TAHLIL
SEBUAH SENI RITUAL KEMATIAN PADA
KEPERCAYAAN “ISLAM JAWA”
Tinjauan Teks Dalam Konteks
Oleh: Soerjo Wido Minarto
Abstrak: Tahlil merupakan sebuah perhelatan doa secara bersama-sama oleh orang yang beragama Islam kelompok Nahdlatul Ulama berpaham Ahlussunnah wal jamaah. Tujuannya adalah untuk ritual kematian yang biasanya dilakukan pada waktu-waktu tertentu setelah hari kematian seseorang, seperti 3, 7, 40, 100, 1000 harinya dan seterusnya. Ditinjau dari wujudnya dan medianya, tahlil merupakan seni ritual yang memiliki simbul dan makna sebagai teks dalam konteks.
Kata Kunci: Tahlil, seni ritual Islam, ritual kematian.
Tahlil is a ceremonial pray done in groups by muslim’s Nahdlatul Ulama sensible Ahlussunnah wal Jamaah. Aims to death rituals done at certain times, like 3, 7, 40, 100, 1000 days dan so forth. Seen from the shape and media, tahlil is the ritual arts that has the symbol and meaning as the text in the context.
Key words: Tahlil, Islamic ritual art, deat ritual.
Banyak cara untuk menyampaikan suatu ajaran tentang nilai-nilai luhur
dalam kehidupan di alam fana ini oleh nenek moyang kita. Ajaran tersebut
ditularkan melalui wejangan pitutur/petuah wujudnya antara lain berupa gerakan,
lukisan, lambang/simbul, tulisan, tembang/syair dan pitutur yang bercerita atau
dongeng. Upaya tersebut telah dapat dilihat dengan adanya kemajuan dalam
berbagai bidang pembangunan yang kian pesat khususnya di bidang ilmu pengetahuan, teknologi
dan seni.
Negara
kita adalah negara kesatuan yang berazaskan Pancasila dan UUD 1945, yang
menjunjung tinggi pola gotong royong (patembayan). Dengan demikian salah satu
komponen penting yang menunjang pembangunan adalah kualitas sosial
kemasyarakatan yang meliputi: hubungan kekeluargaan, gotong royong/kerja sama,
saling menghormati, nyaman hidup bertetangga di kampung “at home” dan rasa kebersamaan (familier)
diantara sesama warga. Visualisasinya dapat diungkapkan melalui berbagai macam
cara, diantaranya melalui perhelatan kegiatan tahlil[1]
di dalam rangkaian ritual kematian.
Tahlil adalah upacara ritual keagamaan (Islam) dengan pembacaan
ayat-ayat suci Al Quran, sholawat nabi dan do’a-do’a yang dilagukan disertai
dengan gerakan-gerakan terencana dan spontanitas seirama dengan lagunya,
sehingga menimbulkan rasa “nikmat” yang menghantarkan kekhusu’an di
dalam ritual tersebut. Rasa khusu’ dan nikmat ini sebenarnya merupakan
keindahan yang haqiqi didalam berkomunikasi antara makhluk dan khaliqnya. Jika
dicermati, tahlil ini sebenarnya sebuah bentuk kegiatan kesenian yang
bernuansa ritual, karena di dalamnya terdapat unsur musikal dari lagu-lagu yang
dilantunkan, gerakan-gerakan “indah” yang structural dan sastra dari
syair-sayairnya.
Di dalam pembicaraan ini kesenian tahlil dikaji melalui dua aspek kajian,
yaitu kajian tekstual dan kontekstual. Kesenian tahlil sebagai tekstual yang
relatif berdiri sendiri harus dibaca kemudian ditafsirkan, yang akan didekati
dengan herminiotik (paradigma interpretative dan structural ala Levi-Strauss).
Aspek yang ke dua memandang kesenian tahlil sebagai kontekstual yang lebih
besar dan pendekatannya bersifat holistic atau menyeluruh. Maksudnya
adalah, melihat keterkaitan kesenian tahlil dengan fenomena-fenomena lain dalam
kebudayaan yang bersangkutan yang meliputi politik, ekonomi, sosial kemasyarakatan,
teknologi, pariwisata bahkan perubahan-perubahan kondisi sosial.
PENGERTIAN
DAN KONSEP TAHLIL
Tahlil adalah istilah yang digunakan untuk menamai sebuah kalimat
toyyibah (indah/baik) wahyu dari tuhan Allah, yaitu kalimat “laailaaha
illallah” artinya tiada tuhan selain Allah. Dengan demikian di dalam ritual
tahlil, intinya adalah pada bacaan “laailaaha illallah”, yang dibaca sebanyak
100 kali atau lebih. Tentu saja disamping bacaan tersebut dalam ritual tahlil
dilengkapi dengan bacaan cuplikan surat
dari ayat-ayat suci Al Quran, solawat nabi dan do’a. struktur urutan bacaan di
dalam ritual tahlil tidak ada tuntunan yang baku, karena ritual tahlil ini merupakan
amalan yang diciptakan di Jawa, konon penciptanya adalah para wali yang
popular dengan sebutan Wali Sanga.
Konsep tahlil
ini intinya adalah berdzikir (mengingat) kepada Allah. Menurut Gus Qodir[2],
sesungguhnya orang diperintahkan berdzikir atau selalu ingat kepada Allah,
adalah untuk mengingat akan datangnya ‘kematian’. Jika
orang selalu ingat kepada Allah dan kematian, maka perilakunya akan terkendali
dan berusaha berbuat ‘kebenaran’ dan ‘kebaikan’. Sebab kepercayaan Islam dan hampir semua agama meyakini adanya
kehidupan setelah mati (dalam alam kubur dan alam akhir), adanya ‘hari
pembalasan’, dan
adanya akhir kebahagiaan (jannah,
surga, nirwana) atau akhir kesengsaraan (naar,
neraka). Tujuan akhir manusia (muslim) hidup adalah mati dalam
kebahagiaan/kebaikan yang disebut husnul khotimah, sekaligus menghindari
mati dalam kesengsaraan/keburukan yaitu suul khotimah.
Konon asal mula
tahlil diadakan, bahwa ketika ada orang meninggal, yang melayat (ta’ziyah) datang ke rumah duka,
di sana mereka ngobrol, atau nembang (macapat) atau bergurau ada yang
main kartu bahkan berjudi dan mabuk-mabukan untuk mengusir rasa kantuk. Hal ini
dilakukan tujuh malam berturut-turut, yang tidak jarang sering terjadi
keributan bahkan perkelaian. Melihat sisi negatif ini, para wali bersepakat
untuk berdakwah dan mengajak manusia untuk ikut membantu membahagiakan (ta’ziyah) yang tertimpa musibah
dengan mendoakan yang meninggal dan yang ditinggalkan. Di samping itu ketika ada orang meninggal,
sebanarnya merupakan peringatan bagi yang hidup agar senantiasa ingat (dzikir)
kepada Sang Pencipta, dan ingat bahwa setiap manusia akan mengalami kematian.
Untuk itu, dari pada main judi, minum-minuman keras, bergurau yang berlebihan lebih baik membantu membacakan do’a
sambil berdzikir (ingat) pada Allah.
Sebaik-baik berdzikir adalah membaca
kalimat tahlil: “laailaaha
illallah”. Dalam kebudayaan Jawa banyak mengungkapkan segala sesuatu
melalui tembang (lagu), contohnya:
semua karya sastra Jawa (semenjak Jawa kuno hingga Jawa baru) selalu
diungkapkan melalui syair-syair tembang/kidung (umumnya tembang macapat).
Mengapa dengan tembang? Sebab dengan tembang ini orang lebih mudah meresapi
sehingga lebih memahami makna “sesuatu” dan lebih ‘nikmat’ di dalam berkomunikasi, baik
vertikal maupun horisontal. Tembang adalah bentuk media untuk mengungkapkan
sesuatu melewati suara yang indah.
Demikian pula pembacaan tahlil, agar mudah memahami dan mudah
berkomunikasi dengan ‘yang
dituju’, maka diungkapkan
melalui suara yang indah. Lama-kelamaan dakwah para wali ini menancap pada
sanubari masyarakat dan dirasakan dalam hati menimbulkan kesejukan, kenikmatan
dan ‘intrans’ pada
Sang Pencipta, maka ritual tahlil ini mentradisi hingga sekarang dengan
penambahan fariasi di sana-sini.
(penjelasan Imam Syafi’i dan
Moch. Yusuf ta’mir masjid Asy Syuhada’ Malang).
TAHLIL SEBAGAI RITUAL KEMATIAN
Ritual merupakan suatu bentuk upacara yang berhubungan dengan beberapa
kepercayaan atau agama dengan ditandai oleh sifat khusus yang menimbulkan rasa
hormat yang luhur dalam arti merupakan pengalaman suci. (O’Dea, 1995:5-36 dalam
Hadi, 2006: 31). Pengalaman tersebut mencakup segala sesuatu yang dibuat dan
dipergunakan oleh manusia untuk menyatakan hubungan dengan ‘Yang Maha Esa’ dalam alam transendendal. Hubungan atau perjumpaan tersebut bukan merupakan
sesuatu yang umum atau biasa, tetapi sesuatu yang bersifat khusus dan istimewa,
sehingga manusia membuat sesuatu cara yang pantas guna melaksanakan hubungan
atau pertemuan tersebut, maka muncul berbagai bentuk ritual keagamaan, di antaranya adalah tahlil dalam ritual kematian muslim. Inti dari ritual
kepercayaan/keyakianan/agama merupakan ungkapan permohonan atau rasa syukur
kepada yang dihormati atau yang ‘berkuasa’. Oleh karenanya, upacara ritual
diselenggarakan pada waktu yang khusus, perbuatan yang luar biasa dengan
dilengkapi berbagai peralatan ritus yang bersifat sakral (ubarampen
sesaji).
Di dalam kebudayaan Jawa dikenal berbagai macam ritual, baik yang
bersifat individu maupun kelompok. Adapun
yang bersifat individu antara lain samadi yaitu berdiam diri
berkomunikasi dengan sang Pencipta, sandingan weton yaitu ritual meletakkan
sarana (benda ritual) bisaanya berupa bunga tiga macam yang lazim disebut kembang
telon yang dimasukkan kedalam mangkok kecil atau gelas dan diberi air
kemudian diletakkan di tempat khusus/di kamarnya pada saat hari dan pekan (pasaran) kelahirannya, misalnya Rabu
Kliwon selama semalam suntuk. Sedangkan yang bersifat kelompok seperti bersih
desa/nyadran yaitu ritual membersihkan ‘kotoran’ yang
mengganggu desa baik yang bersifat fisik seperti pencurian, perampokan dan
lain-lain, maupun yang bersifat imajiner seperti gangguan roh jahat yang
mengacau desa, visualnya bisa berupa wabah penyakit, bencana alam, banyak
pertengkaran, perceraian, banyak orang mati dan lain-lain. Juga ritual kematian
yang dilakukan secara bertahap sampai 1000 hari.
Semua aktifitas budaya orang Jawa selalu diyakini dan menggunakan
perhitungan-perhitungan ‘matematis’ yang berupa
statistik/angka-angka. Masing-masing fenomena seperti hari, pasaran,
suasana (masa), bulan, tahun dan lain-lain selalu diberi bobot angka.
Pembobotan angka-angka ini bagi orang Jawa dinamakan neptu. Contoh hari
Rabu bobot/neptu 8, Sabtu bobot/neptu 9, pasaran Kliwon, neptu/bobot
7, sedangkan pasaran Pahing, neptu/bobot 9. Masa (mangsa) di dalam keyakinan Jawa ada 12
sesuai dengan tahun, seperti mongsa ka-siji (kesatu), mongsa karo [loro
(ke dua)], mongsa kasada dan
seterusnya.
Dalam ritual
kematian juga dikenal perhitungan-perhitungan yang menyertai saat manusia mati
(tiba gěblakke) dihitung hari pertama, kemudia hari ke tiga (tělung
dinane), tujuh hari (pitung dinane), 40 hari (patang puluh dinane),
seratus hari (satus dinane), satu taun (pěndhak sěpisan), dua
tahun (pěndhak kapindho) dan seribu hari (sewu dinane). Bagi yang
beragama Islam dan berfaham Nahdlatul Ulama, ahli sunnah wal jamaah
(kelompok pengikut perilaku nabi), melaksanakan upacara kematian dengan
perilaku ritual, yaitu selamatan (memberikan sedekah berupa makanan) kepada
tetangga kanan kiri, dan pada malam harinya, semenjak hari ke satu sampai hari
ke tujuh dilaksanakan ritual tahlil. Setelah hari ke
tujuh tahlillan selesai, namun pada hari-hari tertentu yang sesuai
dengan perhitungan, seperti 40 hari, 100 hari, tepat 1 tahun, tepat 2 tahun dan
1000 harinya selalu dilakukan selamatan dan pada malam harinya dilaksanakan
ritual tahlil.
KESENIAN TAHLIL SEBAGAI TEKS
Ketika
seorang peneliti sudah berada di lapangan, maka akan dihadapkan beberapa
permasalahan yang terkadang sulit untuk mengambil keputusan secara tegas,
lebih-lebih yang berkaitan dengan kategori-kategori yang yang bersifat,
berkarakter, berbentuk, bermakna yang hampir sama. Ahimsa (1997:2) menjelaskan
behwa para ahli antropologi merasa kesuliatan ketika berada di lapangan
membedakan mana yang seni dan yang bukan seni, sebab kategori ‘seni’ atau kesenian adalah kategori-kategori dari peneliti.
Kategori-kategiri ini tidak selalu ada dalam bahasa atau kosa kata masyarakat
yang diteliti. Di berbagai masyarakat non-Barat, seperti India, Tailan Cina,
Afrika, Indonesia dan lain-lain, yang dikatakan ‘seni atau kesenian’
hampir selalu terkait dengan ritual kepercayaan atau upacara keagamaan. Oleh
karena itu, walaupun para antropolog menggunakan istilah ‘seni atau kesenian’ untuk menunjuk fenomena tertentu, namun sebenarnya
mereka tidak terlalu yakin
akan kebenaran konsep tersebut. Pemakaian konsep itu sekedar untuk mempermudah
berlangsungnya diskusi tentang fenomena tersebut. (Turner dalam Ahimsa 1997:3).
Merujuk
pada konsep tersebut di atas, maka saya mengajak untuk bersepakat, bahwa kajian
tahlil ini dipandang sebagai fenomena ‘seni-budaya’ pada
masyarakat muslim di Jawa. Mengapa seni? Karena saya berkesimpulan bahwa
seni merupakan sebuah alat komunikasi (Abdullah 1981; 8-12) yang paling
universal, unik dan selalu hidup. Menurut pendapat saya, setidaknya mengandung
5 unsur utama, yaitu ‘karya manusia’, ada unsur ‘ekspresi, atau ungkapan jiwa, ada ‘media’ ungkapnya
(gerak, rupa, bunyi, akting,
vokal, kata-kata), ada unsur aturan atau ‘irama’ dan
menimbulkan kenikmatan, kesenangan, kesyahduan, kepuasan dan lain-lain yang
istilah-istilah tersebut jika dirangkum dalam satu kata adalah ‘indah’. Dengan bahasa difinitifnya, ‘seni adalah hasil karya ekspresi manusia yang diungkapkan melalui media
(gerak, rupa, bunyi, acting, vokal, kata-kata) yang berirama (aturan) dan indah’ (Wido. 2005: 2). Kesenian Tahlil nampaknya dapat memenuhi
kreteria tersebut. Sebab jelas, bahwa tahlil hasil karya ekspresi orang muslim Jawa, diungkapkan melalui suara
(semakin merdu semakin nikmat), syair-syair pujian dan permohonan yang
menyejukkan, gerakan yang seirama dengan lantunan suara sesuai dengan
dinamikanya dan kesemuanya menimbulkan kenikmatan, kekhusyukan yang sebenarnya
adalah keindahan yang haqiqi.
Banyak hadits-hadits shoheh yang menjelaskan
tentang kesenian di jaman Rosulullah Muhammad saw, bahkan beliau sendiri
menganjurkan kepada shahabatnya untuk ‘melegakan hati’ (refreshing), diantaranya melalui
kesnian. Pernyataan ini diungkapkan dalam hadits
yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Ibnu Syihak Az Zuhri, Nabi bersabda: “legakanlah hatimu sekali-kali”
maksudnya, Nabi menganjurkan untuk melakukan segala perbuatan yang menyenangkan
atau memuaskan (mubah) asalkan tidak
bertentangan dengan larangan Allah. Pada hadits
lain, riwayat Imam Ahmad, Bukhori dan Muslim dari Aisyah ra. (isteri Nabi), kata Aisyah: “aku pernah mengawinkan
seorang wanita dengan seorang laki-laki dari kalangan Anshar. Lalu Nabi
bersabda: “Hai Aisyah, tidak adakah padamu hiburan (nyanyian) karena
sesungguhnya orang-orang Anshar
senang dengan hiburan”. Hadits ini
secara tegas memberitakan bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad saw. memiliki
toleransi yang besar terhadap tradisi suatu ummat/bangsa, bahkan beliau
menganjurkan membahagiakan hati orang lain dengan memberikan kesenangannya
selagi tidak melanggar hukum syara’
sehingga menimbulkan hal-hal yang negatif. Dalam kitab suci Al Quran surat Al
Lukman ayat 19, Allah berfirman: ”...dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya
seburuk-buruk suara adalah bunyi keledai”. Imam Al Ghozali mengambil pengertian ayat ini dari mafhum muklalafah, bahwa Allah memuji
suara yang baik/merdu/indah (Baghdadi, 1991: 33). Dengan demikian jelaslah
bahwa ayat tersebut, Allah menyukai keindahan (seni). Kemungkinan inilah
sebabnya bahwa segala ritual keagamaan baik wajib maupun sunnah, selalu disertai dengan perilaku dan bentuk-bentuk berupa simbol-simbol (suara/bunyi, gerak,
rupa dan syair atau kata-kata) yang ‘indah’, seperti adzan, sholat, diba’, manakib, istighotsah dan
sebagainya termasuk tahlil pada ritual kematian.
Perilaku ritual melalui keindahan (seni) ini dilakukan agar lebih nikmat dan khusu’, sehingga perasaan untuk
berkomunikasi dengan Sang Khaliq lebih mudah tersampai.
Memandang kesenian tahlil sebagai tekstual dalam ilmu
Antropologi biasa disebut herminiotik, secara garis besar dapat dibedakan
menjadi 2, yaitu; (a) telaah simbolik dan (b) telaah struktural. (Ahimsa 1997:3). Sekalipun demikian
penggolongan ini tidak terlalu ketat, karena sebenarnya cara ini digunakan
untuk memudahkan analisis, sehingga dapat membedakan dengan baik asumsi-asumsi
dasar yang melandasinya. Di dalam analisis tekstual tahlil ini, keduanya akan
melebur manjadi satu kesatuan yang saling mengisi. Di dalam menganalisis
tekstual kesenian tahlil ini saya menggunakan teori struktural ‘Levi
Strauss’, yang intinya bahwa struktur adalah model yang dibuat untuk
memahami atau menjelaskan gejala kebudayaan yang dianalisisnya, yang tidak ada
kaitannya dengan fenomena empiris kebudayaan itu sendiri, dan merupakan
relasi-relasi yang berhubungan satu sama lain yang saling mempengaruhi, atau
struktur adalah relations of relations atau
sistem of relations (Strauss, 1963
dalam Ahimsa, 2001: 61-63) dalam analisis struktural, struktur ini dibagi
menjadi dua macam, yaitu: pertama; struktur lahir atau struktur ‘luar’ (surface structure), dan
struktur batin atau struktur ‘dalam’ (deep structure). Mengingat amat luasnya teks dalam tahlil, maka
dalam paparan ini akan dibatasi hanya pada makna bilangan hari, makna sebagian
kecil mantra, makna keindahan lagu, gerak dan perilaku penyertanya.
Adapun struktur luar tahlil (surface structure) yang biasa dilakukan
dalam ritual kematian adalah sebagai berikut.
1. Pra Tahlil.
Para jamaah (peserta) datang dengan uluk salam: assalamualaikum
(semoga kalian semua selamat) yang disambut oleh tuan rumah: waalaikum salam
(dan semoga selamat juga untuk kalian) dilanjutkan dengan bersalam-salaman.
Jika sudah banyak tamu, yang datang belakangan disamping bersalaman dengan tuan
rumah, juga manyalami tamu-tamu yang datang duluan, kemudian duduk melingkar di
atas tikar atau karpet. Perilaku
tersebut memiliki makna (deep structure)
bahwa uluk salam adalah mendoakan selamat kepada semua yang mendengar ucapan assalamualaikum,
tersebut. Pengertian selamat disini bukan sekedar terhindar dari marabahaya
saja, tetapi selamat untuk fisik dan rohani (hati), maka dilengkapi dengan
berjabat tangan (saling mengiklaskan dan menyambung ikatan hati atau lazim
disebut silaturahmi). Artinya selamat ini adalah harapan untuk
dihindarkan dari gangguan/marabahaya fisik dan rohani (termasuk selamat dari
perbuatan dosa), baik didunia maupun di akherat yaitu terhindar dari siksa api
neraka. Karena begitu vitalnya makna ‘selamat’ ini, maka diwajibkan menjawab
bagi yang mendengar uluk salam, dan ada do’a khusus yang dianjurkan agar
manusia selamat, yaitu donga slamět.
2. Pelaksanaan Tahlil
Prakata
pembukaan, berisi ucapan terima kasih dari tuan rumah atau yang mewakili dan
menyampaikan maksud diadakannya ritual tahlil ini untuk mendoakan
almarhum/almarhumah siapa dan hari ke barapa (3, 7, 40, 100, 1000 hari atau
peringatan meninggal tahun ke berapa). Menurut kepercayaan Jawa angka-angka
pada bilangan hari tersebut, merupakan angka-angka sakral atau wingit, maka keberadaannya
selalu terkait dengan hidup dan kehidupan manusia.
Bilangan
‘tiga’
melambangkan cahaya kehidupan, nur cahya, nur rasa dan nur
buat (penjelasan Hartono tokoh rohaniwan Jawa aliran Sapta Darma, diijinkan
dikutip). Oleh karena itu, orang mati setelah dibungkus kain kafan diikat 3
bagian yakni bagian atas kepala (nur cahya), bagian tengah-tengah/badan
(nur rasa) dan di bawah kaki (nur buat). Disamping itu, orang
mati pada hari ke 3 merupakan awal berpisahnya 3 anasir dalam kehidupan
manusia, yaitu raga nyawa lan sukma. Raga adalah wadah/fisik, nyawa
adalah power/penggerak hidup seperti bernafas, bergerak, berasa indrawi, dan
sukma adalah inti dari kehidupan, yaitu ‘aku’ yang mengatakan
‘ada’nya sifat dan dzat.
Dengan demikian manusia dikatakan hidup yang ‘normal’ selalu terdiri
dari tiga kesatuan raga nyawa lan sukma. Manusia tidak dapat hidup
dialam dunia tanpa raga, sekalipun nyawa dan sukma bersatu. Manusia tidak dapat
dikatakan hidup normal jika hanya terdiri dari raga dan nyawa saja. Sebab bisa
jadi manusia masih bernafas, tetapi tidak bergerak atau bereaksi, seperti orang
koma, sekaratul maut, atau bereaksi
yang tidak terarah seperti orang gila, orang kalap (intrance). Oleh karena inilah dalam ritual orang Jawa ada istilah ngrogoh
sukma, yaitu fisik dan nyawanya berada di suatu tempat sedangkan sukmanya
berkeliaran kemana-mana. Dengan demikian sukma ada jika ada wadah dan
penggeraknya. Tidak akan terjadi sukma dan raga menyatu tanpa nyawa. Peristiwa
awal berpisahnya tiga anasir inilah yang ditandai dengan ritual agar perjalanan
masing-masing anasir ini dapat selamat menempuh tujuannya masing-masing yang
harapannya menuju Sang Haliq. Oleh
sebab masih awal perpisahan ini, sering orang mengatakan yang mati sering
pulang dan yang ditinggalkan masih sering bermimpi ketemu disebabkan belum
sepenuhnya ‘sukma’ iklas berpisah.
Tujuh hari orang meninggal
atau lazim disebut pitung dinane. Tujuh hari ini ditandai dengan ritual,
sebab bilangan ‘tujuh’ dalam Islam khususnya ‘Islam Jawa’ (Woodward, 2004: 364) amat penting.
Bilangan tujuh tersebut memiliki kekuatan dan kedudukan secara khusus. Seperti ayat
pitu yaitu sebutan sebuah surat dalam kitab
suci Al Quran, yaitu surat
Al Fatehah yang jumlah ayatnya ada tujuh. Surat Al Fatehah ini amat pentung
kedudukan maupun fungsinya. Contonya setiap sholat salah satu syarat sahnya
adalah membaca Alfatehah, setiap do’a /permintaan afdol (keutamaan)nya
diawali dan ditutup dengan membaca Al Fatehah. Bahkan surat Al Fatehah ini dapat berdiri sendiri
sebagai sebuah do’a khusus (mantra)
untuk keperluan yang khusus pula termasuk pula dalam setiap ritual kematian
selalu dibacakan ayat pitu ini. Disamping itu angka tujuh terletak pada
jumlah hari dalam satu minggu, secara fisik manusia yang telah meninggal dalam
waktu tujuh hari jasat mulai pecah, anasir-anasir fisik sudah menutup, sukma
mulai menjauh dari yang ditinggalkan, sekalipun hasrat ‘pulang’ masih ada, namun
sudah belajar ‘nglilakake’ (merelakan/mengikhlaskan).
Empat puluh hari, bilangan ini merujuk
5 x 8 dimana 5 adalah gambaran sedulur 4, 5 pancer yaitu kesatuan empat
nafsu (amarah, aluwamah, sufiyah dan mutmainnah) dengan ‘aku’, sedangkan 8 adalah bilangan windu. Waktu 40 hari ini jasad
manusia sudah mulai hancur menyatu dengan tanah kecuali tulang dan sukma juga
mulai melupakan, sekalipun sesekali masih inguk-inguk (mengamati dari
jauh) yang kadang-kadang datang dalam mimpi, sedang yang
ditinggalkan sesekali masih teringat bahkan ada rasa kerinduan.
Seratus hari adalah batas
perpisahan yang sesungguhnya, sehingga setelah lewat 100 hari umumnya yang
ditinggal sudah melepaskan dan sukma
sudah benar-benar meninggalkan jasad. Pada waktu ini jasad manusia kecuali
tulang sudah benar-benar menyatu dengan tanah. Umumnya jika sudah 100 hari yang
hidup sudah menemukan jawaban dari berbagai pertanyaan yang diberikan oleh
orang yang akan meninggal, misalnya kenapa meninggal di sini, kenapa yang
merawat saya dst. Pěndhak 1, pěndhak 2, yaitu peringatan satu tahun atau
2 tahun semenjak meninggal untuk mengingatkan menuju 1000 hari.
Batas
akhir kesempurnaan orang mati
adalah 1000 hari, pada waktu ini
jasad dianggap sempurna menyatu dengan tanah, sukma sudah tenang di alam
penantian. Maka bagi orang Jawa jika sudah lewat 1000 harinya, dikatakan wis
ěntek slamětane, karena seluruh jasat sudah lebur dan menyatu dengan tanah. Secara umum, manusia yang
meninggal sudah lebih dari 1000 harinya, sudah tidak lagi disinggung-singgung,
kecuali jika dia memiliki keistimewaan yang hebat, seperti ilmunya bermanfaat,
amalannya yang soleh, atau anaknya yang baik-baik semua sehingga dikenang
orang. Atau sebaliknya karena super negatifnya, sehingga dicaci orang.
Pambacaan
surat Yasiin
(83 ayat) boleh ada boleh tidak. Inti dibacakannya surat Yasiin ini agar arwahnya tenang
menghadap Allah dan iklas untuk menerima segala perbuatanya di dunia.
Pembacaan
ritual tahlil yang dipimpin oleh
seorang imam tahlil diutamakan yang
bersuara bagus, kharismatik dan dihormati masyarakat sekitarnya, serta
pengucapan laval bahasa Arabnya fasih. Hal ini disyaratkan oleh jamaah
(kelompok), sebab imam merupakan ‘panutan’
yang dicontoh dan ditaati oleh jamaahnya. Jika imam suaranya
tidak merdu, maka akan mengurangi kekhusukan dan kenikmatan ritual, demikian
pula jika imamnya tidak fasih, maka dalam hati jamaahnya merasa kurang ‘pas’.
Di dalam
ritual tahlil, tidak ada struktur baku yang
harus ditaati. Sekalipun banyak buku saku tuntunan tahlil, namun banyak sekali
perbedaan-perbedaannya, sehingga tidak semua jamaah/kelompok/daerah mau
menggunakan tuntunan buku saku tersebut. Ada
sebagian kelompok yang struktur bacaan ritual tahlil ini diawali surah Al
Fatihah kemudian langsung kalimat tahlil laailaaha illallah dan pada akhir
bacaan ritual adalah Al Ikhlas surat Al Falaq, surat An Nas dan ditutup
dengan do’a. Namun demikian di Malang, umumnya bacaan/mantra dalam
ritual tahlil diawali dengan surat no. 1 dalam Al Quran, yaitu surat Al Fatihah
dengan suara pelan dan lagunya bebas walaupun ada beberapa daerah yang dituntun
oleh imam. Surat ini wajib dibaca dalam acara riual apa saja, karena surat
alfatihah ini isinya merupakan ‘abstraksi’ dari segala permohonan dan ucapan
syukur, dilanjutkan dengan surat Al Ikhlas (3x atau 11x, atau 40x), surat Al
Falaq, surat An Nas masing-masing sekali atau 3 kali. Kemudian mengulangi surat Al Fatihah dilanjutkan awal, pertengahan dan akhir surat Al Baqoroh, membaca
sholawat nabi, membaca istighfar (astaghfirulla
hal ‘adzim) 100x baru membaca kalimat tahlil: laailaaha
illallah 100x. dilanjutkan membaca tasbih (subhanallahi wabihamdihi, subhanallaahil ‘adzim) 10x dilanjutkan
membaca solawat dan diakhiri membaca do’a khusus tahlil. Dengan demikian inti
dari bacaan tahlil adalah laailaaha illallah. Ini
sesuai dengan firman Allah dalah Al Quran, yang berbunyi afdul dzikkri
fa’lam annahu laailaaha illallah ( sebaik-baik orang ingat (dzikir) kepada
Allah adalam mengucapkan kalimat laailaaha illallah. (penjelasan
KH. Abdul Qodir, da’i dari Lawang Malang yang juga pengasuh tetap Mimbar Agama
Islam di TV3 Malaysia setiap 3 bulan sekali, diijinkan untuk dikutip). Setiap surat atau ayat-ayat yang dibaca memiliki
lagu tersendiri, irama yang berbeda dan dinamika bunyi yang berfariasi.
Lebih-lebih bacaan mantra/ayat
yang diulang-ulang hingga ‘intrance’ dan menimbulkan rasa ‘nikmat” dan tertanam keyakinan bahwa
tujuannya tersampai, serta merasa berkomunikasi langsung dengan haliqnya.
Contohnya pembacaan istighfar (permohonan ampun kepada Allah) yang diulang 100
kali. Sesuai dengan isinya, yaitu permohonan ampun kepadaNya, maka suasananya
sedih dan iramanya sedikit lambat. Selaras dengan suasana dan irama tersebut,
maka gerakannya pun juga menyesuaikan sambil menggoyangkan badan dan atau
menggerakkan kepala ke kanan dan ke kiri seirama dengan lagu. Berbeda dengan pembacaan kalimat tahlil yang isinya ikrar bahwa tidak ada
Tuhan selain Allah. Pembacaan
ayat ini bersuasana yakin dan semangat, maka lagunya tegas, iramanya
sedikit meningkat, demikian pula gerakannya yang didominasi gerakan kepala
menoleh kanan dan kiri, sedangkan badan cenderung diam atau mengimbangi gerak
kepala dan jari-jari tangan ikut menghitung, atau menghitung dengan tasbeh. Sementara itu untuk menambah
kenikmatan dan kekhusukan, mata dipejamkan atau diantara memejam dan membuka
(Jawa: ngrangin).
Do’a
untuk mengahiri bacaan ritual tahlil
ini dibacakan do’a, umumnya dilakukan oleh imam tahlil atau diserahkan kepada
yang dianggap tua baik usia maupun ilmunya. Secara umum lagu bacaan do’a adalah
datar tanpa dinamika, walaupun ada beberapa yang membacakan do’a dengan
dilagukan. Jika pembaca do’a suaranya merdu dan lagunya ‘enak’, maka akan membawa kenikmatan tersendiri, bahkan bisa menangis
yang meng-amini.
Namun jika tidak, lebih baik tidak berlagu, datar tetapi jelas bacaannya
dan melemahkan suaranya. Tanpa diperintah, secara konfensional, jika dibacakan
do’a, semua jamaah akan menggerakkan
tangannya ke atas sambil menengadahkan ke lagit. Sedangkan gerak kepalanya
sesuai dengan kenikmatyakinan masing-masing, ada yang mendongak ke atas, ada
pula yang malah menunduk. Jika intrace
dalam do’a, maka dapat dipastikan memejamkan mata bahkan sambil melelehkan air
mata (Hadi, 2005: 5 – 28). Namun jika rasa tidak nikmat dan tidak tersentuh
kalbunya, maka do’a hanya sebagai pelengkap saja dan cenderung tidak
mengacuhkan (sekalipun perilakunya sama dengan yang lain) namun cenderung ingin
segera selesai.
Tata
busana yang dikenakan di dalam ritual tahlil,
umumnya menggunakan kopyah hitam atau putih, berbaju takwa (baju muslim laki-laki), berkain sarung atau bercelana
panjang. Sekalipun warnanya suka-suka, namun modelnya hampir semua sama.
Pemakaian baju takwa tersebut
merupakan lambang bahwa jika orang hidup menginginkan kebahagiaan di dunia dan
akherat, maka pakailah ‘baju takwa’. Maksudnya adalah, pakaian orang hidup
ada dua macam, yakni pakaian raga
adalah busana, dan pakaian hati/jiwa
adalah iman dan taqwa. Keduanya harus selaras, sehingga yang di luar (raga)
mencerminkan apa yang ada di dalam (hati/jiwa). Hal ini sinkrun dengan pepatah
bahasa Jawa (unen-unen): ajining raga saka busana, ajining diri saka
lathi, (kehormatan raga karena busana, kehormatan harga diri karena ucapan).
KESENIAN TAHLIL SEBAGAI KONTEKS
Tahlil sebagai suatu gejala sosial yang
muncul dalam konteks tertentu memiliki hubungan dengan berbagai fenomena lain
dalam kehidupan masyarakat, seperti aktivitas politik, pariwisata, ekonomi,
teknologi, ekologi, berbagai kondisi perubahan yang tengah terjadi dan lain
sebagainya. Karena keterbatasan waktu, maka pembahasan konteks ini akan
fokuskan pada keterkaitan antara seni ritual tahlil dengan politik, ekonomi dan pariwisata.
1.
Tahlil dan Politik
Telah dijelaskan di atas, bahwa seni ritual tahlil adalah rangkaian upacara ritual
kematian bagi orang Jawa yang beragama Islam. Namun tidak semua yang beragama
Islam melaksanakan ritual tahlil karena ada beberapa faham/aliran yang
tidak memperbolehkannya dengan alasan bid’ah atau mengada-ada. Kelompok
yang melaksanakan upacara tahlil ini adalah aliran Nahdlatul Ulama (NU),
mereka mengkleim kelompok “ahlus sunnah wal jamaah” (kelompok pengikut
perilaku Nabi Muhammad saw) yang mengikuti jejak Wali Sanga. Semula tahlil hanya dikhususkan sebagai acara
ritual kematian, pada suatu ketika ada ritual tahlil tetapi tidak ada imamnya karena semua tidak hafal bacaannya.
Maka kemudian timbul gagasan untuk melatih hafalan bacaan tahlil, dibentuk kumpulan tahlil
yang dilaksanakan seminggu sekali, umumnya hari Kamis malam Jumat. Perkembangan
berikutnya, tahlil merupakan
organisasi massa
yang bergerak di dalam bidang kerohanian Islam dabawah naungan organisasi yang
lebih besar yaitu Nahdlatul Ulama.
Nahdlatul Ulama adalah kelompok sosial keagamaan yang
memiliki faham tertentu dan memiliki massa
dan penganut yang paling besar di negeri ini. Sebagai organisasi sosial
keagamaan (walaupun secara terselubung berfungsi
sebagai organisasi masa politik), tidak mengeluarkan kartu anggota. Oleh karena
itu, untuk menjadi pimpinan organisasi di tubuh NU tidak perlu mendaftarkan
diri sebagai anggota, cukup seseorang sebagai ketua/pengurus tahlil sah sebagai anggota NU dan berhak
dipilih dan memilih. Kenapa demikian? Karena seni ritual tahlil telah menjadi budya dan identitas NU. Oleh karena itu, tidak
terlalu sulit untuk mengumpulkan massa NU, tidak terlalu sulit untuk
menyampaikan program-program NU, cukup melalui jamaah tahlil. Bahkan dalam daerah tertentu, untuk mengundang warga rapat
RT/RW merasa kesulitan, tetapi tanpa diundang jika jadwal tahlil yang dating selalu penuh. Maka untuk menyampaikan program
RT/RW dan pengumuman pemerintah lebih efektif melalui jamaah tahlil.
Kiraya telah dipahami bersama, bahwa NU bukan organisasi
sosial politik, tetapi memiliki anak kandung parati politik, yaitu Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB). Karena tahlil milik NU dan PKB juga anaknya NU, maka
untuk kampanye sangat efektif melalui tahlil.
2.
Tahlil dan Ekonomi
Pelembagaan kesenian tahlil
di dalam masyarakat sebagai suatu perkumpulan aktivitas patembayan, yaitu
bersifat kerukunan, kekerabatan sosial yang bersifat keagamaan.
Perkumpulan-perkumpulan semacam ini, sering disebut ‘majelis ta’lim’ (forum peningkatan ilmu agama untuk meningkatan keimanan).
Pelaksanaan aktivitas pelembagaan tahlil
ini berupa pertemuan secara rutin seminggu sekali (ditambah dengan insidental)
dengan tempat berpindah-pendah dari rumah
ke rumah untuk melaksanakan tahlilan.
Semula masing-masing anggota membayar iuran sekedarnya untuk beaya konsumsi.
Dalam perkembangan berikutnya, iuran ini berubah menjadi arisan antar anggota.
Dimana yang mendapat arisan dipotong sebagian untuk organisasi dan wajib
ketempatan acara tahlilan. Semakin lama dana organisasi semakin besar. Kemudian
dipinjamkan kepada anggota tanpa bunga, tetapi memberikan sodakoh (semacam bunga sekedarnya). Lama kelamaan menjadi koperasi yang bersifat simpan
pinjam bahkan menjadi koperasi primer bagi anggotanya. SHUnya sering tidak
dibagikan melainkan digunakan untuk rekreasi spiritual (umumnya ziarah ke makam
ulama/wali) yang dilaksanakan rutin tahunan.
3.
Tahlil dan Pariwisata
Tahlil yang sudah jelas milik kelompok
Nahdlatul ulama, sering dimanfaatkan oleh “otoritas spiritual”, seperti
ulama-ulama ‘besar’ umumnya kyai kharismatik. Jika
kyai kharismatik ini meninggal dunia, maka sanak keluarga maupun murid-muridnya
selalu memperingati dengan istilah ‘khaul’ yang rutin
setiap tahun dan dilaksanakan secara besar-besaran sesuai kharismanya. Salah satu contoh adalah khaul guru besar Prof. Dr. Syeh Abdullah
Bil Faqih bin Syeh Abdul Qodir yang diperingati setiap tahun dan selalu
dihadiri santri-sntrinya seluruh Indonesia bahkan ada yang dari
mancanegara. Salah satu acaranya adalah tahlil akbar. Karena
pelaksanaannya rutin dan dihadiri ribuan orang, maka oleh dinas pariwisata
acara tersebut menjadi agenda wisata.
PENUTUP
Pembahasan
ini masih memerlukan diskusi
yang panjang sehingga menemukan manfaat dalam kehidupan masyarakat. Pembahasan
tentang teks dalam konteks ternyata dapat melihat secara holistik sebuah fenomena seni, yang berkembang di
masyarakat dan dapat bermanfaat sebagai pendalaman ilmu maupun realitas sosial.
Rujukan
Abdullah, Taufik. 1980/1981. Disekitar Komunikasi Ilmu dan
Seni. Analisis Kebudayaan 2: 8 – 12.
Ahimsa-Putra,
Heddy Shri. 2001. Strukturalisme Lavi – Staruss, Mitos dan Karya Sastra.
Yogyakarta: Galang Press.
|
____________
1997. Sebagai Teks dalam Konteks. Seni dalam Kajian Antropologi Budaya. Makalah
Seminar Wacana Seni Abad XXI. Diselenggarakan oleh Majalah Seni di
Yogyakarta, 26 Juli 1997.
Baghdadi, Al Abdurrahman. Seni Dalam Pandangan Islam
(seni vokal, musik dan tari) Jakarta:
Gema Insani Press.
Hadi, Sumandiyo. 2006. Seni Dalam Ritual Agama. Yogyakarta: BUKU PUSTAKA.
Hadi, Sumandiyo. 2005. Sosiologi Tari Sebuah Telaah Kritis yang Mengulas Tari
dari
zaman ke zaman: primitif, tradisional, modern hingga Kontemporer.
Yogyakarta: BUKU PUSTAKA
Minarto, Soerjo Wido, 2005. Pengetahuan Dasar Tari
Drama. Malang:
Universitas Kanjuruhan.
Woodward, Mark,
2004. Islam in Java: Normative Piety and Misticism (diterjemahkan
oleh Harius Salim: “Islam Jawa: Kesalehan Normatif versus Kebatinan”)
[Yogyakarta: LKiS cetakan ke 2,]: 364.
[1] Tahlil
adalah rangkaian upacara ritual kematian bagi orang Jawa yang beragama Islam.
Namun tidak semua yang beragama Islam melaksanakan ritual tahlil karena
ada beberapa faham/aliran yang tidak memperbolehkannya dengan alasan bid’ah atau mengada-ada. Kelompok yang melaksanakan
upacara tahlil ini adalah aliran Nahdlatul Ulama (NU), mereka mengkleim
kelompok “ahlus sunnah wal jamaah” yang mengikuti jejak “Wali Sanga”.
[2]
Kiyai Haji Abdul Qodir da’i dari Lawang Malang yang juga pengasuh tetap Mimbar
Agama Islam di TV3 Malaysia setiap 3 bulan sekali