yang dikatakan seni atau kesenian hampir selalu terkait dengan ritual kepercayaan atau upacara keagamaan. Oleh karena itu, walaupun para antropolog menggunakan istilah seni atau kesenian untuk menunjuk fenomena tertentu, namun sebenarnya mereka tidak terlalu yakin akan kebenaran konsep tersebut. Pemakaian konsep itu sekedar untuk mempermudah berlangsungnya diskusi tentang fenomena tersebut. (Turner dalam Ahimsa 1997:3).
Merujuk pada konsep tersebut di atas, maka saya mengajak untuk bersepakat, bahwa kajian tahlil ini dipandang sebagai fenomena seni-budaya pada masyarakat muslim di Jawa. Mengapa seni? Karena saya berkesimpulan bahwa seni merupakan sebuah alat komunikasi (Abdullah 1981; 8-12) yang paling universal, unik dan selalu hidup. Menurut pendapat saya, setidaknya mengandung 5 unsur utama, yaitu karya manusia, ada unsur ekspresi, atau ungkapan jiwa, ada media ungkapnya (gerak, rupa, bunyi, akting, vokal, kata-kata), ada unsur aturan atau irama dan menimbulkan kenikmatan, kesenangan, kesyahduan, kepuasan dan lain-lain yang istilah-istilah tersebut jika dirangkum dalam satu kata adalah indah. Dengan bahasa difinitifnya, seni adalah hasil karya ekspresi manusia yang diungkapkan melalui media (gerak, rupa, bunyi, acting, vokal, kata-kata) yang berirama (aturan)  dan indah (Wido. 2005: 2). Kesenian Tahlil nampaknya dapat memenuhi kreteria tersebut. Sebab jelas, bahwa tahlil hasil karya ekspresi orang muslim Jawa, diungkapkan melalui suara (semakin merdu semakin nikmat), syair-syair pujian dan permohonan yang menyejukkan, gerakan yang seirama dengan lantunan suara sesuai dengan dinamikanya dan kesemuanya menimbulkan kenikmatan, kekhusyukan yang sebenarnya adalah keindahan yang haqiqi.
Banyak hadits-hadits shoheh yang menjelaskan tentang kesenian di jaman Rosulullah Muhammad saw, bahkan beliau sendiri menganjurkan kepada shahabatnya untuk melegakan hati (refreshing), diantaranya melalui kesnian. Pernyataan ini diungkapkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Ibnu Syihak Az Zuhri, Nabi bersabda: “legakanlah hatimu sekali-kali” maksudnya, Nabi menganjurkan untuk melakukan segala perbuatan yang menyenangkan atau memuaskan (mubah) asalkan tidak bertentangan dengan larangan Allah. Pada hadits lain, riwayat Imam Ahmad, Bukhori dan Muslim dari Aisyah ra. (isteri Nabi), kata Aisyah: “aku pernah mengawinkan seorang wanita dengan seorang laki-laki dari kalangan Anshar. Lalu Nabi bersabda: “Hai Aisyah, tidak adakah padamu hiburan (nyanyian) karena sesungguhnya orang-orang Anshar senang dengan hiburan”. Hadits ini secara tegas memberitakan bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad saw. memiliki toleransi yang besar terhadap tradisi suatu ummat/bangsa, bahkan beliau menganjurkan membahagiakan hati orang lain dengan memberikan kesenangannya selagi tidak melanggar hukum syara’ sehingga menimbulkan hal-hal yang negatif. Dalam kitab suci Al Quran surat Al Lukman ayat 19, Allah berfirman: ”...dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah bunyi keledai. Imam Al Ghozali mengambil pengertian ayat ini dari mafhum muklalafah, bahwa Allah memuji suara yang baik/merdu/indah (Baghdadi, 1991: 33). Dengan demikian jelaslah bahwa ayat tersebut, Allah menyukai keindahan (seni). Kemungkinan inilah sebabnya bahwa segala ritual keagamaan baik wajib maupun sunnah, selalu disertai dengan perilaku dan bentuk-bentuk berupa simbol-simbol (suara/bunyi, gerak, rupa dan syair atau kata-kata)  yang indah, seperti adzan, sholat, diba’, manakib, istighotsah dan sebagainya termasuk tahlil pada ritual kematian. Perilaku ritual melalui keindahan (seni) ini dilakukan agar lebih nikmat dan khusu’, sehingga perasaan untuk berkomunikasi dengan Sang Khaliq lebih mudah tersampai.
Memandang kesenian tahlil sebagai tekstual dalam ilmu Antropologi biasa disebut herminiotik, secara garis besar dapat dibedakan menjadi 2, yaitu; (a) telaah simbolik dan (b) telaah struktural. (Ahimsa 1997:3). Sekalipun demikian penggolongan ini tidak terlalu ketat, karena sebenarnya cara ini digunakan untuk memudahkan analisis, sehingga dapat membedakan dengan baik asumsi-asumsi dasar yang melandasinya. Di dalam analisis tekstual tahlil ini, keduanya akan melebur manjadi satu kesatuan yang saling mengisi. Di dalam menganalisis tekstual kesenian tahlil ini saya menggunakan teori struktural Levi Strauss, yang intinya bahwa struktur adalah model yang dibuat untuk memahami atau menjelaskan gejala kebudayaan yang dianalisisnya, yang tidak ada kaitannya dengan fenomena empiris kebudayaan itu sendiri, dan merupakan relasi-relasi yang berhubungan satu sama lain yang saling mempengaruhi, atau struktur adalah relations of relations atau sistem of relations (Strauss, 1963 dalam Ahimsa, 2001: 61-63) dalam analisis struktural, struktur ini dibagi menjadi dua macam, yaitu: pertama; struktur lahir atau struktur luar (surface structure), dan struktur batin atau struktur dalam (deep structure). Mengingat amat luasnya teks dalam tahlil, maka dalam paparan ini akan dibatasi hanya pada makna bilangan hari, makna sebagian kecil mantra, makna keindahan lagu, gerak dan perilaku penyertanya.
 Adapun struktur luar tahlil (surface structure) yang biasa dilakukan dalam ritual kematian adalah sebagai berikut.

1. Pra Tahlil.
Para jamaah (peserta) datang dengan uluk salam: assalamualaikum (semoga kalian semua selamat) yang disambut oleh tuan rumah: waalaikum salam (dan semoga selamat juga untuk kalian) dilanjutkan dengan bersalam-salaman. Jika sudah banyak tamu, yang datang belakangan disamping bersalaman dengan tuan rumah, juga manyalami tamu-tamu yang datang duluan, kemudian duduk melingkar di atas tikar atau karpet. Perilaku tersebut memiliki makna (deep structure) bahwa uluk salam adalah mendoakan selamat kepada semua yang mendengar ucapan assalamualaikum, tersebut. Pengertian selamat disini bukan sekedar terhindar dari marabahaya saja, tetapi selamat untuk fisik dan rohani (hati), maka dilengkapi dengan berjabat tangan (saling mengiklaskan dan menyambung ikatan hati atau lazim disebut silaturahmi). Artinya selamat ini adalah harapan untuk dihindarkan dari gangguan/marabahaya fisik dan rohani (termasuk selamat dari perbuatan dosa), baik didunia maupun di akherat yaitu terhindar dari siksa api neraka. Karena begitu vitalnya makna selamat ini, maka diwajibkan menjawab bagi yang mendengar uluk salam, dan ada do’a khusus yang dianjurkan agar manusia selamat, yaitu donga slamět.          

2. Pelaksanaan Tahlil
Prakata pembukaan, berisi ucapan terima kasih dari tuan rumah atau yang mewakili dan menyampaikan maksud diadakannya ritual tahlil ini untuk mendoakan almarhum/almarhumah siapa dan hari ke barapa (3, 7, 40, 100, 1000 hari atau peringatan meninggal tahun ke berapa). Menurut kepercayaan Jawa angka-angka pada bilangan hari tersebut, merupakan angka-angka sakral atau wingit, maka keberadaannya selalu terkait dengan hidup dan kehidupan manusia.
Bilangan tiga melambangkan cahaya kehidupan, nur cahya, nur rasa dan nur buat (penjelasan Hartono tokoh rohaniwan Jawa aliran Sapta Darma, diijinkan dikutip). Oleh karena itu, orang mati setelah dibungkus kain kafan diikat 3 bagian yakni bagian atas kepala (nur cahya), bagian tengah-tengah/badan (nur rasa) dan di bawah kaki (nur buat). Disamping itu, orang mati pada hari ke 3 merupakan awal berpisahnya 3 anasir dalam kehidupan manusia, yaitu raga nyawa lan sukma. Raga adalah wadah/fisik, nyawa adalah power/penggerak hidup seperti bernafas, bergerak, berasa indrawi, dan sukma adalah inti dari kehidupan, yaitu aku yang mengatakan adanya sifat dan dzat. Dengan demikian manusia dikatakan hidup yang normal selalu terdiri dari tiga kesatuan raga nyawa lan sukma. Manusia tidak dapat hidup dialam dunia tanpa raga, sekalipun nyawa dan sukma bersatu. Manusia tidak dapat dikatakan hidup normal jika hanya terdiri dari raga dan nyawa saja. Sebab bisa jadi manusia masih bernafas, tetapi tidak bergerak atau bereaksi, seperti orang koma, sekaratul maut, atau bereaksi yang tidak terarah seperti orang gila, orang kalap (intrance). Oleh karena inilah dalam ritual orang Jawa ada istilah ngrogoh sukma, yaitu fisik dan nyawanya berada di suatu tempat sedangkan sukmanya berkeliaran kemana-mana. Dengan demikian sukma ada jika ada wadah dan penggeraknya. Tidak akan terjadi sukma dan raga menyatu tanpa nyawa. Peristiwa awal berpisahnya tiga anasir inilah yang ditandai dengan ritual agar perjalanan masing-masing anasir ini dapat selamat menempuh tujuannya masing-masing yang harapannya menuju Sang Haliq. Oleh sebab masih awal perpisahan ini, sering orang mengatakan yang mati sering pulang dan yang ditinggalkan masih sering bermimpi ketemu disebabkan belum sepenuhnya sukma iklas berpisah.    
Tujuh hari orang meninggal atau lazim disebut pitung dinane. Tujuh hari ini ditandai dengan ritual, sebab bilangan tujuh dalam Islam khususnya Islam Jawa’ (Woodward, 2004: 364) amat penting. Bilangan tujuh tersebut memiliki kekuatan dan kedudukan secara khusus. Seperti ayat pitu yaitu sebutan sebuah surat dalam kitab suci Al Quran, yaitu surat Al Fatehah yang jumlah ayatnya ada tujuh. Surat Al Fatehah ini amat pentung kedudukan maupun fungsinya. Contonya setiap sholat salah satu syarat sahnya adalah membaca Alfatehah, setiap do’a /permintaan afdol (keutamaan)nya diawali dan ditutup dengan membaca Al Fatehah. Bahkan surat Al Fatehah ini dapat berdiri sendiri sebagai sebuah do’a khusus (mantra) untuk keperluan yang khusus pula termasuk pula dalam setiap ritual kematian selalu dibacakan ayat pitu ini. Disamping itu angka tujuh terletak pada jumlah hari dalam satu minggu, secara fisik manusia yang telah meninggal dalam waktu tujuh hari jasat mulai pecah, anasir-anasir fisik sudah menutup, sukma mulai menjauh dari yang ditinggalkan, sekalipun hasrat pulang masih ada, namun sudah belajar nglilakake’ (merelakan/mengikhlaskan).
Empat puluh hari, bilangan ini merujuk 5 x 8 dimana 5 adalah gambaran sedulur 4, 5 pancer yaitu kesatuan empat nafsu (amarah, aluwamah, sufiyah dan mutmainnah) dengan aku, sedangkan 8 adalah bilangan windu. Waktu 40 hari ini jasad manusia sudah mulai hancur menyatu dengan tanah kecuali tulang dan sukma juga mulai melupakan, sekalipun sesekali masih inguk-inguk (mengamati dari jauh) yang kadang-kadang datang dalam mimpi, sedang yang ditinggalkan sesekali masih teringat bahkan ada rasa kerinduan.
Seratus hari adalah batas perpisahan yang sesungguhnya, sehingga setelah lewat 100 hari umumnya yang ditinggal sudah melepaskan dan sukma sudah benar-benar meninggalkan jasad. Pada waktu ini jasad manusia kecuali tulang sudah benar-benar menyatu dengan tanah. Umumnya jika sudah 100 hari yang hidup sudah menemukan jawaban dari berbagai pertanyaan yang diberikan oleh orang yang akan meninggal, misalnya kenapa meninggal di sini, kenapa yang merawat saya dst. Pěndhak 1, pěndhak 2, yaitu peringatan satu tahun atau 2 tahun semenjak meninggal untuk mengingatkan menuju 1000 hari.
Batas akhir kesempurnaan orang mati adalah 1000 hari, pada waktu ini jasad dianggap sempurna menyatu dengan tanah, sukma sudah tenang di alam penantian. Maka bagi orang Jawa jika sudah lewat 1000 harinya, dikatakan wis ěntek slamětane, karena seluruh jasat sudah lebur dan menyatu  dengan tanah. Secara umum, manusia yang meninggal sudah lebih dari 1000 harinya, sudah tidak lagi disinggung-singgung, kecuali jika dia memiliki keistimewaan yang hebat, seperti ilmunya bermanfaat, amalannya yang soleh, atau anaknya yang baik-baik semua sehingga dikenang orang. Atau sebaliknya karena super negatifnya, sehingga dicaci orang.
Pambacaan surat Yasiin (83 ayat) boleh ada boleh tidak. Inti dibacakannya surat Yasiin ini agar arwahnya tenang menghadap Allah dan iklas untuk menerima segala perbuatanya di dunia.
Pembacaan ritual tahlil yang dipimpin oleh seorang imam tahlil diutamakan yang bersuara bagus, kharismatik dan dihormati masyarakat sekitarnya, serta pengucapan laval bahasa Arabnya fasih. Hal ini disyaratkan oleh jamaah (kelompok), sebab imam merupakan panutan  yang dicontoh dan ditaati oleh jamaahnya. Jika imam suaranya tidak merdu, maka akan mengurangi kekhusukan dan kenikmatan ritual, demikian pula jika imamnya tidak fasih, maka dalam hati jamaahnya merasa kurang pas.
Di dalam ritual tahlil, tidak ada struktur baku yang harus ditaati. Sekalipun banyak buku saku tuntunan tahlil, namun banyak sekali perbedaan-perbedaannya, sehingga tidak semua jamaah/kelompok/daerah mau menggunakan tuntunan buku saku tersebut. Ada sebagian kelompok yang struktur bacaan ritual tahlil ini diawali surah Al Fatihah kemudian langsung kalimat tahlil laailaaha illallah dan pada akhir bacaan ritual adalah Al Ikhlas surat Al Falaq, surat An Nas dan ditutup dengan do’a. Namun demikian di Malang, umumnya bacaan/mantra dalam ritual tahlil diawali dengan surat no. 1 dalam Al Quran, yaitu surat Al Fatihah dengan suara pelan dan lagunya bebas walaupun ada beberapa daerah yang dituntun oleh imam. Surat ini wajib dibaca dalam acara riual apa saja, karena surat alfatihah ini isinya merupakan abstraksi dari segala permohonan dan ucapan syukur, dilanjutkan dengan surat Al Ikhlas (3x atau 11x, atau 40x), surat Al Falaq, surat An Nas masing-masing sekali atau 3 kali. Kemudian mengulangi surat Al Fatihah dilanjutkan awal, pertengahan dan akhir surat Al Baqoroh, membaca sholawat nabi, membaca istighfar (astaghfirulla hal ‘adzim) 100x baru membaca kalimat tahlil: laailaaha illallah 100x. dilanjutkan membaca tasbih (subhanallahi wabihamdihi, subhanallaahil ‘adzim) 10x dilanjutkan membaca solawat dan diakhiri membaca do’a khusus tahlil. Dengan demikian inti dari bacaan tahlil adalah laailaaha illallah. Ini sesuai dengan firman Allah dalah Al Quran, yang berbunyi afdul dzikkri fa’lam annahu laailaaha illallah ( sebaik-baik orang ingat (dzikir) kepada Allah adalam mengucapkan kalimat laailaaha illallah. (penjelasan KH. Abdul Qodir, da’i dari Lawang Malang yang juga pengasuh tetap Mimbar Agama Islam di TV3 Malaysia setiap 3 bulan sekali, diijinkan untuk dikutip).  Setiap surat atau ayat-ayat yang dibaca memiliki lagu tersendiri, irama yang berbeda dan dinamika bunyi yang berfariasi. Lebih-lebih bacaan mantra/ayat yang diulang-ulang hingga intrance dan menimbulkan rasa nikmat” dan tertanam keyakinan bahwa tujuannya tersampai, serta merasa berkomunikasi langsung dengan haliqnya. Contohnya pembacaan istighfar (permohonan ampun kepada Allah) yang diulang 100 kali. Sesuai dengan isinya, yaitu permohonan ampun kepadaNya, maka suasananya sedih dan iramanya sedikit lambat. Selaras dengan suasana dan irama tersebut, maka gerakannya pun juga menyesuaikan sambil menggoyangkan badan dan atau menggerakkan kepala ke kanan dan ke kiri seirama dengan lagu. Berbeda dengan pembacaan kalimat tahlil yang isinya ikrar bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Pembacaan ayat ini bersuasana yakin dan semangat, maka lagunya tegas, iramanya sedikit meningkat, demikian pula gerakannya yang didominasi gerakan kepala menoleh kanan dan kiri, sedangkan badan cenderung diam atau mengimbangi gerak kepala dan jari-jari tangan ikut menghitung, atau menghitung dengan tasbeh. Sementara itu untuk menambah kenikmatan dan kekhusukan, mata dipejamkan atau diantara memejam dan membuka (Jawa: ngrangin).
Do’a untuk mengahiri bacaan ritual tahlil ini dibacakan do’a, umumnya dilakukan oleh imam tahlil atau diserahkan kepada yang dianggap tua baik usia maupun ilmunya. Secara umum lagu bacaan do’a adalah datar tanpa dinamika, walaupun ada beberapa yang membacakan do’a dengan dilagukan. Jika pembaca do’a suaranya merdu dan lagunyaenak, maka akan membawa kenikmatan tersendiri, bahkan bisa menangis yang meng-amini.  Namun jika tidak, lebih baik tidak berlagu, datar tetapi jelas bacaannya dan melemahkan suaranya. Tanpa diperintah, secara konfensional, jika dibacakan do’a, semua jamaah akan menggerakkan tangannya ke atas sambil menengadahkan ke lagit. Sedangkan gerak kepalanya sesuai dengan kenikmatyakinan masing-masing, ada yang mendongak ke atas, ada pula yang malah menunduk. Jika intrace dalam do’a, maka dapat dipastikan memejamkan mata bahkan sambil melelehkan air mata (Hadi, 2005: 5 – 28). Namun jika rasa tidak nikmat dan tidak tersentuh kalbunya, maka do’a hanya sebagai pelengkap saja dan cenderung tidak mengacuhkan (sekalipun perilakunya sama dengan yang lain) namun cenderung ingin segera selesai.
Tata busana yang dikenakan di dalam ritual tahlil, umumnya menggunakan kopyah hitam atau putih, berbaju takwa (baju muslim laki-laki), berkain sarung atau bercelana panjang. Sekalipun warnanya suka-suka, namun modelnya hampir semua sama. Pemakaian baju takwa tersebut merupakan lambang bahwa jika orang hidup menginginkan kebahagiaan di dunia dan akherat, maka pakailah baju takwa. Maksudnya adalah, pakaian orang hidup ada dua macam, yakni pakaian raga adalah busana, dan pakaian hati/jiwa adalah iman dan taqwa. Keduanya harus selaras, sehingga yang di luar (raga) mencerminkan apa yang ada di dalam (hati/jiwa). Hal ini sinkrun dengan pepatah bahasa Jawa (unen-unen): ajining raga saka busana, ajining diri saka lathi, (kehormatan raga karena busana, kehormatan harga diri karena ucapan).  

KESENIAN TAHLIL SEBAGAI KONTEKS

Tahlil sebagai suatu gejala sosial yang muncul dalam konteks tertentu memiliki hubungan dengan berbagai fenomena lain dalam kehidupan masyarakat, seperti aktivitas politik, pariwisata, ekonomi, teknologi, ekologi, berbagai kondisi perubahan yang tengah terjadi dan lain sebagainya. Karena keterbatasan waktu, maka pembahasan konteks ini akan fokuskan pada keterkaitan antara seni ritual tahlil dengan politik, ekonomi dan pariwisata.

1.      Tahlil dan Politik
Telah dijelaskan di atas, bahwa seni ritual tahlil adalah rangkaian upacara ritual kematian bagi orang Jawa yang beragama Islam. Namun tidak semua yang beragama Islam melaksanakan ritual tahlil karena ada beberapa faham/aliran yang tidak memperbolehkannya dengan alasan bid’ah atau mengada-ada. Kelompok yang melaksanakan upacara tahlil ini adalah aliran Nahdlatul Ulama (NU), mereka mengkleim kelompok “ahlus sunnah wal jamaah” (kelompok pengikut perilaku Nabi Muhammad saw) yang mengikuti jejak Wali Sanga. Semula tahlil hanya dikhususkan sebagai acara ritual kematian, pada suatu ketika ada ritual tahlil tetapi tidak ada imamnya karena semua tidak hafal bacaannya. Maka kemudian timbul gagasan untuk melatih hafalan bacaan tahlil, dibentuk kumpulan tahlil yang dilaksanakan seminggu sekali, umumnya hari Kamis malam Jumat. Perkembangan berikutnya, tahlil merupakan organisasi massa yang bergerak di dalam bidang kerohanian Islam dabawah naungan organisasi yang lebih besar yaitu Nahdlatul Ulama.
Nahdlatul Ulama adalah kelompok sosial keagamaan yang memiliki faham tertentu dan memiliki massa dan penganut yang paling besar di negeri ini. Sebagai organisasi sosial keagamaan (walaupun secara terselubung berfungsi sebagai organisasi masa politik), tidak mengeluarkan kartu anggota. Oleh karena itu, untuk menjadi pimpinan organisasi di tubuh NU tidak perlu mendaftarkan diri sebagai anggota, cukup seseorang sebagai ketua/pengurus tahlil sah sebagai anggota NU dan berhak dipilih dan memilih. Kenapa demikian? Karena seni ritual tahlil telah menjadi budya dan identitas NU. Oleh karena itu, tidak terlalu sulit untuk mengumpulkan massa NU, tidak terlalu sulit untuk menyampaikan program-program NU, cukup melalui jamaah tahlil. Bahkan dalam daerah tertentu, untuk mengundang warga rapat RT/RW merasa kesulitan, tetapi tanpa diundang jika jadwal tahlil yang dating selalu penuh. Maka untuk menyampaikan program RT/RW dan pengumuman pemerintah lebih efektif melalui jamaah tahlil.
Kiraya telah dipahami bersama, bahwa NU bukan organisasi sosial politik, tetapi memiliki anak kandung parati politik, yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Karena tahlil milik NU dan PKB juga anaknya NU, maka untuk kampanye sangat efektif melalui tahlil.

2.      Tahlil dan Ekonomi
Pelembagaan kesenian tahlil di dalam masyarakat sebagai suatu perkumpulan aktivitas patembayan, yaitu bersifat kerukunan, kekerabatan sosial yang bersifat keagamaan. Perkumpulan-perkumpulan semacam ini, sering disebut majelis ta’lim (forum peningkatan ilmu agama untuk meningkatan keimanan). Pelaksanaan aktivitas pelembagaan tahlil ini berupa pertemuan secara rutin seminggu sekali (ditambah dengan insidental) dengan tempat berpindah-pendah dari rumah ke rumah untuk melaksanakan tahlilan. Semula masing-masing anggota membayar iuran sekedarnya untuk beaya konsumsi. Dalam perkembangan berikutnya, iuran ini berubah menjadi arisan antar anggota. Dimana yang mendapat arisan dipotong sebagian untuk organisasi dan wajib ketempatan acara tahlilan. Semakin lama dana organisasi semakin besar. Kemudian dipinjamkan kepada anggota tanpa bunga, tetapi memberikan sodakoh (semacam bunga sekedarnya). Lama kelamaan menjadi koperasi yang bersifat simpan pinjam bahkan menjadi koperasi primer bagi anggotanya. SHUnya sering tidak dibagikan melainkan digunakan untuk rekreasi spiritual (umumnya ziarah ke makam ulama/wali) yang dilaksanakan rutin tahunan.

3.      Tahlil dan Pariwisata
Tahlil yang sudah jelas milik kelompok Nahdlatul ulama, sering dimanfaatkan oleh “otoritas spiritual”, seperti ulama-ulama besar umumnya kyai kharismatik. Jika kyai kharismatik ini meninggal dunia, maka sanak keluarga maupun murid-muridnya selalu memperingati dengan istilah khaul yang rutin setiap tahun dan dilaksanakan secara besar-besaran sesuai kharismanya. Salah satu contoh adalah khaul guru besar Prof. Dr. Syeh Abdullah Bil Faqih bin Syeh Abdul Qodir yang diperingati setiap tahun dan selalu dihadiri santri-sntrinya seluruh Indonesia bahkan ada yang dari mancanegara. Salah satu acaranya adalah tahlil akbar. Karena pelaksanaannya rutin dan dihadiri ribuan orang, maka oleh dinas pariwisata acara tersebut menjadi agenda wisata.

PENUTUP
            Pembahasan ini masih memerlukan diskusi yang panjang sehingga menemukan manfaat dalam kehidupan masyarakat. Pembahasan tentang teks dalam konteks ternyata dapat melihat secara holistik sebuah fenomena seni, yang berkembang di masyarakat dan dapat bermanfaat sebagai pendalaman ilmu maupun realitas sosial.

Rujukan
Abdullah, Taufik. 1980/1981. Disekitar Komunikasi Ilmu dan Seni. Analisis Kebudayaan  2: 8 – 12.

Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2001. Strukturalisme Lavi – Staruss, Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta: Galang Press.
­­­­­­­­­­­­____________ 1997. Sebagai Teks dalam Konteks. Seni dalam Kajian Antropologi Budaya. Makalah Seminar Wacana Seni Abad XXI. Diselenggarakan oleh Majalah Seni di Yogyakarta, 26 Juli 1997.

Baghdadi, Al Abdurrahman. Seni Dalam Pandangan Islam (seni vokal, musik dan tari) Jakarta: Gema Insani Press.

Hadi, Sumandiyo. 2006. Seni Dalam Ritual Agama. Yogyakarta: BUKU PUSTAKA.

Hadi, Sumandiyo. 2005. Sosiologi Tari Sebuah Telaah Kritis yang Mengulas Tari 
           dari  zaman ke zaman: primitif, tradisional, modern hingga Kontemporer.       
           Yogyakarta: BUKU PUSTAKA
Minarto, Soerjo Wido, 2005. Pengetahuan Dasar Tari Drama. Malang: Universitas Kanjuruhan.

Woodward, Mark, 2004. Islam in Java: Normative Piety and Misticism (diterjemahkan oleh Harius Salim: “Islam Jawa: Kesalehan Normatif versus Kebatinan”) [Yogyakarta: LKiS cetakan ke 2,]: 364.


[1] Tahlil adalah rangkaian upacara ritual kematian bagi orang Jawa yang beragama Islam. Namun tidak semua yang beragama Islam melaksanakan ritual tahlil karena ada beberapa faham/aliran yang tidak memperbolehkannya dengan alasan bid’ah  atau mengada-ada. Kelompok yang melaksanakan upacara tahlil ini adalah aliran Nahdlatul Ulama (NU), mereka mengkleim kelompok “ahlus sunnah wal jamaah” yang mengikuti jejak “Wali Sanga”.
[2] Kiyai Haji Abdul Qodir da’i dari Lawang Malang yang juga pengasuh tetap Mimbar Agama Islam di TV3 Malaysia setiap 3 bulan sekali

MEMBANGUN WIRAUSAHA DALAM KESENIAN



MEMBANGUN WIRAUSAHA DALAM KESENIAN TRADISIONAL DI MALANG RAYA[*]

Oleh: Cak Wido[†]

Pocung
Ngelmu iku
Kelakone kanti laku
Lekase lawan kas
Tegese kas nyantosani
Setya bodya pangekesing durangkara


Latar Belakang
Malang sebagai wilayah geografi, semula adalah satu wilayah administratif, yaitu Kadipaten Malang yang sekaligus wilayah geografi budaya. Pada perkembangan terakhir daerah Malang ini dibagi mejadi tiga wilayah administratif, yaitu :
1.      Kabupaten Malang
2.      Kota Malang
3.      Kota Batu
Ketiga wilayah administratif tersebut lazim namai MALANG RAYA, tetapi masih dalam satu wilayah geografi budaya MALANG. Hal ini dapat dibuktikan dengan kesamaan perilaku budaya, seperti bahasa, tingkah laku, logat umum, pakaian dan lain-lain termasuk rumpun keseniannya. Dengan demikian di dalam teba kesenian Jawa Timur, Malang merupakan suatu kelompok etnis yang memiliki spesifikasi tersendiri yang tidak dipunyai oleh etnik/daerah lain.  Kehidupan kebudayaan etnik/tradisi daerah (termasuk seni tradisi)  bertahan dan berkembang karena mendapat dukungan masyarakatnya yang berupa kemampuan untuk melakukan apresiasi dalam arti penghayatan dengan kesadaran estetiknya (Sutopo,  1991). Hal ini dapat dipahami karena budaya khususnya seni tradisi merupakan salah satu bagian esensial dari presentasi histories akan masa lampau dari kelompok etnik tertentu (Edi Subroto, 1991:4).
MALANG yang menurut tafsiran sejarah merupakan bekas kerajaan besar (konon bernama Kajuruhan) dengan peninggalan artefak berupa candi Badut yang berada di kelurahan Karangbesuki, kecamatan Sukun kota Malang. Ditinjau dari kondisi empirik (kenyataan yang ada),  di kota Malang terdapat akulturasi tiga etnis besar, yaitu; (a) etnis Jawa tengahan, (b) etnis asli AREMA, (c) etnis Madura. Disamping ke tiga etnis tersebut, masih ada beberapa etnis lain, tetapi tidak terlalu memberikan pengaruh secara seknifikan, seperti Cina, Sunda, Minang dan lain sebagainya. Ketiga etnis (Jawa Tengahan, Arema, Madura) tersebut memiliki pengaruh terhadap semarak tumbuh dan perkembangan kesenian tradisional di kota Malang (Wido, 2006: 2 – 6).

Apakah Seni Itu?
Menurut teori mimesis seni merupakan salinan atau tiruan alam. Maksudnya, seni adalah usaha untuk menyalin “alam” ke dalam berbagai macam media. Kesenian yang tertinggi adalah yang paling setia menyerupai alam (Abdullah, 1981:8).
Sedangkan salah satu pendapat yang cukup populer mengenai pengertian seni, adalah “seni identik dengan keindahan”. Artinya, seni itu selalu menampilkan keindahan, atau dengan rumusan lain, keindahan yang dibuat oleh manusia adalah seni (Aj. Soehardjo, 1990:5).
Alexander Baumgarten, filosof yang hidup pada tahun 1714 sampai dengan 1762, berpendapat bahwa seni adalah keindahan. Ia tidak sependapat jika suatu karya yang ekspresif itu melahirkan bentuk-bentuk wujud yang bertentangan dengan rasa kesenangan dan keindahan.
Selanjutnya Benedetto Croce menegaskan bahwa seni adalah intuisi. Penciptaan keindahan pada hakekatnya adalah proses kejiwaan. Pendapat ini didukung oleh Ki Hadjar Dewantara yang mengatakan bahwa seni adalah: segala perbuatan manusia yang timbul dari hidup perasaan yang bersifat indah hingga dapat menggerakkan jiwa perasaan manusia.
Adapun menurut sastrawan ternama Sutan Takdir Ali Syahbana, seni adalah penjelmaan riak alur dan gelombang perasaan. Pendapat ini ditegaskan oleh Marsudi (1975) bahwa seni merupakan gelombang kalbu keindahan untuk memenuhi kehendak manusia/perwujudan ide.
Di samping beberapa pendapat tersebut di atas, masih banyak lagi pendapat dari para pakar/ilmuwan mengenai batasan seni tersebut. Namun uraian tersebut di atas dapat dimengerti bahwa seni setidaknya mengandung 5 (lima) unsur, yaitu; karya manusia, ekspresi/rasa, media, irama/keteraturan dan keindahan. Dengan demikian jika diringkas, Seni adalah hasil (karya) ekspresi manusia yang diungkapkan melalui media yang berirama dan indah. Sedangkan konsep keindahan itu sendiri, adalah: sesuatu yang dapat menimbulkan getaran perasaan, menikmatkan, menyenangkan, memuaskan, membahagiakan, pada orang lain.

Tradisional
Tradisi (yang melekat pada seni) sering dihubungkan dengan pengertian adat, yang berkonotasi sesuatu (peristiwa,kegiatan) yang berlaku berulang ulang, berlangsung sejak waktu yang relatif lama dengan bentuk yang nyaris tidak berubah. Dengan kata lain, Tradisional adalah “sesuatu” yang berusia panjang dan ditularkan secara turun temurun (Wido, 2007: 2-3). Maka Seni Tradisional adalah: Seni yang berusia panjang dan ditularkan secara turun temurun Dari pernyataan tersebut tersirat beberapa unsur pengertian, yaitu:
a.       Usia.
Seni tradisi biasanya dilahirkan pada waktu yang relatif tua. Saking tuanya kadang kadang tidak diketahui lagi kapan, dimana, bagaimana dan oleh siapa seni tersebut dilahirkan.
b.      Mutu.
Berkaitan dengan usianya yang relatif tua, kesenian ini mampu bertahan hidup melalui kristalisasi zaman serta seleksi masyarakat yang ketat. Dengan demikian kesenian ini pada dasarnya telah teruji mutunya.
c.   Komunal.
Kesenian ini lahir dilingkungan, diseleksi, didukung dan digunakan untuk kepentingan masyarakat baik untuk keperluan yang berhubungan dengan agama, kepercayaan, upacara adat dan acara keluarga (sebagai anggota masyarakat). Oleh sebab itu kesenian ini sifatnya komunal, lebih dari pada individual.
d.      Aturan.
Karena sifatnya yang komunal, setiap warga merasa memiliki, menghidupi, mengubah, mengatur dan menggunakannya secara bersama. Dengan mufakat (mungkin tidak tertulis maupun terucap), pengaturan penggunaan ditentukan bersama oleh masyarakat, kesenian ini tunduk pada aturan aturan tertentu, baik aturan tampil, penggunaan, aturan estetis, dan sebagainya.
Menurut sifatnya seni tradisi dapat dikelompokkan ke dalam beberapa genre:
  1. seni tradisi yang bersifat religius, yaitu seni yang kehadirannya terkait dengan acara religi, keagamaan atau kepercayaan. Seni ini dapat hadir sebagai kelengkapan upacara religi seperti: misa di gereja, mantra atau hymne agama Hindhu atau Budha, seni baca Al Quran, lukisan kaligrafi, lukisan asma’ dan sebagainya, atau dapat berupa sarana dawah atau penyebaran suatu agama/ kepercayaan, atau dapat juga berujud seni yang menyiratkan ajaran moral atau ajaran agama tertentu dan atau membesarkan atau memuja nama Tuhan. Karena sifat, fungsi dan kegunaannya yang demikian, warna atau karakter hiburan dari kesenian dalam jenis seni ini agak dikesampingkan. Kesenian ini pada dasarnya bukan tontonan, atau setidak tidaknya tidak begitu membutuhkan penonton. Yang hadir (menonton) biasanya juga merupakan bagian dari acara tersebut. Beberapa bentuk salawat, gamelan sekaten, wayang Wahyu, gamelan gong gedhe adalah beberapa contoh jenis kesenian dari kelompok ini.

  1. Seni tradisi yang bersifat kerakyatan. Kesenian ini lebih banyak berfungsi untuk mencukupi kebutuhan hiburan masyarakat (pedesaan, nelayan) disamping berfungsi sebagai kelengkapan upacara keluarga maupun upacara adat atau kegiatan lain yang berkaitan dengan kehidupan sehari hari dari sekelompok masyarakat. Upacara tersebut biasanya berhubungan dengan keselamatan, kesuburan, rejeki, syukuran dari seseorang atau masyarakat, ataupun beberapa hal lainnya yang berhubungan dengan kehidupan pertanian dan atau nelayan/ kelautan. Jenis seni ini memliki ciri spontanitas yang tinggi dan mementingkan kebersamaan. Batas pemain dan penonton sering tidak jelas, dalam arti penonton dapat mengambil bagian (sebagai 'pemain') dalam pertunjukan tersebut. Sehubungan dengan sifatnya yang demikian, kesenian ini tidak mementingkan tehnik seni yang rumit, yang tinggi, aturan yang ketat, kelengkapan (busana, aksesori, setting, dsb) yang remit berharga mahal, dsb. Pesan dan isi teks bertemakan masalah yang dekat dengan kehidupan keseharian mesyarakat pendukungnya, biasanya berceritera tentang dunia pertanian/ nelayan, keadaan lingkungan, persahabatan, pergaulan pria wanita, nasihat untuk berbuat baik disampaikan dengan bahasa dan cara yang sederhana (ngoko), menarik, lucu, langsung dan spontan. Bahkan banyak teks yang dibuat secara sesaat, langsung pada waktu pertunjukan. Ceritera yang dibawakannya juga memilih tema yang dekat dengan kehidupan keseharian, tokohnya akrab dengan masyarakat setempat, seperti legenda daerah, ceritera rakyat, dsb. Contoh: Tayub/tandakan, reog, Ludruk, kentrung, lukisan pemandangan, “lukisan, patung natural sederhana” dsb.

  1. Seni tradisi yang bersifat Istana/klasik. Belum ada istilah baku (tepat?) untuk menyebut kelompok seni ini. Klasik adalah istilah yang digunakan untuk menyebut jenis kesenian yang relatif tua dan yang memiliki mutu cukup tinggi. Dunia (etno) musikologi sering menyebut jenis seni (musik) ini sebagai music of high culture, - seni (musik) budaya tinggi. Jenis ini merujuk pada kesenian yang hidup, dan berkembang di lingkungan istana, walau mungkin tidak mesti harus dilahirkan di sana. Wayang, karawitan, tari klasik Jawa, adalah beberapa contoh untuk jenis kesenian ini. Kesenian ini (dulunya) selain digunakan sebagai kelengkapan upacara kerajaan dan keluarga raja, sebagai atribut keluarga raja, juga digunakan sebagai sarana pendidikan keluarga, pegawai dan rakyat, terutama untuk keperluan mengagungkan kerajaan. Sifat feodalismenya ini tercermin dalam keremitan (birokrasi) musikalnya, stratifikasi, tatakrama (halus, tenang, lembut, lirih, datar, anti kontras, penggunaan bahasa yang halus dan sopan dsb), hirarki, serta aturan aturan lainnya yang ketat.

Seni tradisi sangat erat hubungannya dengan masyarakat pemiliknya. Ia merupakan atribut,  sarana ungkapan kejiwaan, komunikasi dari masyarakat kepada anggota masyarakat lainnya maupun dengan Yang Diatas. Ia juga merupakan lambang dan menyiratkan nilai nilai yang berlaku, juga merupakan bagian dari kehidupan dan budaya masyarakat tertentu. Tetapi justru karena sifatnya yang komunal, masyarakat merasa dekat dengan seni tradisi. Mereka merasa ikut membuat, memelihara, mendukung kehidupannya, kemudian banyak anggota masyarakat merasa tahu tentang seni tradisi, walaupun diluar wilayah budayanya. Dengan demikian mereka berhak untuk menggunakannya, mengubahnya dan bahkan juga membuangnya jika sekiranya tidak diperlukan lagi (Supanggah, 1994: 3-5). Hal ini yang kadang menjadi masalah besar dan sering kita hadapi dalam pekerjaan kita sehari hari.
Fungsi
Dilihat dari fungsinya, menurut Humardani (tanpa tahun),  seni dapat dibagi menjadi dua yaitu; fungsi primer dan fungsi sekunder (Hoemardani, tanpa tahun: 2-9).

1. Fungsi Primer:
Seni sebagai hayatan secara "umum", artinya peristiwa kesenian itu terjadi dalam wadah kesenian itu sendiri. Dalam hal ini peristiwa kesenian merupakan proses terjadinya komunikasi antara isi yang tertuang di dalam karya seni dengan kemampuan pengalaman jiwa pada penghayat sehingga melahirkan hayatan yang betul-betul mampu meraih saasaran ke wiiayah nilai-nilai yang berlaku dalam kehidupan manusia berbudaya.

2. Fungsi Skunder
Seni sebagai fungsi sekunder merupakan fungsi tambahan, umpannya sebagai sarana upacara, pendidikan, penerangan, propaganda, hiburan termasuk sebagai barang dagangan sarana investasi dan sebagainya didalamnya termasuk seni wisata.
Jika diskemakan fungsi seni sebagai berikut:



Organization Chart


Kesenian Trdisional di Malang
Menurut pengamatan saya sementara sampai saat ini, kesenian tradisional yang terdapat di Malang, diantaranya adalah:
1.      Kelompok Jaranan, meliputi; Jaran Kepang, Jatilan, Jaranan Jawa/Jaran dor, Reok Ponorogo.
2.      Kelompok Pencak Silat, meliputi; Pencak dor, Pencak obor, Bantengan, Sakerahan.
3.      Kelompok Terbangan, meliputi;  Terbang jidor, Hadrah, Terbang Banjari, solawatan
4.      Kelompok Tari, meliputi; tari Beskalan, tari Rema, tari Topeng, tari Gambyong, Karonsih, Gatutkoco dll.
5.      Kelompok Teater, meliputi; Ludruk, Wayang Topeng, Ketoprak, Wayang Wong, Wayang Kulit (Jawa Tengahan dan Wayang Kulit Malangan),
6.      Kelompok Musik, meliputi; gamelan, Campursari, Kroncong, macapat (Solo, Yogya dan Malangan)

 Model Pelestarian
Di atas telah diuraikan, bahwa sifat kesenian tradisional akan hidup jika didukung oleh masyarakat pemangkunya. Karena kesenian tradisional ini merupakan atribut, sarana ungkapan kejiwaan, komunikasi antar masyarakat dengan anggota masyarakat maupun dengan Tuhannya, menyiratkan nilai nilai yang berlaku dan sifatnya komunal. Maka masyarakat merasa ikut membuat, memelihara, mendukung kehidupannya. Dengan demikian mereka berhak untuk menggunakannya, mengubahnya dan bahkan juga membuangnya jika sekiranya tidak diperlukan lagi.
Maka model pelestarian adalah penularan budaya, yaitu memperkuat akar nilai budaya setempat, sehingga seni diyakini bukan sekedar “tontonan” tetapi juga “tuntunan” terlebih bagi generasi mudanya yang nota bene “jauh” dari tradisi. Lalu bagaimana caranya? Inilah yang perlu kita diskusikan, lalu kita kerjakan bersama!!!!
Yang perlu saya ingatkan, bahwa kondisi sosial Bangsa Indonesia sedang didera kisis mental, moral, dan budaya, di samping krisis ekonomi yang berkepanjangan seperti sekarang ini, apa yang harus kita lakukan, wahai para seniman budayawan? Tak lain dan tak bukan, saatnya kesenian baik dalam bentuk proses maupun produk-produknya dijadikan benteng untuk memperkuat citra diri bangsa sebagai bangsa yang
berbudaya. Namun demikian kita harus berhati-hati sebab dalam pengembangan produk kesenian akan timbul berbagai permasalahan yang antara lain:
1.      Lemahnya Sumber Daya Manusia pelaku kesenian, yang akhirnya membawa pengaruh terhadap kualitas produk kesenian itu sendiri.
2.      Lemahnya perlindungan terhadap karya-karya seni, dalam hal ini terkait dengan Hak Atas Kekayaan Intelektua (HAKI)-nya.
3.      Rendahnya penghargaan terhadap para pelaku seni, khususnya yang terkait dengan standar pemberian kompensasi yang layak serta memadai.
4.      Belum adanya standarisasi proses dan produk kesenian Indonesia, dan beberapa permasalahan lainnya.
5.      Kurang mantapnya kelembagaan yang mendukung kegiatan berkesenian sehingga mengalami banyak kendala di dalam kegiatan pemanfaatan maupun pelestarian (Ardika, 2001: 5-6).
Selagi masih belum tertanganinya berbagai permasalahan di atas secara menyeluruh, berdampak pada maraknya serbuan produk dan pelaku seni mancanegara ke Indonesia, yang dalam jangka panjang akan menjadikan kesenian Indonesia tidak memiliki nilai tambah di dalam negeri sendiri. Serbuan produk-produk mancanegara tersebut tidak mungkin dapat dilarang sebagai akibat dari proses globalisasi, namun perlu dipikirkan upaya untuk memperkecil dan mengurangi tingkat "impor' produk-produk kesenian di Indonesia, salah satunyaadalah melalui produk hukum yaitu undang-undang
kesenian, yang dalam penjabarannya kelak diharapkan mampu memberikan acuan bagi pengembangan Kesenian Indonesia, sekaligus mengurangi masuknya produk-produk kesenian luar negeri.

Pengembangan Seni Tradisional Sebagai Asset Pariwisata
Pariwisata itu ialah segala kegiatan dalam masyarakat yang berhubungan dengan wistawan (Soekadijo 1999: 2). Kata “wisata”, menyangkut pengertian perjalanan sedangkan "pariwisata" menyangkut pengertian perjalanan ditambah dengan unsur jasa atau badan usaha, sementara kepariwisataan tak lain mengandung aspek perjalanan, badan usaha dan fungsi pemerintah (Ardika 1993 : 197). Pariwisata dan kepariwisataan adalah industri modern yang kini berkembang dengan pesat. Perhatian dunia terhadap dunia kepariwisataan sangat besar yang ditandai dengan kemajuan di bidang pembangunan infrastruktur maupun suprastruktur baik di negara-negara maju maupun negara berkembang. Kepariwisatan sebagai komoditas penghasil devisa hampir menjadi andalan setiap negara di dalam meningkatkan income perkapita masyarakat melalui keuntnngan yang bersurnber dari wisatawan lokal (domistik), maupun wisatawan mancanegara (internasional).
Di dalam keterkaitan dan pelayanan jasa pariwisata, koplementaritas dari mobilitas spasial yang meliputi, motif wisata, kebutuhan wisata, atraksi wisata dan jasa wisata berhadapan dengan matra sosial, terutama mengacu kepada peningkatan pelayanan yang sarat dengan berbagai implikasi ekonomis. Faktor ekonomi sangat bahkan merupakan tujuan seperti dikatakan oleh Soekadijo: "Pariwisata adalah suatu gejala social yang sangat kompleks, yang menyangkut manusia seutuhnya dan memiliki berbagai aspek: sosiologis, psikologis, ekonomis, ekoiogis dan sebagainya. Aspek yang mendapat perhatian yang paling besar dan hampir merupakan satu-satunya yang dianggap penting ialah aspek ekonomis (Asita, 2001: 2).
Mengapa Pariwisata? Dalih yang melatar belakangi makin gencarnya program pariwisata ini, adalah ekonomi (peningkatan pemasukan devisa negara dari sektor non migas) adalah merupakan dalih utama. Ada dalih dalih lain, seperti perluasan lapangan kerja, pengenalan budaya bangsa, pelestarian seni tradisi, peningkatan kesejahteraan seniman dan sebagainya. Hal tersebut merupakan langkah yang tepat sekali, terutama apabila dilandasi oleh pemahaman konsep yang tepat dan dapat melakukannya dengan benar. Pengembangan fungsi dengan menjual seni sebagai salah satu aset ke pariwisataan dengan pertimbangan seperti tersebut diatas memang merupakan langkah yang bijaksana. Pertimbangan yang saling menguntungkan. Wisatawan mendapatkan informasi dan suguhan kesenian yang bermutu; kesenian menjadi lebih berkembang, seniman menjadi lebih berkwalitas, kreatif dan punya uang (karena seringnya pentas); hotel, biro perialanan, guide, aurt beberapa sektor lain juga dapat rejeki, Indonesia menjadi terkenal.
Seni wisata,  merupakan seni kemasan khusus yang sifatnya tiruan dari aslinya sehingga sering disalah artikan bahwa seni wisata adalah seni murah dan berkualitas rendah, sudah barang tentu tafsir yang demikian adalah tafsir yang salah. Seni tiruan bukan berarti seni yang tidak berkwalitas, akan tetapi memang murah dalam arti terjangkau untuk ukuran wisatawan namun tetap berpegang pada kualitas yang baik. Karena pada dasarnya seni wisata harus mampu menjadi media informasi dan mempunyai daya tarik sedemikian rupa sehingga layak untuk dijual (Hadi, 2001: 4).
Pengembangan kesenian pariwisata sedapat mungkin mengutamakan keaslian, kekhasan, dan keunikan kesenian daerah dengan cara yang informatif, aktraktif, berdaya pikat tinggi, dan berdaya jangkau segmen pasar yang luas baik untuk pangsa pasar domestic maupun mancanegara, melalui kerja sama atas dasar saling menguntungkan dengan sejumlah pihak yang berkompeten secara bertahap, berkesinambungan, dan terencana sesuai dengan yang diharapkan. Di dalam penyusunan program pengembangan kesenian mutlak diperlukah pertimbangan yang berwawasan ke depan (visioner) mengingat setiap jenis kesenian dalam kontek kepariwisataan termasuk seni pertunjukan masing-masing mempunyai keterbatasan dan kelebihan. Untuk itu perlu kiranya kita cermati dan mempertimbangkan bagaimana mengemasnya, karena apabila melalukan kesalahan akan berakibat fatal.
Soedarsono (1999) menawarkan sebuah teori pengemasan seni wisata, yaitu setidaknya  mempunyai lima ciri: (l) tiruan dari aslinya, (2) lebih singkat dari aslinya. (3) penuh variasi, 4) ditanggalka nilai magis dan sakralnya, (5) murah untuk ukuran nilai uang wisatawan. Dengan mengacu pemikiran tersebut paling tidak dapat membantu menentukan bentuk atau format dalam mengemas seni pertunjukan tradisional menjadi seni wisata.

Jejaring Mitrausaha
Dalam membangun kewirauhaan, disamping produk harus teruji dapat membaca pasar, yang tidak kalah pentingnya adalah membengun jejaring dengan mitra usaha. Karena era kini adalah era komunikasi, maka produsen harus mampu memperluah hubungan dan jejaring dengan siapa saja, konsumen lebih banyak berharap dari informasi, kecuali jika konsumen sudah tahu. Itupun prosentasenya sangat sedikit. Jejaring ini dibutuhkan secara timbal balik diantaranya; seniman dengan kreator, kreator dengan menejer, menejer dengan publik. Maka dibutuhkan kekompakan dan kebersamaan antar seniman, kreator maupun manejer. Seperti semboyan AREMA salam satu jiwa.

  
Rujukan:
Ardika, I Gede, Drs. 2001. Pengembangan dan Pemberbadayaan dakam Konteks Keariwisataan. Kertas kerja Serial Seminar Seni Pertunjukan Indonesia 1998 – 2001, seri VIII, tgl 7 dan 8 Februari 2001 di STSI Surakarta.
Ardika, I Gede, 1993. Kepariwisataan Bali, Rahasia Pembangunan Bali. Jakarta: Harian Suara Karya dan Cita Budaya.
Asita, I Nyoman, MA. 2001. Seni Pertunjukan dan Pariwisata di Bali, Hubungan Pariwisata Bengan Budaya Beserta Aspeknya. Kertas kerja Serial Seminar Seni Pertunjukan Indonesia 1998 – 2001, seri VIII, tgl 7 dan 8 Februari 2001 di STSI Surakarta.
Hadi, Sri, S.Kar. 2001. Mencari Format Seni Pertunjukan Wisata. Kertas kerja Serial Seminar Seni Pertunjukan Indonesia 1998 – 2001, seri VIII, tgl 7 dan 8 Februari 2001 di STSI Surakarta.
Hoemardani, SD. tanpa tahun. Kumpulan Kertas tentang Kesenian. Surakarta: Sub Proyek ASKI Surakarta.
Soedarsono, RM. 1999. Seni Pertunjukan dan Pariwisata. Rangkuman Esai tentang seni pertunjukan Indonesia dan Pariwisata. Yogyakarta: Badan Penerbit ISI Yogyakarta.
Subroto, Edi. 1991. Kreativitas Seni dalam Perguruan Tinggi. Kertas Kerja Pekan Seni Mahasiswa di Surakarta.
Sukadijo, R.G. 1997. Anatomi Pariwisata: Memahami Pariwisata Sebagai “Systemic Linkage”. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Supanggah, Rahayu, Dr. S.Kar. 1994. Seni Tradisi Yang Modern. Kertas Kerja disajikan dalam rangka Pembinaan  Seniman se Jawa Timur th. 1994 di Kabupaten Kediri. Dinas P dan K Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur.
Sutopo, HB. 1991. Pendekatan Kritik Holistik. Kertas Kerja Seminar Metode Penelitian Seni di IKIP Malang, 12 Februari 1991.
Wido, Soerjo Minarto. 2006. Kajian Simbolik Tari Topeng Patih Pada Pertunjukan Dramatari  Wayang Topeng Malang Di Dusun Kedungmonggo Desa Karangpandan Kecamatan Pakisaji Kabupaten Malang . Kertas Kerja Seminar Kajian Seni Pertunjukan di UNNES Semarang, 8 Januari 2006.
Wido, Soerjo Minarto. 2007. Pengetahuan Seni Tari dan Teknik Dasar Menyusun Tari. Malang: Baghastari.



[*] Sebagian isi paper ini pernah disampaikan pada dialog budaya Dinas Parinkom Kota Malang
[†] Drs. Soerjo Wido Minarto, M.Pd adalah dosen Prodi Pendidikan Seni Tari Jur. Seni dan Desain Fak. Sastra Universitas Negeri Malang